*8*

282 79 24
                                    

20-08-22

"Bram, kecilin suara musiknya. Sayu-sayu aku mendengar teriakan seseorang," perintah Jaka yang duduk di kursi penumpang. Ia menoleh ke kiri dan kanan jalan, mengamati dengan teliti hamparan sawah yang tersaji di depan mata.

Jaka tak melihat adanya pergerakan manusia, ia hanya mendapati beberapa orang-orangan sawah yang sedang melaksanakan tugas menakut-nakuti burung. Giliran Hendrik si lajang, anak buah John Skalinski yang juga berada di dalam mobil dan duduk di samping Bram, dia merasa melihat sosok kecil diantara rimbunan padi yang berundak.

"Kurangi kecepatan, sepertinya aku melihat seseorang melambaikan tangan," Tak yakin dengan penglihatannya yang sekilas menangkap bayangan dari kaca spion, Hendrik menoleh ke belakang diikuti Jaka.

Harapan Megan untuk bisa selamat bertambah besar dan memang nyata saat melihat mobil SUV yang dikejarnya mulai berjalan melambat. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi. Megan begitu bersemangat, ia berusaha menambah kecepatan larinya meski kaki berasa mau copot, napas tersengal tinggal sisa-sisa dan kepala mulai pusing karena sangat lelah.

Megan masih terus berteriak memanggili banyak nama hingga tenggorokannya panas seperti terbakar. Tak disangka, Mobil SUV hitam itu akhirnya berhenti. Merasa lega, mata megan tampak berkaca-kaca, selangkah lebih dekat lagi usahanya tak akan menjadi sia-sia.

Megan telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari memangkas jarak. Ia melihat pintu mobil mulai terbuka, Megan sontak melambaikan tangan namun entah kenapa tiba-tiba pandangannya menjadi kabur karena guncangan, punggung berasa sakit terbentur tanah juga kepala yang semakin pusing berdenyut.

Kini terasa hembusan hangat menyapa di depan muka juga suara napas yang memburu. Megan perlahan membuka mata. Terkesiap, seketika tangisnya pecah saat melihat sosok Jupiter tengah menimpa tubuhnya dengan bekapan yang menempel erat.

Megan meronta, namun kuncian itu membuatnya tak bisa berkutik, ia juga merasakan sesak di dada karena Jupiter menindih tanpa ampun.

"Aku tak melihat apa-apa, Hen," Jaka keluar dari mobil sambil memicingkan mata, memandang sekeliling luasnya sawah sejauh yang ia bisa.

"Coba lihat di sebelah sana, padinya bergerak tampak aneh," Hendrik menunjuk sambil mengamati dengan seksama.

"Aneh gimana? Semua padinya bergerak tertiup angin," sahut Bram dari dalam mobil.

Hendrik mengedarkan pandangan sambil menggaruk kepala. Memang benar yang dibilang Bram, angin yang bertiup kencang menghempas tanaman padi menjadi bergerak merata seakan bersekongkol menutupi kejahatan yang ada di dalamnya.

Megan lolos dari pandangan orang-orang yang tengah bersusah payah mencari keberadaannya. Entah dosa apa yang telah dia perbuat hingga alam pun tak mau berpihak.

"Sayang sekali sinyal di tempat ini jelek, kalau gak, pasti tuan putri bisa segera ditemukan," gumam Hendrik, memuja Megan. Bawahan satu ini memang sudah lama mengagumi anak majikannya.

"Mulai lagi deh si halu," celetuk Bram.

"Cepat atau lambat, aku yakin non Megan pasti akan ditemukan," Jaka menepuk pundak Hendrik. "Aku juga mengkhawatirkanmu," menatap penuh makna.

"Kenapa?"

"Karena perasaanmu pada non Megan. Aku tau setiap orang berhak mencintai, tapi kamu juga harus sadar diri. Ingat posisimu yang bagai langit dan bumi. Jangan terlalu berharap, resikonya besar," Jaka melangkah pergi, kembali masuk ke dalam mobil.

Hendrik tampak berpikir keras menelaah ucapan Jaka. Sebenarnya Ia sendiri bingung kenapa bisa lancang menyukai anak majikannya.

Pemandangan tak senonoh yang bisa dilihat dari langit, membuat burung yang melintas terpaksa harus menutup mata. Megan berasa sekarat menahan beban tubuh Jupiter yang sangat berat. Butiran air mengalir deras dari sudut luar mata saat mengingat kesempatannya telah terlewatkan begitu saja, harapan untuk selamat seketika menghilang bersamaan dengan laju mobil yang meninggalkannya semakin jauh.

REVENGE  ( End ) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang