PART 2-1

9.5K 501 23
                                        

hai, teman2, maaf baru sempat update. btw, cerita ini sudah tersedia di karya karsa. kunci bab, tapi tetap kok dilanjutkan di wattpad. karya karsa khusus untuk yang ingin mendukung aku secara materi, kalo yang mau baca gratis di wattpad, tentu boleh, dukung aku dengan vote dan komen2. sekali lagi aku katakan, tetap dilanjutkan di Wattpad. ok, teman2?


Part 2-1

Isabella duduk di bibir ranjang dengan perasaan berkecamuk. Sesekali ia mengelus pergelangannya yang tampak memerah bekas ikatan tadi.

Saat menunduk, pandangannya tertuju pada bekas kemerahan di pergelangan kedua kakinya. Bekas ikatan yang kemerahan itu benar-benar kontras di kulit putih mulusnya. Tadi saat mobil berhenti di halaman sebuah rumah mewah, salah satu dari dua pria berwajah sangar itu melepas ikatan kaki Isabella.

Isabella menghela napas berat. Rasa cemas menggelayuti hatinya. Apa yang sedang terjadi? Mengapa ia diculik? Dan siapa Katerine? Mengapa pria itu terus menyebutnya sebagai Katerine?

Kepala Isabella semakin pening saat teringat desakan pria itu untuk mengembalikan berlian. Seumur hidupnya, ia tak pernah menyentuh berlian, apalagi sampai mengambil dan menyembunyikannya.

Isabella turun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Untunglah bekas ikatan di kakinya tidak menyisakan rasa sakit yang berarti.

Tiba di pintu kamar, ia mencoba membukanya.

Terkunci.

Isabella menghela napas putus asa dan berjalan menuju jendela yang menghadap halaman samping. Ia tiba di depan jendela lebar yang membentang dari lantai hingga dua meter tingginya. Langit malam tampak bertabur bintang. Cuaca malam ini cerah, berbading terbalik dengan suasana hatinya. Tanpa sebab ia diculik dan kini dikurung di sebuah kamar yang terletak di lantai dua.

Isabella mencoba membuka jendela.

Berhasil!

Senyum lega seketika mekar di wajah kusutnya.

Namun ketika melihat ke bawah, jantungnya berdegup kencang. Bagaimana mungkin ia begitu naif, berpikir bisa melarikan diri dari jendela? Toh kamar ini terletak di lantai dua. Ia tidak mungkin terjun bebas dan memgambil risiko patah tulang, gegar otak—sekali lagi, atau bahkan mati.

Tanpa sadar Isabella bergidik dan kembali menutup dan mengunci jendela. Lalu dengan muram memandang ke luar.

Pemandangan di luar berupa halaman samping rumah yang luas dengan tanaman yang tampak terawat rapi. Kemuraman Isabella memekat saat matanya menangkap pagar bertempok tinggi. Bagian ujungnya tertancap besi-besi runcing. Siapa pun yang mencoba melewati tembok itu, bisa dipastikan akan kehilangan nyawa.

Isabella berbalik, lalu bersandar di jendela. Ia memandang ke seantero ruangan dengan sedih. Kamar tersebut luas. Sangat luas dibandingkan dengan kamar Isabella yang hanya berukuran 3x3 meter persegi.

Di tengah-tengah kamar terdapat sebuah ranjang berukuran besar dengan seprei berwarna putih bersih. Berhadapan dengan ranjang, tampak televisi berlayar lebar, lengkap dengan separangkat audio.

Tak jauh dari tempat Isabella berdiri, terdapat sebuah sofa panjang dan meja kecil persegi. Di bagian lain, ada lemari dan meja rias.

Lalu pandangan Isabella terhenti pada pintu dan jendela yang menghadap ke balkon. Isabella berjalan menuju pintu itu. Saat mendapati pintu tak terkunci, Isabella pun melangkah keluar menuju balkon.

Udara terasa lembap dengan angin yang berembus sepoi-sepoi.

Balkon tersebut menghadap ke halaman depan. Tampak di dekat gerbang masuk ada pos sekuriti dengan dua penjaga.

Bahkan, meski ia berani mengambil risiko melompat dari lantai dua, ia tak mungkin bisa keluar dengan penjagaan yang siaga seperti itu.

Terdengar suara pintu kamar dibuka. Isabella berbalik. Terlihat seorang pelayan berusia awal empat puluh, melangkah masuk dengan nampan yang mengepulkan uap.

Isabella kembali ke kamar, menutup pintu balkon.

"Selamat malam, Nona Katerine, saya Lastri, mengantar makan malam anda." Pelayan tersebut meletakkan nampan berisi nasi putih, sup, ayam goreng, sambal, dan segelas air putih ke atas meja dekat sofa.

Seorang penjaga bertubuh besar tampak siaga di dekat pintu yang setengah terbuka.

Isabella cemberut. Ia bukan siapa-siapa, yang diculik lalu kini ditawan dengan penjagaan ketat seolah ia seorang penjahat besar.

Isabella tidak berkata apa-apa. Ia ingin menyangkal kalau ia bukan Katerine, sekaligus juga mengucapkan terima kasih demi sopan santun karena sudah dihidangkan makan malam. Namun cemas memikirkan nasibnya membuat lidahnya kelu. Ia sama sekali tak berselera makan dan tak ingin bicara.

Apa yang akan terjadi selanjutnya?

"Silakan makan, Nona." Pelayan tersebut berlalu dan pintu pun tertutup, yang Isabella yakini juga dikunci.

Siapa pria yang bernama Dominic itu? Mengapa pria itu tampak begitu benci dan marah padanya? Pada Katerine? Siapa Katerine?

Jelas-jelas mereka menangkap orang yang salah, tapi bagaimana menyakinkan itu?

Dengan tak bersemangat, Isabella naik ke ranjang dan berbaring. Mengabaikan makanan yang disajikan untuknya. Dalam kondisi seperti ini, siapa yang masih bisa merasa lapar? Yang Isabella inginkan hanyalah bisa pergi sejauh-jauhnya sebelum Dominic datang dan entah melakukan apa padanya.

***

Bersambung ....

please support vote dan komen, teman2, makasih.

follow instagram/tiktok: evathink


...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang