C3 : Kenapa Terasa Panas?

2.3K 117 10
                                    

Arum menghela nafas lelah, gadis itu baru saja mengganti pakaian seragamnya dengan celana hitam panjang dan kaos polos berwarna peach. Hal itu terpaksa dia lakukan mengingat seragamnya yang kotor akibat ulah penggemar gila Rama yang tidak terima jika Arum dekat dengan pangeran mereka itu.

Arum lelah dengan kondisi seperti ini, sungguh. Disini bukan Arum yang memaksa untuk selalu berinteraksi dengan Rama dan kawan-kawannya, melainkan Rama itu sendiri. Tapi mengapa seolah ini semua adalah keinginan Arum? Mengapa dia yang dijadikan tersangka disini, padahal dia adalah korban. Bisakah satu hari saja dia dibiarkan tenang? Arum rindu ketenangan.

Arum melangkah keluar dari toilet, gadis itu memandang area sekolah yang tampak sepi, mengingat ini sudah pukul empat sore, yang artinya sekolah sudah bubar setengah jam lalu. Arum melangkahkan tungkainya menuju gerbang sekolah, menunggu kendaraan umum lewat. Di dekat sekolahnya tidak ada halte bus, jika pun ada, Arum yakin tujuan bus itu tidak akan searah dengan jalan pulangnya.

Cukup lama Arum menunggu, hingga akhirnya sebuah pengendara bermotor japstyle berhenti tepat di depannya. Arum mengernyit, dia kenal dengan motor ini. “Akus?” Tebaknya girang.

Pengendara motor itu membuka kaca helm fullfacenya, matanya melengkung berbentuk bulan sabit—yang Arum duga bahwa pengendara didepannya ini tengah tersenyum. Wajah Arum menjadi sumringah. “Akus, kok bisa ada disini?”

“Kebetulan lewat tadi. Eh ternyata liat kamu disini, kenapa belum pulang?” Suara pemuda di depannya ini cukup serak dan berat.

“Hm... Itu tadi minjem buku dulu di perpustakaan, pakek nugas.” Jawab Arum berbohong.

Pemuda yang Arum sebut Akus itu mengangguk, “Yaudah naik, aku anterin pulang.” Ucap pemuda itu kemudian.

Arum tersenyum, menampilkan deretan giginya sebelum akhirnya dengan senang hati duduk di jok belakang motor japstyle tersebut. Tangan Arum menggenggam jaket denim hitam yang Akus gunakan.

“Jangan ngebut-ngebut.”

Arum berucap memperingatkan, sebab Akus adalah seorang pembalap motor trail, yang mana bagi pemuda itu berkendara di jalan raya sama saja dengan berkendara ditanjakan penuh lumpur. Akus adalah tipikal yang tidak kenal tempat jika soal kebut-kebutan, bahkan Arum sendiri hampir trauma karena berboncengan dengan pemuda ini.

“Iya. Pegangan.”

“Udah,”

Motor japstyle itu melaju dengan kecepatan normal meninggalkan kawasanan sekolah, angin sore yang berhembus memainkan anak rambut Arum yang memang tidak menggunakan helm.

“Arum, mampir makan dulu ya? Aku laper,” ajak Akus.

“Hah? Apa?! Kerasin!” Arum mencondongkan tubuhnya, agar mendekat pada Akus. Gadis itu tidak begitu jelas mendengar apa yang diucapkan sahabatnya ini.

Akus terkekeh kecil melihat wajah menggemaskan Arum yang terpantul di spion, “Mampir makan dulu, ya?! Aku laper!” Akus sedikit berteriak mengulang perkataannya.

“Ohh! Iya-iya! Tapi kamu yang traktir ya?” Ucap Arum sembari menampilkan senyum manisnya.

“Iya! Apa sih yang engga buat tuan putri!” Akus menjawab sembari tertawa. Arum yang mendengar seketika memukul pelan punggung pemuda itu, sembari ikut tertawa.

Pemuda itu bernama Ari Pradipta Kusuma. Teman masa kecil Arum yang kini merupakan sahabatnya. Arum memiliki dua sahabat masa kecil, Akus dan Juwita Atanayasyi. Mereka teman sepermainan, lahir ditahun yang sama, namun bersekolah ditempat yang berbeda. Arum lebih memilih memasuki SMA sebab belum tahu mengenai bidang keahliannya, sedangkan Kusuma atau yang kerap Arum dan Juwita sapa dengan nama Akus bersekolah di TI Global, dan Juwita memilih bersekolah di SMK mengambil jurusan Akuntansi Dan Keuangan Lembaga.

TANYA GENGSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang