TIGAPULUH EMPAT

125 16 4
                                    

Chenle mengelus gemas rambut bocah disampingnya itu.

"Siapa namamu? "
"Esya. Nama Kakak? "
"Chenle. " jawabnya singkat
"Nama yang keren. "

Chenle tersenyum, kemudian dia tersadar akan kresek makanan yang dia bawa.

"Kau mau roti? Aku punya roti selai strawberry dan susu rasa strawberry juga, kau mau? "

Esya nampak bersemangat begitu Chenle mengeluarkan makanan tersebut namun wajahnya berubah menjadi lesuh.

"Aku sangat mau, tapi ibuku bilang untuk tidak menerima apapun dari orang asing. "

"Bukannya tadi kita udah berkenalan? "
"Tetap saja. " jawabannya kecewa
"Baiklah, gimana kalo Kakak juga makan jadi gak Esya doang yang makan. "

Setelah mendengar perkataan Chenle tersebut membuat senyum Esya kembali dan kembali bersemangat.

Chenle segera menancapkan sedotan ke kotak susunya dan memberikannya pada Esya. Setelah itu dia membuka rotinya, memberikan satu suap untuknya dan satu suap untuk Esya.

Mereka tampak begitu nyaman.

Sementara itu Echa kini sudah berada di dalam kamarnya, Renjun sudah berpamitan beberapa menit yang lalu.

Echa menatap sebuah boneka yang terduduk tak bernyawa di atas kasurnya.

"Chenle?? "

Echa berniat hendak menyusul Chenle kesekolah nya, dia takut Chenle kenapa-kenapa. Namun ditengah-tengah dia melihat Chenle yang sedang bersama seorang anak kecil seusia Cici atau mungkin dibawahnya.

"Chenle Lo itu ke- "
"Ssttt...!! " ucap Chenle memotong amarah Echa, karena dia tidak mau membuat Esya terbangun. Echa menutup mulutnya setelah dia melihat seorang anak kecil yang tertidur di pelukan Chenle.

Tak lama kemudian seorang wanita yang cukup tua datang mendekati mereka dengan raut wajah yang risau. "Astagaa.. Nak maafkan anak saya, dia pasti merepotkan. "

"Tidak Bu, tidak sama sekali. " jawab Chenle ramah.

Chenle adalah pria hangat dan ramah. Dia adalah kebalikan dari Renjun laki-laki egois dan dingin. Tapi entah mengapa dia tak bisa mencintai Chenle lebih dari dari rasanya kepada Renjun.

"Sini nak, biar Ibu saja yang gendong. " ucapnya
"Tidak usah Bu, biar kami antar saja sampai rumah. Lagi pula kalo dipindahkan nanti Esya bangun. "
"Ibu merasa tidak enak padamu. " ujar sang Ibu yang kemudian hanya dibalas senyum oleh Chenle.

Setelah mengantarkan Esya kerumahnya dan menidurkannya di kasur empuk miliknya, kini tinggal waktunya bersama Echa.

"Kita balik ke taman dulu ya. Tas Lo sama tas gue ada disana. "
"Okee.. "

Echa dan Chenle berjalan dengan santai kembali ke taman, mereka tak memperdulikan langit yang semakin gelap. Tak seperti biasanya, tak ada obrolan diantara mereka. Echa yang merasa ada yang berbeda mulai memberanikan untuk bicara, namun Chenle memotongnya membuat Echa kembali diam.

"Ini tas Lo. " ujarnya sambil menyodorkan tas biru langit milik Echa.

Echa memegang pergelangan tangan Chenle dan menatapnya dengan serius.

"Lo baik-baik aja kan? "
"Tentu, kenapa enggak. " jawabnya berbohong
"Jujur Le. "

"Lo tau apa tahap terbesar dalam mencintai? " tanya Chenle yang membuat Echa terdiam memikirkan jawabanya.

"Merelakan. Gue gapunya keberanian itu dan itu sebabnya gue selalu menghalalkan segala cara buat memiliki dan mempertahankannya. "

Echa yang merasa sedikit tidak nyaman sekaligus bingung dengan perkataan Chenle yang mendadak mengatakan hal tersebut hanya memberikan senyuman kikuk.

Cold! || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang