Chapter 18: Flower

466 73 2
                                    

PAGI ini hujan. Hal yang lebih buruk lagi, jam kuliah pertama diundur sehingga para mahasiswa harus menunggu sampai jam kuliah kedua dimulai. Selain itu, karena cuaca yang buruk di luar sana, mereka jadi tak bisa kemanapun dan harus menyibukkan diri dengan cara mereka sendiri, di kelas.

"Oke, sekarang, siapa yang kalah?" tanya Dira, menatap sengit. Setelah Dito mengocok dadu tersebut dan hasil yang menghadap ke langit-langit adalah titik satu, Mery dan Luna tertawa keras, lalu bertos ria. Sedangkan Dira dan Dito hanya bisa mendengus sebal, diikuti omelan Dira kepada Dito.

Empat mahasiswa kedokteran gigi ini sedang bermain ular tangga di meja mereka. Benar-benar solusi terbaik untuk mengisi waktu luang di saat mahasiswa lainnya sibuk dengan media sosial dan game di ponsel. Sebenarnya, Mery, Luna, Dito, dan Dira pun heran, kenapa bisa ada ular tangga di gudang laboratorium. Namun, mungkin, ular tangga itu sengaja dikirimkan Tuhan dalam mengisi waktu luang atas keputusan kampret dari dosen mereka yang seenaknya mengundur jadwal kuliah.

"To, lo dipanggil kaprodi, tuh."

Dito yang merasa namanya dipanggil, lantas bangun dari posisinya dan meninggalkan Dira, Mery, dan Luna yang menatap kecewa. Dira pun ikut bangun. "Gue ikut."

"Liat tuh, manusia saking bucinnya, pacarnya dipanggil kaprodi pun ditemenin," cibir Luna. "Kalau Dito loncat dari tebing, nih orang ikutan kali, ye."

"Jomblo kepanasan," ujar Mery terkekeh, bangun dari posisinya. "Lo ikut ke kantin gak, Lun?"

Luna menggeleng. Setelah berpamitan, Mery pun berlalu. Hening, cukup lama. Luna menerawang jauh ke luar jendela, memandangi air hujan yang cukup deras dan beberapa kali mengeluarkan petir. Perempuan yang duduk dengan tenang itu mulai terbenam dalam pikirannya sendiri, menyisakan keheningan yang terbentang luas, andai saja tidak dibantu oleh suara gemuruh air hujan.

Luna sedikit kaget ketika seseorang baru saja tiba dan mengambil posisi di hadapannya dan cukup menyita perhatian, menatapnya dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. Lelaki itu menatap Luna dengan tatapan datar, membuahkan kekesalan bagi Luna karena dia mulai merasa tak nyaman.

"Kenapa?" tanya Luna.

"Lo ngapain?" Edwin bertanya balik. "Menikmati kejombloan?"

"Apa? Heh, lo juga jomblo. Sadar diri dikit, kek," kata Luna. "Gue lagi mikir, nanti siang makan apa."

"Emangnya pilihannya apa aja?"

"Nasi padang dan nasi bakar."

"Yah… kalau gue sih lebih milih nasi bakar, ye," Edwin menaikkan bahunya. "Soalnya, gue gak terlalu suka nasi padang."

"Dih, demi apa ada orang yang gak suka nasi padang?" Luna menutup mulutnya, dramatis. "Lo bukan manusia sih kalau gak suka nasi padang."

"Hah? Kenapa itu malah jadi syarat untuk jadi manusia?"

"Ya, habisnya, semua orang suka nasi padang."

Edwin tak membalas apapun lagi. Sepersekian detik, dia sadari bahwa obrolan mereka benar-benar tak penting. Untuk apa membahas nasi padang? Namun, jika dia berbicara dengan perempuan ini, dia memang jadi selalu memperdebatkan hal yang tak penting dan membuang tenaga. Edwin menghela napasnya.

"Jadi, gimana kontrak Trapnest waktu itu?" tanya Luna, membuat Edwin menoleh. "Udah ada kemajuan?"

Edwin menaikkan bahunya. "Belum."

"Lagu ciptaan lo jelek, kali."

"Apa? Bisa-bisanya lo menghina ciptaan gue yang berharga," ujar Edwin, dramatis. "Padahal, kalau lo denger juga, pasti lo jatuh cinta."

Luna mengeluarkan lidahnya, memasang ekspresi ingin muntah. "Gak bakalan."

"Oh, ya," Luna meraih tasnya, lalu mengeluarkan benda yang sudah lama dia simpan dan sudah lama ingin dia kembalikan kepada Edwin. "Nih. Gue bawa MP3 Player lo. Gue cuma dengerin satu dua lagu, soalnya gue gak tau lagu apa yang bagus."

"Wah, ayang gue," Edwin meraih MP3 Player itu, tersenyum senang. "Ini gak ada yang lecet, kan? Kalau lecet, gue minta ganti dua kali lipー"

"Kagak. Orang jarang gue pake juga," potong Luna. "Udah dibilangin, gue gak tau lagu apa yang bagus. Tiap kali gue coba dengerin secara acak, yang keluar malah lagu rock. Gue gak terlalu suka lagu rock."

Edwin mengangguk mengerti, lalu memusatkan perhatiannya kepada MP3 Player miliknya. Sepersekian detik, lelaki itu tersenyum dan memasangkan earphone di telinga Luna. "Nih, coba dengerin, tapi sambil tutup mata."

"Hah? Kenapa harus tutup mata?"

"Udah, bawel amat. Tutup mata."

Luna memejamkan matanya. Melodi dari lagu yang baru saja Edwin putar itu menggema di telinganya, memberikan secercah perasaan yang tak Luna mengerti. Baru beberapa detik lagu itu diputar, Luna merasa dirinya sedang berada di sebuah padang rumput yang sejuk. Angin sepoi-sepoi yang mengelus wajah dan rambutnya, serta kehangatan dari sekelebat cahaya matahari yang memeluknya. Lagu ini memberikannya ketenangan.

Luna tak bisa mengetahui makna dari lagu ini karena lagu ini dinyanyikan dalam bahasa Jepang. Namun, melodinya cukup menjelaskan bahwa lagu ini adalah lagu cinta. Atau hanya Luna yang sok tau?

Namun, di tengah lagu tersebut, Luna merasa dia melihat sesuatu. Seseorang yang ada di padang rumput tersebut, berdiri di sana sebagai pelengkap keindahan dan kenyamanan dari padang rumput itu sendiri. Lelaki itu adalah…

"Ah, mana mungkin." Luna terkekeh garing, membuka matanya.

Edwin yang tak mengerti maksud Luna, mengernyitkan dahinya, bingung. "Hah?"

Luna mengulum bibirnya. Sebenarnya, dia sedikit merasa canggung ketika dia melihat bayangan lelaki yang ada di padang rumput tersebut. Namun, setelah membuka matanya kembali dan melihat wajah Edwin yang menyebalkan, dia jadi kesal sendiri. "Gue gak paham makna lagunya."

Edwin menaikkan sebelah alisnya. Sepersekian detik, lelaki itu mengeluarkan ponselnya, lalu mencari sesuatu di sana. Tak lama kemudian, Edwin menyodorkan ponselnya dengan lirik lagu terjemahan yang tertera di layar ponsel tersebut.

Kusadari, di tengah terik mentari
Masih saja kuterlelap
Jalan cerita yang tak bisa berganti seperti yang kuharapkan
Sungguh membingungkan

Luna men-scroll layar tersebut, membaca lirik lagu itu sampai akhir.

Ku ingin selalu terbuai oleh senyumanmu
Ku ingin tumbuh kuat bagaikan sang matahari
Hati ini sakit, sakit
Seakan ingin hancur
Jika perasaan ini tak akan sampai, biarkan aku layu

"Ada banyak pendapat mengenai liriknya, tapi lagu ini juga bisa digambarkan sebagai keberanian penyanyi untuk ngeraih mimpinya," ujar Edwin.

Luna terdiam, cukup lama. Tak salah lagi, mimpi dan ambisi pun Edwin begitu besar. Dia mencintai musik dan memiliki mimpi yang besar mengenai musik, bahkan makna dari lagu yang dia sukai pun mengarah ke sana. Meskipun Luna juga memiliki mimpi, tapi rasanya, usahanya takkan sebanding dengan milik Edwin. Luna memiliki keluarga yang mendukungnya, bahkan dia berhasil masuk ke fakultas yang dia mau. Namun, Edwin tak memiliki kedua itu. Dia berusaha meraih mimpinya dengan kaki dan tangannya sendiri dan Luna takkan pernah paham seberapa berat rasanya berada di posisi itu.

"Bagus, kan?" Edwin tersenyum, membuyarkan lamunan Luna. "Judulnya Flower, oleh Laruku. Penyanyi yang sama dengan lagu Anata waktu itu."

Sejujurnya, Luna merasa sedikit kebingungan. Kenapa dia melihat sekelebat cahaya lagi di senyuman Edwin? Sebelumnya, Luna hanya melihat itu ketika Edwin melakukan sesuatu yang dia anggap keren, seperti musik dan voli. Namun, saat ini, bagi Luna, ada yang lebih attractive daripada segala hal yang bisa dijangkau oleh matanya… dan itu adalah Edwin.

Luna mengangkat wajahnya, menatap lelaki yang ada di hadapannya. Lelaki itu menatap layar ponselnya dengan fokus. Cahaya dari layar ponsel itu sedikit membias di wajahnya yang tampak serius membaca sesuatu di ponselnya tersebut.

Apa ini? Kenapa dia jadi menyukai Edwin?

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang