Suasana Duka

510 36 6
                                    

Sudah tujuh hari kepergian orangtuanya untuk selamanya, Fana sering mengunjungi makam mama-papanya. Sebagai anak tunggal, ia sangat kehilangan dua orang yang dicintainya. Semenjak kecelakaan hingga meninggal Erwin dan Utami, Fana jadi kurus-- tidak selera makan, wajahnya kusut dan matanya selalu sembab. Dunianya seketika runtuh tanpa orangtua yang telah menyayangi, membimbing, mendukung dan membesarkannya.

Gadis itu tidak peduli berbaring dengan alas rumput hijau di tengah-tengah makam orangtuanya. Rambut panjang dibiarkan terurai jadi kusut dan berdebu. Wajah ayu yang selalu tampil ceria di depan kamera, sekarang jadi muram-- dihujani isak tangisnya. Sakitnya ditinggal ibu yang melahirkannya dan ayah yang memperlakukan seperti tuan putri itu lebih pilu.

Fana akan menangis histeris jika mengingat kejadian kecelakaan yang menimpa Erwin dan Utami. Sebuah truk besar telah membuat mobil staf Erwin ringsek hingga menyebabkan empat orang meninggal dunia.

Fana sekarang tidak bisa memeluk kedua orangtuanya lagi, hanya bisa menabur bunga dan memeluk dua makam itu. Sesak di dadanya selama beberapa hari ini belum bisa pulih.

"Kenapa Mama enggak dengerin Fana kemarin? Perasaan Fana enggak enak pas Mama-Papa mau pergi ke Surabaya. Siapa yang bakal jadi power untuk Fana kalau bukan Mama-Papa," ucap Fana menyesakkan dada.

Fana mengingat kembali masa kecil yang tidak pernah kekurangan kasih sayang dari orangtuanya. Erwin menyempatkan waktu untuk keluarga dengan mengajak berwisata, berbelanja atau mengobrol hangat di rumah. Utami, seorang ibu rumah tangga yang ada waktu untuk putrinya. Namun saking sayangnya dengan Fana, Utami melarang Fana melakukan pekerjaan rumah agar tidak tergores dan terluka. Jadi, semua dikerjakan oleh asisten rumah tangga.

"Fana males pulang ke rumah. Buat apa? Mama-Papa enggak ada lagi di sana. Terasa kosong. Hidup Fana terasa setengah. Maafin, Fana-- Ma, Pa, Fana malah sibuk bikin konten, harusnya cegah Mama-Papa ke sana. Fana enggak sanggup ditinggal sendirian," kata Fana semakin histeris.

"Maaf, Mbak, ini udah sore, sebaiknya jenengan pulang ke rumah. Soalnya pemakaman mau ditutup pagernya," ujar seorang penjaga makam.

Fana menoleh ke seorang bapak yang menjaga pemakaman. "Boleh saya di sini, Pak?"

"Waduh, ndak boleh je, Mbak. Kalau jenengan di sini ada apa-apa gimana? Ndak ada yang nolong loh. Kalau jenengan besok ke sini mboten nopo-nopo."

"Nggeh, Pak. Saya pulang."

Seorang penjaga makam lantas pergi. Fana perlahan bangkit dari baring, kemudian mengibaskan rerumputan yang menempel di baju dan rambut. Ia sejenak menyeka air mata, walaupun rasanya ingin menangis sepuasnya. Debu-debu yang menempel pada wajahnya membuat kusam.

"Pa, Ma, besok Fana ke sini lagi. Fana nginep di hotel aja. Males pulang ke rumah, soalnya keluarga besar dari Papa-Mama mulai ribut kalau Fana pewaris tunggal," ujar Fana sesenggukan.

Fana kini berada di area luar pemakaman. Lirikannya tertuju pada seorang ibu dan anak perempuan dengan balutan kaus compang-camping. Tampaknya mereka sedang menahan lapar karena memegang perut. Anak perempuan itu merengek-- berharap ibunya memberi makanan, tapi ibunya kebingungan hendak cari makan di mana? Akhirnya Fana punya inisiatif untuk menghampiri mereka.

"Ibu orang sini, ya?" tanya Fana.

Ibu itu sesekali mengangguk sembari menjawab, "Kami abis diusir dari kontrakan, Mbak, karena enggak sanggup bayar kontrakan. Udah dua hari kami luntang-lantung di jalan. Hari ini uang saya pas abis."

"Ya, udah, makan bareng sama saya aja, Bu. Mari ikut saya naik mobil."

"Terima kasih, Mbak. Alhamdulillah, ya Allah."

Fana (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang