"Sara, bisa kau buka pintunya tidak?"
Seseorang yang telah bisa kupastikan Liam itu sekarang berdiri di depan pintu kamarku. Kulihat ia membawa tote bag di tangan kirinya.
Apa itu?
"Ini oleh-oleh untukmu," Ia tersenyum. "Aku baru saja membereskan koperku, dan ini oleh-oleh yang kubelikan untukmu selama aku tour."
Aku meraih tote bag dari tangan Liam dan sedikit mengintip isinya, ada banyak sekali makanan ringan dan beberapa gantungan kunci. He know me so well.
"Sar, kau sudah lulus ya ternyata?" Ia menatapku.
Aku mengangguk cepat. "Sudah, satu minggu yang lalu."
"Kalau begitu..." Ia terlihat sedang berpikir. "kau mau menjadi make up artistku tidak?"
Benar saja, aku baru lulus dengan gelar mahasiswa termuda, aku lulus satu tahun lebih cepat dari teman-temanku yang lainnya. Bermain dengan make up adalah hobiku dari dulu. Mom dan Dad juga mendukungku untuk mendalami dunia make up. Dan baru saja dua bukan yang lalu aku menjadi make up artist untuk artis-artis majalah Vogue.
Well, kerja sembari kuliah tidak buruk, kan? Menyenangkan dan tidak mengganggu belajar, menurutku. Honor yang kuterima cukup banyak sehingga aku bisa membeli kebutuhanku dengan uang sendiri, tidak dengan uang orangtua lagi. Aku bangga akan hal itu.
Mom bekerja sebagai dokter sedangkan Dad sebagai pengacara, mereka semua bekerja di Amerika sehinga rumah mewah yang mereka punya sungguh sepi. Hanya diisi aku, beberapa maid, penjaga rumah, serta Liam jika ia sedang ada day off.
"Apa?" Aku mengaga tidak percaya. Menjadi make up artist kakakku sendiri? "Tidak, tidak."
"Why?"
Aku bergelayut manja di pelukannya. "Liam, aku tidak mau kerjaku tidak sebagus apa yang harapkan. You know, aku masih amatiran."
Ia tertawa kecil ketika aku bertingkah seperti anak umur lima tahun, uh, aku memang begini jika berada di dekatnya. Maksutku, jika hanya berdua, tetapi jika ada orang lain aku akan berdiam diri karena sifatku sungguh pemalu.
"Amatiran kau bilang? Setelah bisa menjadi make up artist untuk Vogue dan Victoria's Secret? Baby, you're amazing. You did it right."
Liam mengecup keningku sehingga aku bisa merasakan hantaran hangat merambat ke dalam tubuhku. Uh, I missed him so much. "Tidak mau."
"Kau," Ucapnya. "Sekarang sudah berani membantahku ya?"
"Liam, uh, kau ini. Aku tidak membantahmu, aku hanya mengatakan bahwa aku tidak mau," Aku menggerutu. "Kau ini,"
Liam tersenyum. "Ayolah, One Direction sudah tidak mengkontrak make up artist, kau tau sendiri bahwa Lou sekarang sedang hamil besar dan tidak memungkinkan jika ia bekerja."
"Tapi kau sedang tidak ada tour, Li. Lantas untuk apa aku bekerja menjadi make up artist kalian?"
"Hey, aku ada tour tambahan, Modest memberikan kami semua tour dates tambahan untuk daerah Australia. Kau harus tau bahwa itu akan di mulai bulan depan."
Aku mendengus. "Tidak mau."
Dengan segera aku masuk ke dalam kamar, tidak dengan menutup pintunya. Jika aku menutup pintunya, tidak sopan. Bisa-bisa ia memarahiku.
"Sara, please," Ia meraih tanganku lalu mengecupnya.
We may acted like a couple, but we aren't a couple, we are siblings. And that's how we acted and treated to each other. Giving warmth and love.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simple | Harry Styles
Fiksi PenggemarKisah cinta adik dari Liam Payne dengan Harry Styles. Apakah dengan menjadi adik Liam ia bisa memiliki kisah cinta yang mulus dengan teman kakaknya? Atau kisah cintanya berliku-liku seperti kisah cinta orang pada umumnya? Let's find out and don't fo...