Tegang

499 47 4
                                    

"Sebagian warisan yang kamu punya, coba diinvestasikan deh. Siapa tahu kamu punya tambahan."

"Tante yakin kamu kewalahan ngelola harta Papa-Mamamu. Kalau kamu kurang percaya sama keluarga, kamu cari suami biar ada yang ngelola harta bareng-bareng."

"Kami enggak mungkin ninggalin kamu di rumah sebesar ini. Pasti kamu kesepian dan butuh kami."

"Kamu itu perempuan, Fana. Kalau bisa perempuan bangun pagi, masak dan ngerjain pekerjaan rumah. Jangan mentang-mentang kamu pewaris tunggal, kamu enggak bisa apa-apa."

"Lebih baik kamu undur diri dari manajemen influencer deh, kamu itu perempuan, pamali-- kalau keluyuran terus. Toh, kalau udah nikah, ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga."

"Sebagai pewaris tunggal, masa kamu mau pelit sama keluarga besar yang lain? Bukan Om mau ngatur kamu, Om mau kamu jadi orang dermawan."

Begitulah beragam cuitan dari keluarga besar Erwin yang terngiang di benak Fana. Namun dari pihak keluarga besar Utami jarang bahas warisan tapi justru bahas Fana yang belum menutup aurat. Dalam satu rumah besar nan mewah itu terdapat lima kepala keluarga yang masih betah-- tak kunjung pulang ke rumah aslinya.

Sembari menunggu seorang notaris di restoran, Fana membaca deretan pesan masuk di gawai. Ia pernah mengirim pesan supaya keluarga besarnya pulang ke kota masing-masing. Namun sayangnya, mereka pandai membuat dalih untuk menetap di rumah Fana. Gadis itu jadi geram dan muak untuk tinggal di rumahnya sendiri.

"Assalamu'alaikum, Mbak Fana," sapa Didi, pria setengah baya itu rapi dengan balutan jas hitam dan kemeja.

Fana menjawab sapaan notaris kemudian mempersilakan duduk bertatap muka. "Wa'alaikumsalam, mari duduk, Pak Didi."

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"

"Bapak bisa baca chat grup keluarga besar saya. Selama saya di rumah udah enggak nyaman sama beragam ocehan mereka. Kesannya-- saya jadi numpang di rumah sendiri." Fana menyerahkan gawai Apel-Phone kepada Didi.

"Mbak Fana juga butuh Pak Tyo, pengacaranya Pak Erwin agar ada perlindungan hukum. Ya, untuk jaga-jaga aja."

"Saya enggak mau bertele-tele sih, Pak. Saya pengen keluar dari rumah itu. Jadi gini, biarkan rumah, butik dan toko bangunan milik Papa-Mama jadi milik mereka. Tapi, soal uang punya Papa-Mama-- saya pegang semuanya. Saya bisa cari rumah baru. Enggak ada gunanya saya di rumah lama kalau enggak ada orangtua saya, suasananya udah beda, Pak. Saya minta tolong Bapak untuk menulis keputusan saya."

"Tapi, Mbak Fana itu pewaris tunggal dari Pak Erwin dan Bu Utami."

"Ya, udahlah, Pak. Saya udah mantap dengan keputusan saya. Daripada mereka meributkan hal itu-itu aja. Anggap aja, saya sedekah sama keluarga. Sekarang kita ke rumah saya untuk terakhir kalinya."

"Baik, Mbak. Semoga ini jadi keputusan Mbak Fana yang terbaik. Kalau gitu-- saya hubungi Pak Tyo sekarang, ya. Saya punya inisiatif sesuatu, biar kita bisa merundingkan bersama."

Seorang pelayan menyuguhkan hidangan makanan dan minuman untuk dua konsumen. Fana mempersilakan Didi untuk makan bersama, karena membahas soal warisan cukup menguras energi.

Berseteru dengan keluarga besar membuat Fana bisa lupa dengan Andra. Suasana duka atas kepergian kedua orangtuanya, Fana tidak peduli dengan Andra dan Kirana. Dipertengahan makan siang, gawai Apel-Phone milik Fana berdering ada panggilan masuk dari kepolisian Surabaya. Gadis itu cekatan mengangkat telepon yang bisa jadi penting menyangkut kasus kecelakaan orangtuanya.

"Selamat siang, Nona Shafana Nadzira," sapa seorang polisi yang mengurus kecelakaan Erwin dan Utami.

"Selamat siang juga, Pak Hermawan. Gimana, Pak?" kata Fana.

Fana (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang