Miris

634 36 4
                                    

Selama makan bubur ayam, Adam mengetuk-ngetuk sendok di mangkuk karena masih kesal mengingat kejadian pagi tadi. Bubur ayam yang sudah diaduk-aduk membuat Adam tidak selera untuk menghabiskannya. Merasa ada yang mengganjal di tenggorokan, Adam meneguk segelas air putih.

Rudi, asisten Adam berjalan sembari membawa laptop. Ia mengernyit dan meringis melihat bosnya bermuka masam. Duduklah pria berkacamata bening itu di satu meja makan bersama Adam. Rudi melambaikan tangan tepat di depan wajah Adam sehingga Adam mengangkat dua alisnya.

"Masih pagi udah merengut aja, Pak," ucap Rudi.

"Gimana enggak merengut? Pagi tadi ada yang bikin sama emosi," keluh Adam.

"Kok bisa, Pak? Emang siapa?" Rudi kembali fokus pada laptop.

"Pertama, si Shafana itu, saya pesan bubur ayam dan pengen cepet biar biar cepet juga nganterin Fanya. Eh, dia ketus enggak terima. Kedua, ibu gurunya Fanya, biasalah genit di hadapan saya, padahal saya minta tolong Fanya diberi keamanan di sekolah. Wanita-wanita."

Rudi terkesiap Adam sudah bertemu dengan Fana. "Wow, Pak Adam udah ketemu Fana? So lucky, Pak!"

"So lucky apaan? She makes me angry, iya."

"Yang pesan bubur ayam Pak Adam duluan atau Fana duluan?"

"Dia sih."

"Haha, ya, jelas kesel sih kalau main serobot gitu. Apalagi cewek kalau lagi laper, ih, galak bener. Terus, Pak Adam udah terima kasih ke Fana karena nolong Fanya?"

"Belumlah. Saya juga lagi badmood."

"Hadeh, Pak Adam kayak ABG aja."

Rudi memperhatikan Adam terus mengaduk-aduk bubur hingga agak encer. Melihat Adam yang tidak makan lagi, Rudi juga tidak berselera makan walaupun di hadapannya ada roti tawar. Ia cukup minum air putih untuk menyegarkan  rasa dahaga.

"Pak Adam pernah bilang mau ketemu Fana sekalian berterima kasih," ujar Rudi.

"Kalau sekarang momennya enggak tepat," kata Adam.

"Kenapa, Pak?"

Adam menyodorkan gawai ke Rudi untuk membaca terhangat hari ini. "Fana baru putus dari tunangannya. Saya juga sempat stalking EG-nya udah enggak ada fotonya sama tunangannya itu. Beritanya lagi ramai, ngeri juga baca komentar warganet yang nyerang Fana, cewek matre kata mereka. Namanya warganet enggak bisa seratus persen dipercaya."

"Emm, iya sih, bukan momen pas kalau Pak Adam ketemu sama Fana. Tapi, Pak Adam bentar lagi balik ke Jakarta, enggak bisa lama-lama di Jogja."

"Tunggu momen pas dan biar suasana hati juga segar dulu."

"Tapi ada bagusnya kalau Fana jadi jomlo, Pak."

Adam tercengang sampai mengernyit dahi. "Maksud kamu?"

"Pak Adam juga masih sendiri. Bisa kali." Rudi menunjukkan dua jari yang mengisyaratkan agar Adam lekas punya pendamping hidup.

"Aduh, enggak dulu. Saya masih nyaman sendiri, hahaha."

"Pak Adam enggak mikir Fanya masih butuh sosok ibu?"

Adam menarik napas dalam-dalam lantas mengembuskan dengan kasar. Indera penglihatannya tertuju pada tanaman hijau di halaman rumah. Pria berahang tegas seketika berandai mendiang sang istri merawat tanaman hijau bersama putri semata wayang, jikalau masih hidup sampai sekarang.

"Pak," tegur Rudi sambil menepuk bahu Adam.

"Hah? Iya, saya mikirin perasaan dan psikologis Fanya. Tapi gimana, ya, susah cari Ibu sambung yang bener-bener tulus ke anak saya. Kebanyakan wanita maunya sama saya aja, kalau mereka kelihatan kayak deket sama Fanya, tapi Fanya kelihatan risih sama mereka. Fanya itu masih kecil dan pasti punya insting yang peka," jelas Adam tersadar dari lamunan.

Fana (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang