TIGA PULUH DELAPAN

62 8 0
                                    

Chenle tiba-tiba muncul entah dari mana dan menarik Mamahnya keluar dari tempat kotor itu, mereka berlari tanpa henti karena para preman itu terus mengejar mereka.

Saat dirasa aman Chenle melepas tautan tangannya di tangan Bu Kinan.

"Tante gapapa? " tanya Chenle memastikan, pasalnya wanita tersebut tampak sangat lelah nafasnya saja memburu "Tan-tante? " ucapnya asing ketika biasanya kata "Mamah" yang terucap dari bibir Chenle.

"Bukannya aku harus terbiasa buat manggil Tante dengan sebutan itu, supaya nanti anak Tante gak bingung kalo aku manggil Tante, Mamah. " Kinan merasa sedih mendengar tutur kata Chenle, perkataannya selalu saja dapat meluluhkan hati kerasnya, Kinan menarik tubuh Chenle dan memeluknya layaknya seorang Ibu yang memeluk erat anaknya.

"Sampai kapanpun Chenle tetap anak Mamah, mau Mamah punya anak berapa banyak pun, Chenle tetap salah satu anak Mamah yang disayang, jadi jangan ngomong kayak tadi lagi yaa.. " ucap Kinan seraya merapikan rambut kusuk Chenle karena pelukannya.

Sementara itu Echa dan Renjun masih melanjutkan kecan mereka, hari mulai larut Renjun berniat hendak mengatakan Echa pulang namun tiba-tiba hujan turun begitu deras. Renjun yang saat itu kebetulan membawa motor tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu hujannya reda.

"Gimana kalo kita neduh di rumah gue dulu? " ujar Renjun namun tampaknya Echa tak mendengarkannya karena derasnya air hujan.

Renjun berusaha mendekati Echa untuk berbisik di telinganya namun siapa sangka Echa tiba-tiba memalingkan wajahnya membuat hidung mereka saling bersentuhan tanpa jarak sedikitpun, sesaat Renjun sempat mencuri-curi pandang kearah bibir cherry milik Echa.

"Kita neduh di rumah gue aja, disini dingin. " ucap Renjun kedua kalinya "APAAA?? " teriak Echa "KITA NEDUH DI RUMAH GUE AJA, RUMAH GUE KAN DI BLOK SEBELAH!! " ucap Renjun dengan lantang

"BIASA AJA DONG GAUSAH TERIAK-TERIAK GITU GUE JUGA DENGER KALI!! " ucap Echa yang sebenarnya bisa dibilang suaranya terdengar lebih keras. Renjun hanya bisa menghela nafasnya.

Akhirnya Renjun dan Echa memutuskan untuk menerobos derasnya hujan menuju rumah Renjun, di tengah jalan motor Renjun berpapasan dengan mobil yang ditumpangi Chenle dan Tante Sekar.

Chenle melihat, Renjun yang menarik tangan Echa untuk memeluknya. Cemburu? Jangan ditanya sudah pasti iya. Namun Ia berusah mengendalikan emosinya dan beralih untuk menatap jalanan di depannya.

"Peluknya yang erat!! Nanti terbang kebawa angin gaada yang bisa tolong. " ucap Renjun sedikit meninggikan suaranya. Echa merasakan perubahan sifat Renjun atau hanya dia yang baru tahu bahwa Renjun juga memiliki sifat yang humble.

Karena tak kunjung dijawab akhirnya Renjun dengan perlahan menarik tangan Echa untuk melingkar di pinggangnya. Karena malu Echa menenggelamkan wajahnya dipundak Renjun membuatnya tersenyum.

Renjun dan Echa berjalan membelah hujan deras bak Dilan dan Milea dieara modern ini. Akhirnya mereka tiba dirumah, Renjun segera menarik tangan Echa untuk masuk kedalam begitu mereka tiba.

Sunyi. . .

Satu hal tersebut yang kini hinggap di sekeliling. Kemana perginya orang-orang?
Akhirnya dengan gugup Renjun mulai bersuara.

"Lo ganti baju pake baju gw dulu, biar gak masuk angin. " Ucapnya yang kemudian mendapatkan anggukan dari Echa.

Selesai mengganti pakaiannya, Echa keluar dari kamar Renjun dan menghampiri Renjun yang tengah terduduk didepan perapian. Renjun yang merasakan langkah kaki mendekatinya segera berbalik dan menangkap tubuh Echa yang mulai mendekatinya. Terpaku, Renjun tak tahu bahwa Echa sangat cantik ketika memakai baju berwarna coklat membuat kulit putihnya jauh bersinar.

Renjun menelan salivanya dengan susah kala Echa mulai duduk disampingnya. Sangat dekat hingga dapat membuat jantungnya berdegup kencang.

Renjun saat ini bukanlah dia, itulah yang dia pikirkan. Ada yang salah dengan dirinya, bagaimana bisa dia merasa hal cringe ini, jantung berdegup kencang, nafas tercekat.

Itu jelas bukan Renjun sama sekali, merasa keheningan mulai menguasai Echa mulai memberanikan diri untuk membuka suara.

kring... kring... kring...

Suara telfon rumah, Renjun beranjak dari tempat semula dan menghampiri telfon yang berbunyi sejak 6 detik lalu.

"Halo, nak? Ini Tante Kinan. Apa kamu masih bersama dengan Echa?"

Renjun dengan sedikit ragu menjawab "Iya Tante, Echa masih disini. "

Mendengar namanya disebut membuat Echa membalikkan badannya, mengisyaratkan ada apa? lewat mimik wajahnya.

Entah apa yang dikatakan Tante Kinan saat itu, yang jelas setelah mendengar perkataan tersebut Renjun berlari kearah Echa dan membawanya keluar.

Entah keajaiban tuhan dari mana, saat itu hujan pun mereda hanya tertinggal gerimis kecil. Renjun menyodorkan helm untuk dipakai Echa, tanpa protes atau bertanya Echa memakainya dan langsung naik keatas motor yang tadi mereka naiki sebelumnya.

Ada apa? Kenapa? Siapa yang menelpon? Kenapa renjun panik?

Pertanyaan-pertanyaan itu kini bergulat dalam pikirannya, hingga mereka tiba disebuah taman. Tak jauh dari sana terdapat bandara internasional.

"Kita ngapain kesini?" Echa mulai berani mempertanyakan situasi, tanpa menjawab pertanyaan tersebut Renjun menggiringnya untuk melihat seseorang dibelakang.

Chenle. Di berdiri dengan pakaian rapi disana, dengan tas ransel berada di punggungnya. Echa benar-benar bingung dengan kondisi saat itu.

"Gue pinjem Echa nya sebentar, setelah ini dia bakal jadi milik lo seutuhnya. "

Duarr... Echa semakin dibuat bingung setelah mendengar perkataan Chenle. Dengan raut wajah kebingungan, Echa mengikuti Chenle yang menarik lembur tangannya untuk menjauh dari Renjun.

Chenle membawa Echa ketempat yang jauh lebih damai, ada banyak pohon disana tapi tidak begitu banyak karena mereka masih bisa melihat langit malam yang begitu terang namun sedikit mendung karena awan menutupi seperempat sinar rembulan.

Chenle meraih kedua tangan Echa, membuat tubuh mereka saling berhadapan "Ca, lo tau kan kalo gue sayang sama lo. Maaf kalo akhirnya gue lebih milih jalan ini. Gue tau, sejak awal-pun perasaan lo gak pernah ada buat gue. "

Mendengar pernyataan itu membuat hati Echa sedikit meringis, Echa telah melukai hati orang yang begitu baik dan peduli padanya. Dia telah gagal, membuat lelaki baik itu terus tersenyum sebagaimana dia yang selalu menjaga senyumannya.

"Bahkan mungkin waktu itu lo mau jadi pacar gue pun, itu karena lo kasian ya, kan?" entah, Echa tak bergeming sedikitpun. Dia tak bisa mengatakan ‘tidak  karena apa yang dikatakan Chenle ada benarnya, tapi dia tak cukup tega untuk membenarkannya.

"Gak dijawab pun gapapa kalo dirasa susah, ca. Fiuhh... oke, gue siap. Echa mulai detik ini gue bukan lo dan lo bukan gue, dengan artian kita putus."

Matanya berlinang air mata, sementara Echa sudah berurai air mata. Tak tahan melihat gadis yang begitu dia cintai menangis, chenle menariknya kedalam pelukan.

"Jangan nangis, ca. Kalo lo gini itu malah bikin gue terus berangan, udah ya? Lo harus mulai kisah baru sama orang yang bener-bener lo cintain." Echa melepaskan pelukannya dan menatap wajah Chenle, seakan tahu maksudnya apa chenle menjawab "Iyaa.."

Saat berada di situasi tersebut, suara ledakan kembang api meramaikan langit malam. Tanda pergantian tahun telah tiba, diantara ributnya suara kembang api dan sinarnya yang menerangi langit Chenle menaruh kedua tangannya di kedua pipi Echa dan mencium keningnya.

"I love you, I always do." kata terkahir yang diucapkan oleh Chenle setelahnya.



‘‘Ketika aku berkata, aku mencintaimu, itu bukan karena aku menginginkanmu atau karena aku tidak bisa memilikimu. Ini tidak ada hubungannya dengan diriku. Aku suka apa adanya kamu, apa yang kamu lakukan, bagaimana kamu mencoba. Saya telah melihat kebaikan dan kekuatan kamu. Aku telah melihat yang terbaik dan yang terburuk dari kamu. Dan aku mengerti dengan sangat jelas siapa kamu sebenarnya.’’

~TBC

Cold! || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang