C17 : Merenung

8K 283 2
                                        

Rama tengah menghisap rokok ditangannya ketika pintu rooftop terbuka dan disusul dengan munculnya sang sahabat. Ia hanya melirik, tak berniat menyapa sama sekali. Tentu saja masih ada perang dingin antara dirinya dan ketiga sahabatnya itu, khususnya dengan Ega.

Arkan, Bima, dan Ega duduk di salah satu kursi beton yang berada tak jauh dari Rama, ketiga pemuda itu kompak terdiam menatap sahabat mereka yang tampak menyedihkan dengan luka lebam keunguan.

“Gimana keadaan lo?” Ega bertanya, bagaimanapun dia tidak ingin keadaan semacam ini terus membelenggu persahabatan mereka.

Rama melirik pemuda itu. Iya, hanya melirik sebentar tanpa mengucapkan sepatah katapun sebab setelahnya Rama kembali menyesap puntung rokok yang terselip diantara jari telunjuk dan jari tengahnya itu.

Reaksi datar yang Rama berikan sontak membuat Arkan terheran – heran, ia lantas mendekatkan wajahnya pada Bima dan berbisik pada pemuda itu. “Temen lo udah kayak anak perawan aja, isi ngambek segala.”

Bima menghela nafas, ia lelah menghadapi sisi aneh dari Arkan. Kenapa sahabatnya yang satu ini susah sekali serius.

“Yah, dikacangin.” Sewotnya dengan sudut bibir yang terangkat sebelah ketika Bima sama sekali tidak memberi respon seperti apa yang ia harapkan.

Ega menghiraukan bisikan – bisikan dari dua sahabatnya yang lain, pemuda itu terus fokus pada Rama yang tampak tak mau susah payah memulai konversasi dengan mereka. “Arum nggak sekolah hari ini, dia sakit. Gue tau lo nyuruh anak – anak lainnya nyari informasi tentang Arum.”

Ega berjalan mendekat, hanya beberapa langkah lalu ia berhenti dan menatap hamparan lapangan luas yang dipenuhi banyak murid. “Gue juga tau lo nyuruh fans – fans lo untuk ngeganggu Arum habis – habisan hari ini.”

Pernyataan yang Ega ucapkan sangat tepat sasaran. Dan hal itu mengundang tatapan Rama, tapi pemuda itu masih betah bungkam.

Sekali lagi Ega menghela nafas, ia kini berpindah posisi dan menatap Rama sepenuhnya. “Gue harap lo nggak ngelakuin hal gegabah, Rama. Kita nggak pernah tau mental seseorang, mungkin aja Arum kelihatan biasa – biasa aja setiap dia diganggu atau dicaci maki sama murid yang lain, tapi dibelakang kita nggak tau dia kayak gimana?”

“Karena kejadian kemarin, hari ini dia bahkan nggak masuk karena sakit. Gue bisa pastiin kalau dia syok dengan apa yang lo lakuin. Kebohongan yang lo buat hampir ngehancurin persahabatan masa kecilnya, sahabatnya bahkan sampe mempertanyakan harga diri Arum. Dan lo masih belum puas dengan semua itu?” Ega bertanya pelan, tapi nada kekecewaan masih terdengar disetiap kalimat yang ia ucapkan.

Rama masih betah membisu, pun Arkan dan Bima yang memilih diam mendengar semua perkataan Ega.

“Gue nggak habis pikir, kenapa lo bisa sedendam ini sama Arum. Setau gue dia sama sekali nggak pernah bikin salah sama lo kecuali perkara jus dua tahun lalu. Gue nggak bisa mentolelir keberengsekan lo kali ini, Ram.” Ucap Ega seolah ingin menyerah menasehati temannya ini.

“Gue tau lo pasti bisa berubah. Gue nggak mau persahabatan kita jadi berantakan karena ini, dan gue harap lo pun sama.” Nasehat terakhir pemuda itu lalu menepuk dua kali bahu Rama sebelum melenggang pergi dari rooftop.

“Jangan burdir lo.” Ucap Arkan yang seketika mendapat geplakan maut dari Bima.

“Si goblok. Liat sikon kalau mau ngelawak.”

Arkan memberenggut, “Siapa yang mau ngelawak, dugong. Orang gue beneran ngeri dia mau burdir, liat noh udah pas gitu spotnya.” Tunjuknya pada tempat Rama yang bertumpu tangan pada beton pembatas.

Bima memutar mata jengah, “Bacot lo.” Kemudian menarik tangan Arkan dan mengikuti langkah Ega. Baru sampai diambang pintu, Arkan berhenti, membuat Bima juga turut berhenti melangkah.

TANYA GENGSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang