C36 : Perasaan Membunuh

466 66 36
                                    

Happy Reading!

Dalam riuh para wisudawan dan wisudawati serta tamu undangan yang memenuhi area lapangan hijau Universitas Tri Satya, ada Arum dengan kebaya dan toga kelulusannya yang tampak sibuk dalam diamnya.

Beberapa kali Arum sudah menegur diri, namun entah mengapa sepasang matanya seolah memiliki jiwa mereka sendiri dan kembali pada kegiatannya yang berusaha menemukan seseorang sesuai dengan perintah sang otak. Yang ingin ia lihat tak kunjung tertangkap oleh pengelihatannya, membuncahkan rasa kian penasaran akan kemana sebenarnya dia?

Keningnya yang semula kaku sebab menahan terik matahari yang kian meninggi, kontan melunak kala netranya melihat keberadaan Ega serta Angkara lainnya yang tampak saling bersua foto dengan toga mereka masing-masing. Praktis, netra Arum kembali berusaha menelisik, mencari keradaan anggota lainnya yang ternyata tak turut berada di sana. Arum menurunkan pandangannya, menerawang rerumputan hijau di bawahnya dengan kening yang kembali tertaut. Kali ini penyebabnya bukan karena terik matahari, gadis Maungali itu tampak berpikir keras.

Kemana ... Rama?

Arum jelas tahu bahwa keingintahuan tentang Rama sama sekali tidak benar. Ia tahu bahwa memberikan ruang dalam pikirannya hanya untuk pemuda itu bukanlah tindakan yang etis di kala ia masih memiliki Aswangga sebagai kekasih. Tapi, Arum tak kuasa menahan rasa penasaran yang terasa seolah ingin membunuhnya ini. Ia tak kuasa menahan keinginan untuk melihat bagaimana keadaan pemuda Rajendra itu saat ini, sebab setelah wisuda ini, Arum rasa dirinya tidak akan pernah bertemu dengan Rama lagi.

Rasa ingin tahu ini terus membuncah setelah Rama 'menculik'nya di minimarket beberapa bulan yang lalu, kala Rama yang sudah terbangun dari tidurnya memaksa Arum untuk memberikan nomor ponselnya pada pemuda itu dan mengatakan bahwa Arum harus menerima telepon atau meladeni pesan yang nanti akan pemuda Rajendra itu kirimkan secara teratur.

Arum pikir dirinya akan kembali dibuat kewalahan meladeni Rama, tapi kenyataan justru berbeda. Setelah insiden di minimarket kala itu, Rama kembali menghilang begitu saja. Ia tak pernah lagi bertemu dengan Rama sejak saat itu, tak ada telepon dan tak ada pesan sebagaimana yang pemuda itu katakan. Bahkan di saat seperti ini, Rama juga tidak ikut serta bersama Jere untuk memberikan selamat secara langsung kepada sahabat-sahabatnya yang juga lulus dari perguruan tinggi hari ini.

Sebenarnya ada apa dengan Rama? Dan mengapa Arum harus merasakan perasaan asing seperti ini untuk pemuda itu?

"Arum.."

Kesadaran Arum tertarik kembali pada realita kala suara Aswangga memenuhi rungunya. Ia menoleh, menarik senyum melihat kekasihnya itu.

"Udah selesai foto-foto sama temen kamu?" Arum bertanya, melirik pada buket bunga cukup besar dan beberapa paper bag yang pemuda itu pegang.

Aswangga mengangguk, "Kamu gimana?"

"Udah juga. Sekarang yang lain lagi pada sibuk sama temen-temen mereka." Jawab Arum.

Aswangga meletakan bawaannya di atas rerumputan, persis di sebelah milik Arum. "Ayo, sekarang kita yang fotoan. Dari tadi belum ada foto sama sekali."

Arum terkekeh mendengar nada sedikit mengeluh itu. Ia mengangguk. "Ayo."

"Bentar, aku minta tolong orang buat fotoin." Aswangga beranjak, menghampiri Angkara yang tampak juga tengah mendekat ke arah mereka.

Ternyata para laki-laki itu memiliki tujuan yang sama.

"Selamat ya!"

"Selamat juga buat lo!" Mereka saling melemparkan ucapan.

"Jer, minta tolong fotoin gue sama cewek gue dong." Samar-samar Arum dapat mendengar percakapan mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TANYA GENGSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang