Ruangan yang didominasi warna putih itu tampak lenggang. Tangan lihai Arum dengan cekatan membersihkan darah yang tampak mengering dari pelipis juga tulang pipi Rama. Sedangkan pemuda yang diobatinya terlihat santai memainkan ponsel, benar – benar bersikap tak acuh.
Arum mulai mengolesi obat merah pada permukaan yang lebam, sedikit menekannya hingga Rama melayangkan tatapan tajam pada gadis itu. “Selow dong, lo nggak tau apa ini sakit? Dendam banget lo sama gue.”
Arum hanya menghela nafas, terlalu lelah meladeni ucapan Rama yang kelewat ngegas itu. Dalam hati Arum menjawab perkataan Rama, meneriaki bahwa memang benar dia menaruh dendam besar pada anak bungsu dari keluarga Rajendra itu.
“Rama…” Panggilan pertama Rama tidak menjawab.
“Rama…” Panggilan kedua juga sama. Arum heran sebenarnya suaranya yang terlalu kecil atau Rama yang memang tuli?
“Rama!”
“Apa?!” Arum terkesiap ketika jawaban Rama terkesan membentak. Gadis itu reflex bergerak mundur. Ia menelan ludah, sedikit membasahi bibir lalu bergumam. Galak banget. Tanpa suara.
Arum kembali mendekat, ragu ia berucap. “Itu… Dongak dikit, susah mau ngobatin lebam yang di deket bibir kalau kamu nunduk.”
Rama menghela nafas jengah sebelum akhirnya mendongak penuh menatap langit – langit UKS yang putih, ponselnya kini sudah berada diatas meja tak digunakan lagi. Sedangkan Arum meringis kecil, Rama terlalu berlebihan. “Nggak gitu juga kalik,” gumamnya kecil tanpa sadar. Beruntung sekali Rama tidak mendengar.
Arum kembali melanjutkan kegiatannya mengobati luka lebam Rama yang cukup banyak, sembari berpikir perkelahian seperti apa yang pemuda itu lakukan sampai – sampai wajahnya terhiasi banyak luka seperti ini.
Sedangkan Rama yang mendongak tanpa kegiatan itu tidak memiliki pemandangan lain selain dari wajah serius Arum dalam mengobati lukanya. Pemuda itu meneliti wajah mungil di depannya yang terkadang tampak meringis ketika membaluri saleb pada luka lebam miliknya, seolah gadis itu juga bisa merasakan sakit yang dirinya rasakan. Tampak lucu sebenarnya, tapi karena ini adalah seorang Arum, pantang ada kata lucu untuk gadis lemah itu.
Sekitar sepuluh menit berlalu tugas Arum dalam mengobati Rama akhirnya selesai, gadis itu mengulum sedikit senyum hingga lesung pipi kirinya tercetak agak jelas. “Udah.” Ucapnya puas.
Untuk sesaat Arum tergugu ketika matanya bersitatap dengan mata tajam Rama. Gadis itu berdeham, kemudian membereskan obat – obat yang berceceran. “Udah selesai.” Ucapnya pada Rama sekali lagi.
“Hmm, udah sana lo pergi!” usir Rama agar Arum menjauh dari pandangannya.
“Udah boleh keluar’kan sekarang?”
“Terserah!” Jawabnya tak acuh.
Dengan ragu tangan kanan Arum terangkat mengadah di hadapan Rama, membuat pemuda itu menatapnya sangsi. “Apa? Lo mau minta duit? Sejak kapan lo jadi pengemis?”
Untuk kesekian kalinya Arum menghela nafas, ingin sekali mengusap dadanya sabar, tapi urung sebab Rama pasti akan tersinggung dan kembali menyalahkan dirinya. “Kuncinya, Rama. Aku udah boleh keluar’kan?”
Rama tertawa mengejek, memilih tak menjawab dan kembali menyibukkan dirinya dengan ponsel. “Cari sendiri.”
Alis Arum tertaut. Cari sendiri? Dimana dia harus mencarinya, disaku celana Rama? Tidak mungkin, bukan? Arum mengalah, kemudian ke salah satu kursi dan mendudukkan dirinya disana. Ia menarik tas miliknya mendekat, kemudian menenggelamkan wajahnya disana. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan, terlibat pembicaraan dengan Rama juga bukan hal yang tepat untuk dilakukan.
“Woy!”
Arum mendongak, menatap Rama sembari menjawab. “Apa?”
Rama mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Dih geer amat, siapa yang manggil lo.”
Arum memicing kesal, kemudian kembali menenggelamkan wajahnya. Sebenarnya ia malu, tapi moodnya sedang tidak bagus untuk hal itu.
UKS terasa sangat sepi untuk beberapa saat, hingga suara Rama kembali memecah keheningan.“Woy!”
Entah itu panggilan untuk siapa. Arum masih pada posisinya, tidak bergerak sama sekali. Tangannya mencekam perut, sebab ada rasa sakit yang perlahan menjalar pada perut bagian bawahnya hingga ke pinggang.
“Woy!”
Suara Rama yang entah ditujukan pada siapa itu kembali terdengar. Arum meringis dalam diam sebab sakit yang semakin terasa. Hari ini memang haid hari pertamanya, dan sama seperti haid dihari – hari sebelumnya, rasa sakit dihari pertama dan kedua bukan lagi hal baru bagi Arum. Tapi tidak dengan rasa sakitnya yang sangat menyiksa hingga mampu membuatnya terkadang menitikkan air mata. Arum tidak pernah terbiasa dengan itu.
“Woy!”
Suara Rama lagi – lagi terdengar, berkesan marah. Tapi Arum tidak punya waktu untuk meladeni pemuda itu sebab rasa sakit dari haid dan maagnya bercampur menjadi satu, sangat menyiksa.
Rama mengeram karena diabaikan, pemuda itu berdiri dengan tiga buku tulis ditangannya menghampiri meja Arum.
Brak!
“Lo budeg hah?!” Rama menyentak marah, gebrakan terdengar ketika ia menghantam meja dengan tiga buku ditangannya.
Arum lantas mendongak dengan wajah sedikit pucat juga sedikit air mata yang bersarang disela – sela bulu matanya. “Kenapa?” Suara gadis itu terdengar lemah, dia benar – benar tidak ingin berbicara kepada siapapun saat ini.
Rama terdiam sebentar, menatap wajah Arum yang pucat itu. “Kenapa lo?”
“Cuma …”
Belum selesai Arum menjawab, Rama lebih dahulu memeotong. “Udahlah nggak peduli gue. Nih! Kerjain tugas gue! Harus selesai nanti sore.” Rama menyerahkan buku kepada Arum.
Dengan tak minat Arum meraihnya, meletakkan buku itu di atas meja kemudian kembali menenggelamkan wajahnya.
Rama tampak tak suka ketika Arum berkesan mengabaikannya, tapi pemuda itu memilih kembali ke kursinya kemudian duduk sembari memperhatikan Arum dengan mata tajamnya.
Arum terlihat beberapa kali mengeluarkan ringisannya dengan kedua tangan yang terus mencekam perut, dapat Rama simpulkan bahwa gadis itu memiliki masalah dengan perutnya.
Pemuda itu lalu berdiri, membuka lemari kaca dan mengambil satu botol minyak kayu putih dari dalam sana dan meletakkannya di atas meja Arum. Arum kemudian mendongak, mata sayunya menatap Rama bertanya.
“Tuh, pakek.” Rama menunjuk dengan dagunya.
Arum kemudian melirik pada minyak kayu putih tersebut lalu kembali pada Rama.
“Nggak usah kepedean lo. Gue nggak mau kena masalah kalau lo kenapa – kenapa nantinya.” Ujar Rama menjelaskan sikapnya.
Arum hanya menggangguk, tak mau memperpanjang. “Makasih.”
Rama berbalik ke kursinya ketika Arum mulai membalurkan minyak tersebut pada perutnya tanpa menyikap seragam yang ia kenakan.
Tiga puluh menit tanpa kegiatan, Rama tampak mulai jenuh. Pemuda itu lantas berdiri, menyampirkan tas punggungnya dan keluar dari UKS, meninggalkan Arum yang masih betah dengan posisinya itu tanpa peduli.
***
jangan lupa vote dan komen, semoga sukaa^^
KAMU SEDANG MEMBACA
TANYA GENGSI
ChickLit19+ | Arum tahu bahwa hidupnya akan hancur setelah ia sah menjadi istri dari Rama, si pelaku pembullyan terhadapnya saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. ___________ Kata orang, masa SMA adalah masa paling menyenangkan, dimana beragam ce...