Chapter 13: Cokelat

433 69 0
                                    

BEBERAPA waktu berlalu sejak kejadian itu. Fakultas mereka berhasil meraih posisi runner up pada pertandingan voli tahun ini, meskipun pada pertandingan terakhir, beberapa pemain tetap digantikan oleh pemain cadangan karena beberapa hal, salah satunya Edwin, yang mengalami cedera pada jemarinya dan tidak memungkinkan untuk bermain di pertandingan terakhir.

Namun, setelah acara itu, angkatan 2019 pun mulai fokus kepada perkuliahan karena tak bisa dipungkiri, semakin naik semesternya, semakin besar niat dan usaha yang harus mereka kumpulkan demi mendapatkan IP yang bagus. Apalagi Luna, mahasiswi yang cukup ambisius dan perfeksionis, serta mengharapkan segala yang terbaik dalam perjalanannya mendapatkan gelar dokter gigi. Lagipula, tinggal tiga semester lagi sebelum dia resmi mendapatkan sarjana kedokteran gigi dan memulai langkah lainnya, yaitu koas.

Tak banyak yang berubah dari Edwin. Lelaki itu masih sering tidur ketika kuliah dan sengaja berlindung di balik mahasiswa yang memiliki badan tembok. Tak heran, lelaki itu masih sering mendapat nilai yang anjlok ketika ujian. Namun, Luna akui, Edwin cukup bagus dalam praktikum, terutama jika mengkaji mengenai tenaga dan keterampilan tangan yang dia punya. Seperti yang kita tau, kedokteran gigi itu memerlukan tiga hal, yaitu otak, mental, dan keterampilan. Tangan dan jemari adalah organ tubuh penting dalam jalannya praktik yang akan dilakukan. Jujur saja, Luna mungkin memang bagus di teori, tapi dia cukup kacau di praktikum. Dia tak memiliki keterampilan sebagus Edwin.

Namun, melalui pengamatan Luna, ada banyak mahasiswa laki-laki di angkatannya yang tak terlalu bagus di teori, tapi bagus di praktikum, seperti ketika membuat gigi tiruan, patung gigi dari wax, coping wax, dan masih banyak lagi. Luna paling benci jika sudah berurusan dengan kawat klamer karena tangannya tak cukup kuat membengkokkan benda tersebut dan berakhir dengan luka pada jemarinya. Namun, bagi mahasiswa laki-laki, itu adalah hal yang kecil karena mereka memiliki tenaga yang lebih besar.

Luna menghela napasnya, membaca buku yang di hadapannya dengan pikiran yang awang-awang. Dia sedikit mengkhawatirkan masa depan dan mimpinya.

Plak.

Luna kaget sekaligus meringis sakit ketika Edwin baru saja datang dari belakang, menggeplak kepalanya dengan botol air mineral, lalu duduk di kursi yang ada di depan meja Luna, menatap perempuan itu dengan tatapan polos, sedangkan Luna sudah memasang wajah kesal sejak dia menyadari keberadaan Edwin.

"Anjer, itu muka apa namanya?" Edwin menahan tawanya. "Gorila nahan berak?"

Luna melayangkan bukunya ke arah Edwin, membuat lelaki itu meringis kecil, meskipun masih tertawa mengejek Luna. Edwin pun mengernyitkan dahinya ketika dia melihat apa yang sedang Luna lakukan. "Lo lagi ngapain?"

"Belajar," jawab Luna. "Untuk UAS minggu depan."

"Lah, iya, blok ini udah mau abis," kata Edwin. "Gak kerasa."

Luna tersenyum manis. "Iya, dong. Soalnya, lo tidur mulu kalau lagi kuliah, makanya gak kerasa."

Edwin ikut melemparkan senyuman lebarnya dengan polos, membuat keinginan Luna untuk memakan lelaki menyebalkan ini semakin besar.

"Yah, tiap orang kan punya mimpi yang beda-beda ya, Kak," ujar Edwin, membuka botol air mineralnya, lalu meneguk benda tersebut. "Mimpi lo sama gue udah pasti beda. Gak heran lo ambis, gue sampis."

Luna mengernyitkan dahinya. Mimpi Edwin? Dia tau, mimpi Edwin adalah menjadi seorang musisi dengan lagu Jepang, seperti yang waktu itu Edwin katakan, tapi apakah mimpi Edwin hanya sebatas itu?

"Halo!"

Baru saja Luna ingin membuka mulutnya untuk menyampaikan pertanyaan apa yang terlintas di kepalanya kepada Edwin, mereka dikejutkan oleh perempuan yang baru saja tiba. Dira melemparkan senyuman lebarnya, membuat Edwin dan Luna hanya bisa tersenyum kecut, sedikit kesal karena dikagetkan.

"Lagi ngapain?" tanya Dira, menatap Luna dan Edwin secara bergantian. "Eh, gue gak ganggu lo berdua, kan?"

"Kagak," jawab Edwin. "Lo abis darimana? Dito mana?"

"Dito lagi sama rombongan cowok di kantin," jawab Dira, santai. "Eh, Lun, ada yang mau gue obrolin sama lo."

"Apaan?" tanya Luna, penasaran.

"Eh, Win, sana dulu. Gue sama Luna mau ngobrol," ujar Dira, melambaikan tangannya, mengusir Edwin yang sedang mengunyah makanannya.

Edwin menatap malas. "Udah, ngobrol aja. Gue gak ember. Oh, atau lo berdua mau ngomongin topik plus-plus? Gue ikut ngobrol dongー"

Edwin segera mengatupkan bibirnya ketika dia melihat tatapan sinis dari Luna dan Dira yang tampak bersiap memangsa dirinya. Edwin menyatukan kedua telapak tangannya, mengisyaratkan 'ampun' kepada dua perempuan tersebut.

"Yaudah, tapi lo jangan ember, Win," ancam Dira. "Gue mau bikin cokelat buat Dito, soalnya besok hari Valentine."

Luna tersenyum ringan. "Oh, ya? Kayanya bakalan seru bangー"

"Iyuh, apaan. Alay banget," potong Edwin, merinding. "Orang mah perbanyak ibadah, ngaji, sholawat. Bukannya ngerayain hari Valentine."

Dira tersenyum kecut ke arah Edwin, sekaligus memberikan tatapan tajam, membuat lelaki itu hanya bisa menelan salivanya. Sepertinya, Dira jauh lebih galak dibanding Luna, yang biasanya dia hadapi.

"Emangnya lo mau bikin apa, Dir?" tanya Edwin.

Dira terdiam sejenak, berpikir. "Dito lebih suka kue cokelat, sih. Mungkin, gue bakalan bikinin kue cokelat nanti."

"Ih, enak banget dikasih cokelat. Gue juga mau," rengek Edwin, membuat Luna yang ada di hadapannya, hanya bisa bergidik. "Kasih gue juga, dong."

"Ya, mana pacar lu," Luna menahan tawanya, mengejek. "Kan jomblo."

Edwin hanya bisa menatap kesal ke arah Luna yang faktanya juga tidak memiliki pacar, sama sepertinya. "Gue masih mending gak punya pacar karena emang keinginan gue. Nah, elo, gak punya pacar, terus awalnya demen sama Dokter Eddie, Kevin, tapi gak tergapai."

Luna merasa ucapan Edwin barusan adalah senjata yang baru saja berhasil membombardir dirinya menjadi kepingan-kepingan kecil. Luna spontan menginjak kaki Edwin yang menganggur dan tak berjarak jauh dari kakinya, seketika membuat lelaki itu meringis kesakitan.

"Banyak yang mau sama gue, tapi guenya gak mau," ujar Luna. "Standar gue yang tinggi dan gue gak bakalin nurunin standar cuma biar punya pacar."

Edwin hanya mangut-mangut mengiyakan ucapan perempuan yang ada di hadapannya ini karena jika Edwin lagi-lagi membalas, toh Edwin pun takkan menang jika berdebat dengan perempuan seperti Luna.

"Berantem mulu, ah. Jadi, gimana, nih? Fix, kue cokelat yah, berarti?" tanya Dira.

"Emangnya lo bisa masak?" tanya Edwin, sekali lagi menguji nyalinya, meskipun dia tau, Dira tak jauh berbeda dari Luna. Malahan, perempuan yang berstatus sebagai pacar dari teman dekatnya itu lebih seram jika sudah marah, dibanding Luna.

"Ye, jangan salah. Sebelum masuk kedokteran gigi, Dira tuh awalnya mau masuk tata boga, tau," ujar Luna, ditimpali anggukan sewot oleh Dira. "Bisa-bisanya lo ngeraguin Dira, ye."

"Ye, songong amat. Coba sekarang kalau elu, lu bisa masak, gak?" tanya Edwin, menatap Luna. "Pasti gak bisa, ye."

"Wah, nantangin nih orang," Luna terkekeh garing. "Chef Bobon aja lewat kalau dibandingin sama gue."

"Masa, sih?" tanya Edwin. "Bikinin gue cokelat juga, dong. Masa Dito dapet cokelat, gue gak dapet?"

Luna menyipitkan matanya. "Hah? Kok jadi gue?"

"Ya apa, kek. Trial doang," jawab Edwin, asal-asalan. "Ayo, suit. Kalau gue menang, lo kasih gue cokelat besok."

Luna yang merasa tertantang, lantas menyingsingkan lengan bajunya, lalu beradu suit dengan Edwin.

"Gunting, batu, kertas."

Luna menyipitkan matanya ketika dia melihat jarinya membentuk gunting, sedangkan jari Edwin membentuk batu. Sepersekian detik, lelaki itu tertawa jahat, lalu memeletkan lidahnya, membuat Luna semakin merasa kesal. Namun, Luna pikir, setelah semua yang Edwin lakukan waktu itu, membawa Luna ke toko kue demi menghibur Luna, bukankah seharusnya kali ini giliran Luna yang harus membalas kebaikan Edwin?

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang