Chapter 37: Cekcok

387 59 0
                                    

EDWIN, Asta, Endro, dan Kemal pun memutuskan untuk menginap di rumah Kemal, malam ini. Kebetulan, hari ini adalah hari Minggu. Selain karena memiliki niat untuk nonton film terbaru, mereka berniat untuk latihan di rumah Kemal untuk jadwal manggung minggu depan.

"Ah, males banget nonton film bajakan. Masa ada nama websitenya di sudut layar, ganggu banget," komentar Endro, merengek sebal.

"Ribet banget, bangke. Tinggal gak usah diliat susah amat," balas Asta. "Habisnya, film ni belom ada di manapun selain situs bajakan. Mau gimana lagi? Lagian, lo pada yang nyuruh gue nyari film ini."

"Ini film gak ada adegan enak-enaknya apa?" Kali ini, Edwin yang bersuara. "Bosenin banget."

Endro dan Asta mengangguk, membenarkan ucapan Edwin barusan.

"Eh, tau gak, nasi gorengnya enak banget," Endro yang sedang duduk di atas karpet, menyandar ke tangan sofa, sambil memegang piring dan sendok itu heboh sendiri. "Tapi, masa udangnya couple, anjir."

"Tinggal nungguin penghulunya doang," balas Edwin, berjalan ke arah Endro. "Bagi, dong."

"Si goblok. Tadi katanya gak mau," kata Endro, menyodorkan sendok untuk Edwin. "Besok lo ngampus?"

"Ngampus," jawab Edwin, menyuap makanannya.

"Keren banget, Bang," puji Asta, setengah meledek. "Biasanya, enak turu di rumah."

"Udah mau masuk semester tujuh, ribetin banget. Gue gak mau kena masalah," balas Edwin.

"Eh, lo berdua mau minum wine malem ini? Siapa yang beli?"

"Gue," jawab Asta. "Yah, soalnya, Bang Kemal gak mau diajak patungan. Katanya, dompetnya udah kering perkara alat praktikum."

Kemal hanya bisa terkekeh garing sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, hanya bisa dibalas cengiran oleh Edwin dan Endro.

Hening sejenak.

"Mau nobar film lain abis ini?" tawar Endro, menyengir.

Edwin, Asta, dan Kembal menggeleng dengan kompak. Mereka tau, Endro akan memutar film panas yang berasal dari Jepang lagi. Tiga lelaki itu tidak menyukai film tersebut.

Setelah menyelesaikan makanannya dan menyikat gigi, Edwin pun duduk kembali di ruang tengah sambil memangku gitar berwarna hitam tersebut. Jemarinya mulai memetik senar gitar, memainkan melodi diikuti suara senandungnya meskipun matanya fokus ke layar televisi. Padahal, latihan mereka sudah berakhir sebelum mereka mengadakan movie night. Namun, seperti Edwin yang Asta, Endro, dan Kemal kenal, Edwin tak pernah puas dengan musiknya.

Sebenarnya, mereka berempat itu hampir sama. Asta dan Endro menyukai musik rock dan bernotabene sebagai penggemar dari band One Ok Rock. Band terkenal asal Jepang tersebut adalah motivasi mereka untuk bisa berada dalam Trapnest. Kemal, lelaki itu juga menyukai rock, meskipun lebih cenderung kepada band western. Namun, lelaki itupun bukan tipe orang yang menutup telinga untuk band dari negara lain. Lalu, Edwin, lelaki itu menyukai rock karena ayahnya. Sejak kecil, ayahnya sudah memperkenalkan berbagai jenis musik, terutama rock kepada Edwin. Ayahnya memperkenalkan berbagai band rock asal Jepang pada jaman itu, seperti X-Japan, L'Arc-en-Ciel, B'z, Girugamesh, Versailles, dan semacamnya.

"Sebenernya, malem ini, ada sesuatu yang mau gue bicarain," Kemal membuka suara, menyita perhatian Edwin, Asta, dan Endro. "Tapi, gue harap kalian gak marah sama gue abis ini."

Edwin, Asta, dan Endro mengernyitkan dahinya, bingung. Hening sejenak. Kemal yang sedaritadi memang tidak banyak bicaraーpun bukan orang yang banyak bicaraーkembali terdiam, tampak mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan sesuatu kepada tiga orang temannya.

"Sejujurnya, gue berpikir untuk stop perjuangin band ini," ujar Kemal, membuat Edwin yang semula fokus dengan gitarnya, lantas menoleh. "Kita udah sering ditolak dan digantung sama pihak yang janjiin kita untuk debut. Gue capek. Gue juga udah koas."

Hening, cukup lama. Asta dan Endro melebarkan kedua mata mereka, tak percaya. Kemal, lelaki yang lebih tua setahun dari mereka itu melontarkan ucapan yang mengagetkan dan tak disangka.

"Jadi?" tanya Edwin, memecahkan keheningan yang disebabkan oleh kebingungan masing-masing anggota Trapnest. "Lo mau keluar, Bang?"

Kemal terdiam, cukup lama. Sepersekian detik, lelaki itu membuka suara kembali. "Musik adalah hobi buat gue. Mimpi gue tetep ngelayanin pasien dengan jas putih."

Edwin mengangguk, mengerti. "Yaudah, Bang. Silakan keluar."

"Win, lo yang bener aja," kata Asta. "Semudah itu lo ngelepasin salah satu dari kita?"

"Gue capek hari ini, Ta, apalagi untuk ngomongin hal yang berat kaya gini. Jadi, yaudah," ucap Edwin, bangun dari posisinya. Tampaknya, topik obrolan barusan berhasil mengacaukan suasana hatinya dan membuatnya ingin cepat beranjak dari ruangan ini. "Gue tidur duluan. Besok gue harus ngampus."

"Lo gak bisa semudah itu biarin salah satu dari kita keluar," ujar Endro. "Lo bego, ya? Tanpa bassist, kitaー"

"Kita bakalan apa?" potong Edwin. Lelaki itu yang semula sudah ingin berjalan menuju salah satu kamar yang biasanya mereka gunakan ketika menginap di rumah Kemal, lantas berjalan ke arah Asta, Endro, dan Kemal.  "Bakalan hancur? Kita bisa cari bassist lain."

"Tolol," kata Endro. "Lo pikir nyari bassist dan beradaptasi sama anggota baru pun bakalan segampang itu, bangsat? Gueー"

"Sekarang gue tanya sama lo. Buat apa lo maksain orang untuk ikut perjuangin tujuan kita? Sedangkan tujuan dia gak sama kaya kita," potong Edwin. "Lo denger kan, tadi Bang Kemal ngomong apa? Musik itu hobinya, bukan mimpinya."

Endro menarik kerah baju Edwin,  kesal. "Menurut lo, setelah sejauh ini, bahkan ciptain banyak lagu bareng, kita bisa ganti anggota seenaknya?"

Edwin menepis tangan Endro dengan kasar. "Gue males berantem dan ladenin hal kaya gini sekarang. Jangan mancing gue."

"Waktu itu, lo seenaknya bilang ke Pak Berto kalau kita batalin kontrak dan lo bakalan bayar denda," ujar Endro. "Padahal, kalau aja kita nurutin kemauan Winx Records untuk debut dengan genre musik lain dan punya banyak penggemar, kita bisa aja rilis album rock di tengah proses itu."

Edwin mengepalkan tangannya. Amarah lelaki itu mendidih akibat arah topik obrolan mereka yang semakin membuatnya panas. Tangan kanan Edwin mencengkram bahu Endro, menatap lelaki itu lekat, penuh emosi. "Nurutin kemauan mereka, lo bilang? Gue tanya sama lo, lo tau gak apa aja yang mereka omongin di toilet waktu itu? Lo mau tau semua yang gue denger waktu itu?"

Endro tak membalas apapun.

"Gue gak mau punya penggemar yang suka sama kita cuma karena visual. Apa gunanya jari gue berdarah dan lecet buat ciptain lagu, kalau alasan orang suka sama band kita cuma sekedar visual? Kita bukan model. Kita musisi!" bentak Edwin. "Itu yang Pak Berto harepin. Apakah itu juga yang lo mau?"

"Terus, selamanya kita bakalan kaya gini? Lo tau, kita cuma band kecil sekarang, kan?" Emosi Endro semakin menjadi. "Gimana kalau selamanya kita bakalan ditolak? Apa yang bakalan lo lakuin?"

"Denger, anjing," Suara Edwin terdengar merendah, tapi semakin menusuk. "Gue juga mau berada di atas panggung dengan ribuan penonton kaya band besar lainnya, tapi kalau kita harus ganti genre dan jadi orang lain demi memuaskan penonton, diidolakan karena visual, mending gue mati daripada harus ada di posisi itu."

"Udah, cukup. Kita bisa beneran hancur kalau gini terus," Asta menengahi mereka berdua, mendorong kedua dada mereka agar mundur satu sama lain. "Ndro, kita tukeran. Malem ini, lo sekamar sama Bang Kemal. Biar gue sama Edwin."

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang