AYAH dan Bunda hanya bisa saling pandang di ambang pintu ketika Luna dan Edwin baru saja tiba. Edwin pun menelan salivanya ketika dia menyadari ayah Luna memandangi dirinya dari atas sampai bawah, apalagi dengan wajah yang sangar itu, Edwin merasa bahwa dirinya akan dimakan di sini. Y-yah, sepertinya kalau soal wajah yang sangar, dia tak perlu heran karena setiap hari pun dia bertemu dengan perempuan gorila di sebelahnya. Edwin hanya bisa menyengir ketika memikirkan hal tersebut.
"Adek bawa temen, ya?" Bunda tersenyum ramah, meskipun Edwin tau, wanita itu sedang berusaha bersikap baik meskipun dilanda kebingungan. "Cowok."
"Pacar Luna?" tanya Ayah, memberikan tatapan mendominasinya kepada Edwin, seketika membuat Edwin merinding.
"Bukan. Ini temen Adek," jawab Luna. "Ayah sama Bunda jangan khawatir. Dia homo kok, jadi Ayah Bunda jangan khawatir."
"Hah?!" Edwin menatap kesal.
"Oh, gitu, ya? Hahahaha, masuk, nak," kata Ayah, tertawa keras, lalu mempersilakan masuk. Edwin hanya bisa menangis dalam hati. Lihatlah perbedaan ekspresi pria paruh baya tersebut setelah Luna memberitahu bahwa Edwin tak tertarik kepada perempuan. Seakan-akan hutan rimba yang tadi dia lihat, seketika berubah menjadi ladang bunga dan warna-warni. Dia benar-benar tampak lega karena mengetahui bahwa Edwin takkan menyukai anak perempuannya.
"Om, Tante, perkenalkan, saya Edwin, temen seangkatan Luna," sapa Edwin, sedikit membungkuk. "Selain itu, saya bukan homo."
"Eh? Bukan?" Ayah menaikkan sebelah alisnya. Sepersekian detik, ekspresi pria itu kembali berubah menjadi hutan rimba yang belantara. Edwin benar-benar tak bisa menjamin keselamatannya hari ini.
Edwin menginjak kaki Luna, meluapkan kekesalannya kepada perempuan itu karena sudah memberikan informasi yang konyol dan membuat sepasang suami istri itu bingung.
"Sakit. Kenapa, sih?" Luna menatap kesal. "Tapi, kan emang bener, lo gak pernah tertarik sama cewek."
"Apa? Lo yang selalu gagal dapetin cowok gak pantes buat ngomong gitu ke gue, ya," balas Edwin, melipat kedua tangannya di depan dada.
"Apー selalu gagal, lo bilang?"
Edwin dan Luna pun mengatupkan bibir mereka. Tanpa mereka sadari, mereka kelepasan berdebat di depan orang tua yang kebingungan.
"Ayo, masuk," ujar Bunda, tersenyum. Edwin bisa melihat wanita itu sudah menyerah dengan situasi yang membingungkan saat ini. Tak hanya Bunda, tapi Ayah pun pasti kebingungan karena anak perempuannya tiba-tiba membawa laki-laki ke rumah.
"Eh," bisik Edwin, membuat Luna yang sedang melepaskan sepatunya, lantas menoleh. "Gue gak bakalan dimakan kan di sini?"
"Dimakan?" tanya Luna, mengernyitkan dahinya. "Kenapa dimakan?"
"Ya habisnya, bokap lo kayanya mau nerkam gue," jawab Edwin. "Like father like daughter."
"Hah? Gue sentil ginjal lo, ya."
"Kalian berdua, ayo cepet ke sini," panggil Bunda, membuat dua insan yang sedang saling berbisik itu menoleh dan melemparkan senyuman seramah yang mereka bisa. "Edwin bakalan nginep hari ini? Kebetulan, kakaknya Luna lagi gak di sini, jadi ada satu kamar kosong."
Edwin tersenyum manis. "Makasih ya, Tante."
"Edwin. Namanya jelek, ah."
Edwin tersenyum kecut ketika dia mendengar kalimat tersebut dari ayah Luna yang sedang duduk di sofa ruang tengah, memasang wajah menyebalkan, benar-benar sebelas dua belas dengan Luna.
"Biar Om cariin nama yang bagus buat kamu. Gimana kalau Richard?" saran ayah Luna. "Atau... Jackson?"
Luna dan Bunda hanya bisa tertawa keras mendengar ucapan ayah Luna. Sedangkan Edwin, lelaki itu hanya bisa terkekeh garing, meskipun menangis dalam hati. Apa ini? Kedua orang tuanya sudah repot-repot memotong kambing untuk memberikan namanya, tapi hari ini, namanya akan berubah menjadi ✨ Richard ✨?
KAMU SEDANG MEMBACA
Taoreru
RomansEdwin, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi menjadi musisi. Luna, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi sesuai prodi yang dia ambil, yaitu dokter gigi. Mereka adalah dua orang yang selalu meledek satu sama lain. Namun, hubungan Luna...