C11 : Minggu Yang Berat

1.1K 64 4
                                    

“Kamu saya perhatiin kelayapan terus dari kemarin. Kenapa? Nggak betah diem dirumah karena saya suruh – suruh terus?”

Arum baru saja menutup pintu kamarnya ketika suara dingin milik Mama Rina menodongnya dengan pertanyaan yang lebih mirip tuduhan.

Arum menggeleng, “Enggak kok, Ma. Bukan gitu, Arum ada kerja kelompok. Besok giliran kelompok Arum yang presentasi. Semua tugas – tugas Arum udah Arum selesaiin kok.”

Rina bersedekap dada, “Terus siapa yang mau ngurus ibu kamu, saya nggak mau terus – terusan direpotin.” Ucap wanita berusia tiga puluh sembilan tahun itu terang – terangan.

Arum mengulum senyum kecil, “Bunda udah minum obat kok tadi, sekarang lagi tidur. Nanti jam sepuluh Kak Jana pulang, dia yang bakal jagain Bunda selama Arum pergi. Lagi pula Arum juga nggak ada minta Mama untuk jagain Bunda’kan? Mama sendiri yang merasa direpotkan untuk hal yang nggak pernah dibebankan kepada Mama.”

“Arum pergi dulu.” Arum melenggang melewati Rina yang bergeming dengan wajah menahan emosi. Wanita itu berbalik menatap punggung Arum yang menjauh, gadis yang merupakan anak tirinya itu sudah berlaku berani hari ini. 

“Sudah mulai berani kamu dengan saya, Arum.”

Melewati gerbang rumahnya, Arum menghela nafas. “Kamu terlalu berani Arum.”

Gumaman yang ia keluarkan seolah penuh peringatan untuk dirinya sendiri. Arum tidak habis pikir dengan dirinya yang berlagak bergitu berani akhir – akhir ini, kejadian beberapa hari yang menimpanya disekolah membuat dirinya seolah tidak tahu diri. Pertama Isabel dan rekan sejawatnya, kemudian Rama, dan hari ini Mama tirinya; Rina.

Kalimat berani yang ia lontarkan tadi merupakan yang pertama sejak hari dimana Mama Rina dan Amara sah menjadi anggota kelurga Maungali. Itu merupakan yang pertama bagi Arum membalas dengan kalimat yang sama tajamnya seperti apa yang dilotarkan oleh Mama tirinya itu.

Arum menggeleng, memukul kepalanya sendiri. “Berdoa aja supaya kamu nggak dapet masalah pulang nanti.”

Setelah menghela nafas dan menenangkan dirinya yang resah, Arum berjalan menuju driver ojek online yang memang baru saja datang. Arum memilih untuk memikirkan tentang kemungkinan buruk yang akan Rina lakukan nanti, sebab masih ada hal di depan mata yang pantas untuk ia pikirkan. Tentu saja hal itu adalah Rama, Arum merasa bahwa memikirkan hal – hal yang akan ia lalui dalam beberapa jam kedepan bersama pemuda itu jauh lebih penting untuk saat ini. Ia merasa bahwa sangat perlu rasanya untuk menyiapkan mentalnya sebelum bertemu dengan pemuda itu, walau sejujurnya hal itu sudah ia lakukan sejak kemarin malam.

Lima belas menit mendudukkan dirinya di jok belakang motor ojek online, Arum akhirnya sampai di halte sekolahnya. Gadis itu menengok ke kanan dan kiri, memperhatikan sejenak kendaraan yang berlalu lalang, seolah dapat menemukan keberadaan Rama dengan motor ninja milik pemuda itu.

Arum memilih duduk di bangku halte, menunggu kedatangan pemuda itu yang memang mengatakan akan menjemutnya seperti pagi kemarin. Dengan sabar, gadis itu melewati detik demi detik, yang kemudian bergilir menjadi satuan menit yang terkumpul cukup banyak.

Melirik pada jam ditangannya, Arum mengernyit sedikit bingung. Sudah dua puluh delapan menit sejak pukul sembilan pagi dimulai, tapi Rama masih belum menampilkan batang hidungnya. Apa pemuda itu lupa? Tapi tidak mungkin rasanya mengingat bagaimana kemarin siang pemuda itu mendesaknya untuk kembali menunggu dirinya di halte. Tapi menjadi pelupa adalah hal yang manusiawi, bisa saja Rama memang lupa. Ck, Arum jadi bingung sendiri.

Arum melirik telepon genggam yang ia remat, gadis itu sedang menimang. Apakah perlu baginya untuk menghubungi Rama? Tapi bagaimana jika pemuda itu marah dan mencaci makinya lalu mengatakan bahwa dirinya tak sabaran?

TANYA GENGSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang