C33 : Seduktif

1K 68 28
                                    

a/n: Chapter panjang, kinda 18+

Happy Reading 📚

Rama sangat yakin bahwa Arum sengaja menghindarinya. Ia yakin itu. Bukan tanpa alasan Rama berspekulasi demikian, sejak obrolan mereka di Warung Mbak Emi minggu lalu, keberadaan Arum sangat sulit ia temukan.

Pertama, Rama mencoba menghubungi gadis itu ketika malam di hari yang sama dengan kala mereka berbicara minggu lalu, ia menelepon gadis itu. Arum mengangkatnya, meladeni sejenak kicauan Rama yang masih saja memaksa tentang status hubungan mereka. Tapi keesokan harinya, nomor gadis itu tidak lagi bisa Rama hubungi, bukan karena diblokir, sebab ketika Rama mencoba menghubungi dengan nomor ponselnya yang lain, nomor gadis itu tetap tak bisa ia hubungi.

Kedua, karena tidak bisa menjalin komunikasi lagi dengan si gadis sebagaimana yang ia mau, Rama akhirnya memutuskan untuk mencari Arum ke gedung fakultasnya dengan berbekal informasi mengenai jam dan kelas yang gadis itu ambil. Tapi sialnya, Arum tak ia temui. Teman gadis itu memberikan banyak alasan ketika Rama bertanya soal keberadaan Arum. Entah memang demikian atau Arum yang memang pandai bersembunyi? Rama tak mengerti.

Untuk itulah, seminggu terakhir ini mood pemuda Rajendra itu sedang tidak baik-baik saja. Rama kesal, marah, dan setitik egonya tersentil akibat sikap Arum yang demikian. Ia tersinggung dengan semua sikap Arum yang terus menolaknya, seolah benar-benar menegaskan bahwa hanya dirinya lah satu-satunya yang tergila-gila di sini.

Memang benar, Arum selalu mampu membuatnya bertindak seperti orang gila. Entah dulu ataupun sekarang, sosok Arum masih mampu memporak-porandakan hatinya. Rama akui bahwa ia menyukai Arum pada level di mana dirinya sendiri tak mampu mendeskripsikan jenis perasaan itu. Ia sangat ingin memonopoli Arum hanya untuk dirinya seorang. Rama sangat ingin, namun Arum yang sekarang tidak bisa dengan mudah ia genggam.

Dengan kondisi hatinya yang sedang tidak baik-baik saja, di sinilah Rama sekarang, melakukan tanding basket dengan teman-temannya yang lain sejak pukul enam sore di lapangan basket kampusnya. Keringat bercucuran, degup jantungnya bertambah akibat otot-otot tubuhnya bergerak sangat aktif, hawa panas menyeruak tak peduli udara malam yang dingin.

"Lagi banyak pikiran kah? Dari tadi lo main kayak kesetanan, kasih yang lain nyetak poin lah!" Gelak Kevin, rekan setimnya yang tampak terengah-engah.

Rama melirik pemuda itu, ia hanya menyunggingkan sebuah senyum miring sebelum kembali berlari dan berusaha merebut bola dari lawannya.

"Pelan-pelan cok! Buset dah." Seru Kevin yang lantas menyusul Rama.

Untuk sejenak, permainan itu berjalan dengan baik. Rebut-merebut bola, saling hadang, dan Rama yang lagi-lagi berhasil menyetak poin untuk timnya. Malam itu, Rama melakukan aktivitas basketnya dengan sangat fokus, meluapkan sejenak marah di hatinya yang terasa ingin membogem wajah Aswangga. Memikirkan Arum yang menghabiskan waktunya dengan Aswangga dan tak memperdulikan Rama dengan segudang rasa kesal serta marah akibat dihindari, membuat pemuda Rajendra itu merasa cemburu hingga ke ubun-ubun. Sial, Rama sangat tak suka dengan perasaan ini.

Rama dan fokusnya pada permainan basket tersebut harusnya masih berjalan baik jika saja netranya tidak melihat keberadaan Arum yang tengah berjalan bersama Aswangga di area pakir yang letaknya berada tepat di samping lapangan basket. Memang tidak ada interaksi signifikan antara kedua anak manusia itu, tapi tawa Arum yang disebabkan oleh Aswangga membuat semua fokus Rama buyar.

Bhugh!

"Eh, sorry-sorry, Ram. Lo ngga apa-apa?" Pertanyaan sedikit panik dan kaget itu datang dari Oki, salah satu tim lawan yang merebut bola dari tangan Rama beberapa detik lalu. Pemuda itu tak menyangka bahwa Rama akan terjatuh hanya karena dirinya sedikit menyenggol bahu pemuda tersebut.

TANYA GENGSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang