Happy Reading 📚
“Apa kabar, Arum?”
Arum menggigit pipi bagian dalamnya ketika rungunya merangsang suara tersebut. Setelah tiga tahun tidak mendengar suara yang begitu diingatnya itu, kini ia kembali mendengarnya. Rungunya seolah fasih dengan suara khas tersebut, hingga saraf – sarafnya kompak mengantarkan desiran hebat pada pembuluh darahnya.
Arum tidak tahu bagaimana caranya memulai, menjawab pertanyaan ringan yang dilontarkan padanya pun terasa begitu berat untuk dilakukan. Gadis itu meremat tangannya gelisah dibawah meja sana, ia tidak siap dengan situasi ini. Bertemu kembali dengan Rama dalam situasi seperti ini sama sekali tidak terlintas dalam pikiran Arum sebelumnya.
Tapi seharusnya tidak seperti ini, Arum tidak perlu merasa segelisah ini. Ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun pada Rama, lalu untuk apa Arum harus merasa takut? Seharusnya tidak. Rama bukanlah tokoh yang berperan penting dalam hidupnya seperti masa SMA dulu, dan pemuda itu tidak akan pernah menjadi sepenting itu, baik sekarang ataupun dimasa depan nanti.
“Sayang?”
Panggilan dari Aswangga sedikit menyentak kesadaran Arum. Gadis itu menatap kekasihnya yang kini menatapnya dengan seutas senyuman heran. Ia merasa sedikit bersalah. Sudah pasti Aswangga kebingungan dengan tingkahnya yang tiba – tiba menjadi aneh seperti ini.
Arum mengedarkan pandangan, menatap sekilas pada wajah anggota Angkara yang kini kompak menatap dirinya dalam diam, mereka menunggu jawaban.
Arum diam sebentar. Meneguhkan hati, gadis itu menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman kecil. Ia kemudian menolehkan kepala ke arah Rama. Masih dengan senyuman kecilnya, gadis itu membalas tatapan mata Rama yang tenang namun menghunus itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia bersitatap dengan mata elang itu.“Baik. Kabarku baik, seperti yang kalian lihat.” Jawabnya tegas sembari mengangguk. Senyumannya pun tertarik semakin merekah.
Rama merapatkan rahangnya, sudut bibir pemuda itu berkedut membentuk senyum miring yang samar. Dengan pelan ia mengangguk. “Hm, gue bisa liat itu. Gue seneng bisa liat lo lagi.”
Arum terdiam mendengarnya. Ia masih setia menatap mata tajam Rama yang entah mengapa menyimpan banyak emosi. Tak lama gadis itu mengerjap, ia mengulum bibirnya sembari mengangguk pelan dan tersenyum canggung. Dengan segera gadis itu mengalihkan pandangannya dari Rama.
“Kalian apa kabar?” Arum tidak ingin terjebak dalam topik yang terasa menyudutkan dirinya.
Pemuda – pemuda yang tadinya hanya kebingungan menonton percakapan antara dirinya dan Rama itu kompak mengangguk. Arkan dan Bima tampak paling bersemangat, senyuman cerah diwajah tampan kedua teman SMA-nya itu terlihat merekah.
“Ya happy – happy aja sih gue. Lo tau gimana gue’kan?” Bima menyahut dengan melayangkan kerlingan pada Arum.
“Baik dong. Tambah ganteng’kan gue?” Arkan turut membalas dengan sedikit bumbu kenarsisan yang membuat Arum terkekeh kecil melihat tingkah pemuda itu yang masih saja sama seperti yang Arum kenal.
Ia kemudian menatap Ega yang duduk di samping kirinya, pemuda yang merupakan mantan kekasih sahabatnya itu terlihat mengedikkan bahu pelan dengan senyuman kecil. “Kabar gue juga baik. Sahabat lo gimana kabarnya? Gue titip salam, minta dia untuk buka blokirannya ke gue.”
Arum tertawa kecil mendengar ucapan Ega. Tak ayal, ia mengangguk sebagai respon. “Dela kabarnya baik. Nanti aku sampaiin salam kamu ke dia.”
Ega tersenyum, “Thanks.”
Arum mengangguk, gadis itu lalu menatap seorang pemuda lainnya yang duduk disamping Bima. Kedua alisnya terangkat seolah bertanya, ia tidak kenal dengan pemuda yang satu itu.
Seolah mengerti kebingungan Arum, pemuda tersebut, Jere, lantas memperkenalkan dirinya. Ia menjulurkan tangan, berniat bersalaman. “Kenalin gue Jere. Gue rasa ini pertama kalinya kita ketemu.”
Arum membalas jabatan tangan itu, “Kenalin aku Kath.”
Selepas saling berkenalan dengan pemuda tersebut, Arum kembali bersuara. “Bagus deh kalau kabar kalian semua baik. Seneng bisa ketemu sama kalian lagi.”
“Lo jangan ngilang – ngilang lagi, Rum. Bikin orang panik aja nyariin lo.” Arkan berucap sembari tertawa, sedangkan Arum sedikit kikuk sebab mendengarnya. Gadis itu hanya mampu tersenyum.
“Lo nggak niat nanyain kabar Rama. Lupa apa gimana nih? Tuh anak liatin lo dari tadi. Nunggu ditanyain sama lo kayaknya.” Bima menaik-turunkan alisnya dengan senyum menggoda.
Kenapa Bima harus mengeluarkan pertanyaan itu, kenapa dia harus kembali membuat suasana menjadi canggung setelah dengan susah payah Arum sedikit mencairkan suasana.
Arum sudah tahu dan sangat sadar bahwa Rama memang masih menatapnya sedari tadi, benar – benar tidak memperdulikan orang – orang di sekitar yang menyadari tingkah anehnya itu. Sejak tadi pula Arum mencoba menghiraukan hal tersebut dan tidak memperdulikan atensi Rama disampingnya. Tapi sayang, Bima menghancurkan semua usahanya.
Menoleh pelan, Arum kembali menatap Rama dengan wajah seolah mengisyaratkan pertanyaan. Sedangkan pemuda itu tampak menautkan alis samar.
“Apa?” Itu adalah pertanyaan satu kata yang Rama keluarkan. Kelewat singkat dan terdengar sangat datar.
Sejenak, Arum tidak tahu harus merespon apa. “Gimana kabar kamu, Rama?”
“Oh.”
Satu respon dan Rama kembali diam. Itu saja? Apa maksud dari ‘Oh’ itu? Kenapa Arum merasa begitu canggung, dan kenapa kecanggungan tersebut harus seketara ini. Arum merasa ini benar – benar salah.
“Oh apaan anjir? Lo yang bener dong jawabnya. Muka lo juga noh, dibiasain aja. Sampe takut si Arum.” Ujar Bima yang memperhatikan.
Rama melirik Bima sebentar, lalu kembali menatap Arum. “Gue rasa lo yang paling tau gimana kabar gue. Untuk apa harus nanya lagi? Formalitas?”
“H-hah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
TANYA GENGSI
ChickLit19+ | Arum tahu bahwa hidupnya akan hancur setelah ia sah menjadi istri dari Rama, si pelaku pembullyan terhadapnya saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. ___________ Kata orang, masa SMA adalah masa paling menyenangkan, dimana beragam ce...