C32 : Si Pemaksa

8.1K 341 24
                                        

Happy Reading 📚

Suasana area tongkrongan cukup luas yang berlokasi hanya beberapa meter dari gerbang belakang kampus tampak cukup ramai. Warung Mbak Emi namanya, cukup terkenal di kalangan masyarakat TRISA alias Universitas Tri Satya, salah satu kampus swasta elit yang presensinya cukup diperhitungkan dan mampu bersaing dengan universitas negeri bergengsi lainnya.

Sore itu sudah menunjukkan pukul lima sore, ramainya Warung Mbak Emi pun tampak kian padat. Arum dan dua rekan sekelasnya sudah mendudukkan diri di salah satu bangku yang ada sejak sepuluh menit terakhir, menunggu pesanan mereka datang.

“Gila ya Prof Eman, soalnya ngga ngotak gitu banyaknya. Pegel banget tanganku nulis.” Keluh Gita dengan logat Bali-nya yang masih lumayan kental.

“Asli, mana susah-susah lagi. Awalnya doang bilang ‘tenang aja kalau sama saya, UAS nanti soalnya cuma 3, pasti kalian bisa jawab’. Iya sih tiga, tapi anaknya sampai empat per soal. Gimanalah nasib nilai gue, mana banyak ngarangnya.”

Salah seorang gadis lainnya, Puspa, meluruhkan badannya pada meja, mendadak lemas ketika meningat beberapa jawaban yang ia buat dengan asal-asalan.

Arum terkekeh samar, “Udahlah, mau gimana lagi. Inget slogan Carla, ‘datang, kerjakan, dan lupakan’. Yang penting kita ngga sering absen, rajin ngumpul tugas, dan UTS kemarin ngga remed. Berdoa aja semoga UAS juga ngga remed.”

Gita memutar bola matanya malas, “Dia bilang gitu ‘kan karena dia pinter, jadi ya santai-santai aja. Lah kita? Walau udah ngerasa yakin sama jawabannya, tetep aja belum tentu bener.” Ujarnya yang merasa iri pada Carla, teman sekelas mereka yang kerap sengaja memamerkan kepintarannya.

Arum mengangguk, “Iya sih.” Gumamnya kecil. “Udah ah, berdoa aja, yang penting ngga dapet di bawah B.” Arum sendiri juga pasrah mengingat dua soal yang ia jawab dengan sedikit asal-asalan.

Tak berselang lama dari itu, seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menghidangkan tiga porsi rujak dengan kuah yang tampak menggugah selera.
Gita yang sudah kepalang BM alias ngidam rujak khas Bali kesukaannya itu tak bisa untuk mencegah liurnya untuk tidak membanjiri mulut.

“Akhirnyaa!” Girangnya menatap rujak kuah pindang, menu baru Warung Mbak Emi.

Arum terkekeh, mood temannya yang satu itu cepat sekali berubah. Baru semenit lalu mengeluh kesal, sekarang gadis itu sudah tampak bahagia seolah lupa dengan beban pikirannya beberapa saat lalu.

Puspa melirik piring milik Gita, wajahnya menampilkan raut tak minat menatap kuah keruh yang memenuhi piring tersebut. “Apa ngga amis itu?”

Gita mengedikkan bahu, “Menurutku sih engga. Mau nyoba?”

Puspa bergidik, “Nggak ah, ngga meyakinkan.”

Gita mendengus, “Ya udah. Mau nyoba ngga, Rum?” Tanyanya pada Arum.

“Boleh deh, penasaran gimana rasanya.”

“Dijamin enak.”

Sayangnya, Arum tak setuju dengan pendapat Gita. Rujak kuah pindang itu rasanya aneh, tidak cocok di lidahnya. Arum bahkan hanya mampu mencoba satu suap. “Kok ngga ada manis-manisnya?”

“Emang gini. Tadi ‘kan aku minta cuma pakai kuah pindang sama cabe aja. Ada kok yang pakai gula juga, tapi enakan yang ini menurutku.”

Arum mengangguk saja sebagai respon, sedikit memandang ngeri ke arah Gita yang tampak semangat menyeruput kuah keruh di piringnya itu. Ia memilih menikmati rujak miliknya, rujak kuah terasi yang satu ini lebih menggugah selera dibanding milik Gita.

TANYA GENGSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang