DETIK demi detik berlalu, seiring bergeraknya arloji bundar yang melingkar di tangan kiri Luna ke arah kanan. Luna memandang ke bawah sana, ke arah jalan raya dan gedung-gedung yang jadi tampak kecil dari posisinya saat ini. Cahaya jingga mulai bergeser, menyapa sesaat sebelum menghilang. Warna gelap mulai menyapa dengan lampu-lampu kota yang mulai menyala. Titik-titik cahaya kuning mulai bertebaran di bawah sana. Satu persatu muncul dan mulai menggantikan cahaya senja. Kota ini mulai menutup hari dan Luna menikmati waktu dimana langit berubah menjadi ungu.
Luna menjatuhkan pandangannya ke bawah. Wajahnya yang semula mengukir senyuman karena suasana hatinya yang dimainkan oleh warna-warni langit yang mulai memudar seiring berjalannya waktu, seketika memasang wajah datar ketika dia melihat seseorang di bawah sana yang sedang berada di depan sebuah kios donat. Lelaki dengan kaos hitam dan luaran kemeja kotak-kotak hitam, serta tas sandang hitam yang dibawanya. Bahkan dengan melihat punggungnya saja, Luna sudah merasa kesal.
Setelah selesai membeli donat di kios merah tersebut, lelaki itupun berbalik badan, tanpa sengaja menoleh ke atas dan membuat Luna yang sudah memandanginya duluan jadi sedikit gelagapan. Alih-alih melemparkan senyuman, lelaki itu menjulurkan lidahnya, meledek.
Luna yang semula sudah memasang wajah kesal, lantas semakin panas melihat ekspresi lelaki itu yang kemudian pergi melenggang dengan santainya meninggalkan Luna yang terbakar api kekesalan. Ingin rasanya Luna melemparkan kamus tebal yang di atas meja belajarnya ke kepala lelaki itu.
"Lun," panggil Dira, membuat Luna spontan menoleh ke belakang. Dira memasuki kamar Luna dengan penampilan yang berantakan. Tanpa Luna tanya pun, Luna sudah tau kalau perempuan ini baru saja pulang dari kampus dan menyelesaikan ujian praktikum susulan yang notabenenya sudah pasti jauh lebih sulit dibandingkan ujian praktikum normal. "Lo gak masak apapun?"
Luna menggeleng. "Gue belajar untuk ujian remedial besok pagi."
"Ambis banget," Dira mencibir. "Dosennya udah dihubungin, belum?"
"Udah tadi, gue yang hubungin," jawab Luna, menghela napasnya. "Kalau bukan gue, kayanya gak bakalan ada yang berinisiatif untuk hubungin dosen, deh."
Dira menaikkan sebelah alisnya. "Lo udah tau belum, anggota ujian remedial besok pagi?"
Luna menggeleng. "Terserah, asalkan gak ada Edwin."
"Edwin?" Dira mengernyitkan dahinya. "Masih aja kesel sama dia?"
"Dir, asal lo tau, gue ikut ujian remedial blok ini juga karena dia. Kalau bukan karena kegoblokan dia yang lupain alat praktikum yang kita titipin sama dia dan bikin kita didepak dari labor waktu itu, gue yakin nilai gue gak bakalan sejelek ini."
"Seenggaknya, kalian tetep dikasih kesempatan untuk praktikum, tapi tetep gagal nentuin hasilnya," ucap Dira, menaikkan kedua bahunya. "Jadi, yaudahlah, jangan nyalahin Edwin mulu."
"Barusan juga gue liat di bawah. Mukanya nyebelin banget," geram Luna. "Eh, tapi, kayanya gak ada mahasiswa cowok yang ikut ujian remedial besok, deh. Kalau ada, harusnya udah inisiatif untuk hubungin dosen duluan perihal ujian remedial besok pagi."
"Belum tentu," kata Dira, berjalan keluar dari kamar Luna. "Cowok tuh dirancang bukan untuk peka sama hal begituan."
Luna dan Dira adalah roommates. Mereka berdua berada di fakultas yang sama, kelas yang sama, bahkan nomor absen yang berdekatan. Mereka berdua adalah mahasiswa kedokteran gigi dan saat ini, duduk di semester empat. Setelah ujian remedial ini berakhir, Luna akan menikmati liburan semester sebelum semester lima dimulai, sebulan lagi.
***
"Hah? Kok ada elo?!" teriak Luna, menunjuk Edwin yang baru saja tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taoreru
RomansaEdwin, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi menjadi musisi. Luna, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi sesuai prodi yang dia ambil, yaitu dokter gigi. Mereka adalah dua orang yang selalu meledek satu sama lain. Namun, hubungan Luna...