Bucin

438 18 0
                                    

Para jamaah berhamburan keluar dari masjid usai salat Isya dan tarawih. Sebagian laki-laki masih ada menetap di masjid karena menjalani iktikaf. Fana bersama Nuri dan Zilfanya mencari sendal di teras masjid. Mereka lantas berjalan melewati setiap rumah dan saling sapa ke tetangga.

Zilfanya terlihat kepayahan berjalan dengan balutan bawahan mukena, Fana tanggap dan menghentikan langkah. Sang ibu sambung meminta Zilfanya melepas mukena agar bisa jalan lancar. Kini gadis kecil berpakaian piyama anak itu lega. Nuri membantu ikat rambut Zilfanya yang acak-acakan. Mereka bertiga kembali bergandengan.

Tiga perempuan yang sedang asyik berjalan lantas bertemu dengan seorang pedagang mie tek-tek keliling. Pria paruh baya itu memasak mie tek-tek di depan rumah salah satu warga.

Aroma mie tek-tek yang sedap sampai ke indera penciuman Fana. Meski sudah makan di waktu buka puasa tadi, tapi ia merasa keroncongan. Fana mengajak Nuri dan Zilfanya ke gerobak mie tek-tek itu.

"Fanya mau mie tek-tek, enggak?" tanya Fana menawarkan mie tek-tek ke putri sambungnya.

Zilfanya mengangguk-angguk lantas menjawab, "mau Mommy. Mienya kelihatan enak, tapi Fanya enggak pakai pedes, ya, Mommy."

"Oke, Fanya," kata Fana, "Nur, mau pesen mie tek-tek gimana? Oh, iya, sekalian beliin buat orang-orang rumah."

"Buat orang gede pakai pedes, Mbak. Buat Fanya sama Ayunda enggak pedes," ucap Nuri.

Fana menghitung jari guna mengingat orang-orang di rumahnya. "Yang di rumah kan ada tujuh orang."

"Tim pengawal?"

"Ya Allah, kalau mereka beda rumah sama kita. Tinggal di mes sendiri. Aku enggak hapal pengawal ada berapa, banyak banget."

Tiada antrean pembeli mie tek-tek. Fana lega lantas menjelaskan pesanan varian mie tek-tek yang berbeda ke pedagang itu.

"Ditenggo riyen, nggeh, Mbak," ucap bapak pedagang mie tek-tek sembari mempersilakan mereka duduk di kursi. "Monggo pinarak lenggah teng mriki, Mbak-mbak." (Ditunggu dulu, ya, Mbak.) (Silakan duduk di sini, Mbak-mbak.)

"Nggeh, Pak. Matur nuwun," ucap Fana dan Nuri secara bersamaan. (Iya, Pak. Terima kasih.)

"Saya baru lihat jenengan di sini, Pak. Bapak udah berapa lama jualan keliling perumahan?" kata Fana.

"Saya jualan mie tek-tek di perumahan ini udah lama, Mbak. Mbak kayaknya warga baru di sini, ya?" ujar bapak pedagang mie tek-tek.

"Iya, Pak, saya baru di sini. Tapi suami sama anak sambung saya yang warga perumahan di sini."

Bapak pedagang mie tek-tek itu menoleh sebentar ke Zilfanya. "Oalah, ini anak Pak Adam to. Jenengan berarti istri barunya."

"Nggeh, Pak." Fana tersenyum hingga menampakan gigi.

"Sekedap, nggeh. Saya masakin mie tek-teknya dulu." (Sebentar, ya.)

Di pertengahan menunggu pesanan mie tek-tek, seorang ibu dan anak gadisnya menghampiri gerobak mie tek-tek. Nuri sigap menyodorkan dua kursi untuk keduanya. Ibu dan anak gadisnya itu berterima kasih kepada Nuri.

"Pak, kulo pesan tiga bungkus mie tek-tek pedess sedengan mawon," pinta ibu itu.

"Nggeh, Bu. Ditenggo riyen," ujar bapak pedagang mie tek-tek.

"Mbak Fana to?" tanya ibu berkerudung cokelat tua lantas menoleh ke Fana.

Fana menjawab, "nggeh, Bu. Pripun?"

"Alhamdulillah, pas Mbak Fana ada di sini. Kalau enggak keberatan, saya boleh enggak minta tolong?"

"Minta tolong apa, ya, Bu?"

Fana (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang