Chapter 17: Gantungan Gigi

444 69 0
                                    

"BUNDA bikin kue?" tanya Luna, berbinar. "Tapi, kenapa tiba-tiba?"

Bunda yang baru saja meletakkan kue cokelat itu di atas meja dengan sarung tangan oven yang masih terpasang di telapak tangannya, lantas tersenyum. "Kita kan jarang bisa ngumpul gini. Sekalian perayaan kecil karena kemarin IP Adek bagus."

Luna tersenyum lebar. Ayah yang sedang berada di ruang tengah bersama dua cucunya, lantas ikut tersenyum ke arah Luna dan Bunda secara bergantian. Kak Tika yang juga tengah duduk di ruang tamu, ikut tersenyum.

Luna adalah anak terakhir dari dua bersaudara. Jaraknya dan Kak Tika cukup jauh, yaitu dua belas tahun. Ini merupakan momen langka dimana mereka bisa berkumpul kembali dengan lengkap, karena biasanya Kak Tika menetap di Jakarta Pusat dengan segala kesibukannya, mengingat wanita itu menjalankan sebuah klinik bersama suaminya yang juga bernotabene sebagai dokter.

Rumah sederhana yang hanya memiliki dua kamar ini selalu nyaman. Meskipun Kak Tika selalu menyarankan ayah dan bunda untuk melakukan renovasi dengan biaya yang Kak Tika tanggung sendiri, tapi ayah dan bunda tak pernah mau. Katanya, rumah itu menyimpan banyak kenangan bagi mereka karena sejak Kak Tika lahir, mereka sudah menempati rumah tersebut.

"Dira gimana, Dek?" tanya Ayah. "Gapapa ditinggal sendiri di apartemen?"

"Justru karena Dira mau jalan sama pacarnya, Yah, makanya Adek pulang ke sini," jawab Luna. "Daripada sendirian di apartemen. Kesepian. Mending pulang ke rumah ayah sama bunda."

"Gak ada tempat ternyaman selain rumah ya, Dek?" kekeh Kak Tika. "Bahkan rumah segede apapun, gak bakalan pernah senyaman rumah dimana kita tumbuh."

Luna mengangguk, tersenyum.

Rumah ini tak pernah berubah. Ayah dan bunda hanya mengizinkan cat ulang tembok rumah, penambahan beberapa perabotan rumah seperti AC, televisi yang lebih besar, dan sebagainya. Namun, untuk renovasi dan hal lainnya… ayah dan bunda tak pernah setuju untuk hal itu. Bahkan, katanya, rumah itu akan selalu menjadi rumah mereka sekaligus tempat bagi anak-anaknya pulang.

Drrt. Drrt.

Luna meraih ponselnya yang dia letakkan di atas meja. Sepersekian detik, perempuan itu menautkan alisnya ketika dia melihat nama yang tertera di layar ponsel tersebut.

Edwin jelek is calling…

Luna pun bangkit dari posisinya, lalu berjalan ke dalam kamarnya dan menekan tombol hijau untuk menerima panggilan tersebut. "Halo."

"Lo belom tidur?"

Luna mengernyitkan dahinya. Pertanyaan macam apa itu? "Kenapa?"

"Lo belom tidur, kan?" tanya Edwin lagi.

"Ya, kenapa emangnya?"

"Nah, ini nih. Modelan begini yang gue kenal," ujar Edwin. Pasalnya, menurut Edwin, haram hukumnya jika Luna tak marah-marah kepadanya ketika mengangkat telepon.

"Apaan, sih. Lo ngapain nelepon malem-malem?" tanya Luna. "Gue sibuk."

"Coba keluar rumah," ujar Edwin, membuat Luna semakin bingung, mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, apa yang akan dilakukan lelaki itu? Mendatangi rumahnya? Yang benar saja. Mana dia tau soal rumah orang tua Luna. "Eh, lo denger, gak? Coba keluar rumah."

"Bawel amat."

Luna mendengus sebal, lalu berjalan keluar rumah. Sepersekian detik, dia tertegun ketika melihat Edwin tepat di depan pagar rumahnya, tersenyum sambil melambaikan tangan. Lelaki itu mengenakan jaket abu-abu dan rambut yang berantakan, seperti ketika Edwin baru saja memboncengnya dengan sepeda waktu itu. Luna pun mematikan sambungan telepon mereka, lalu berjalan keluar perkarangan rumahnya.

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang