Chapter 14: Absen

428 65 0
                                    

EDWIN melebarkan matanya ketika dia baru saja menerima pesan dari Asta, vokalis mereka. Edwin yang semula duduk berselonjor menyandar di tembok kamarnya sembari memangku gitar, lantas mengubah posisinya menjadi duduk tegap dan mematung beberapa menit, tak tau harus mengeluarkan ekspresi apa.

Asta
• Kita dapet tawaran kontrak. Kalo lo lagi ga sibuk, telfon gue

Edwin buru-buru menelepon Asta. Lelaki itu dapat merasakan jantungnya seketika berdegup kencang, bahkan dia jadi kegerahan di kamar yang awalnya terasa dingin ini. Setelah menekan kontak Asta, Edwin menempelkan ponselnya di telinga. Seketika, nada sambung itu terasa seperti lampu kuning baginya. Entahlah, dia bahkan belum mendengar apapun mengenai penawaran kontrak yang Asta maksud, tapi begitu besar harapannya untuk memiliki kesempatan merilis musik, seperti yang dia impikan.

"Halo."

"Gimana?" tanya Edwin. "Kita dapet penawaran dari pihak mana?"

"Winx Records," jawab Asta. "Mereka sempet nonton waktu kita manggung di salah satu acara dan tertarik untuk nawarin kontrak."

Edwin terdiam sejenak. Dia bahkan sudah tak bisa berpikir dengan baik. "Jadi, gimana? Maksud gue, kapan kita bisa ketemu sama mereka?"

"Mereka minta besok pagi, Win. Gue udah nego untuk diundur ke weekend, tapi mereka gak mau," ujar Asta. "Padahal, besok lo ada jadwal praktikum, kan?"

Edwin terdiam lagi. Kali ini, cukup lama. Jika dia tidak menuruti permintaan pihak tersebut, maka bisa jadi mereka berubah pikiran dan kesempatan Trapnest jadi hilang. Namun, jika Edwin menuruti mereka, maka nilainya jadi taruhan besok pagi dan dia bisa saja mengikuti semester pendek lagi, pada libur semester nanti.

"Sebisa mungkin, gue kerjain keduanya," kata Edwin.

"Mustahil," Asta memberi jeda. "Mereka ada di Bandung. Mau gak mau, kita harus ke sana dan lo gak bisa ngerjain keduanya. Lo harus pilih salah satu."

***

Hari ini adalah hari praktikum terakhir mereka. Luna bangun lebih pagi daripada biasanya karena hari ini adalah hari pengambilan nilai dari hasil akhir praktikum mereka dan Luna tak ingin melakukan kesalahan sekecil apapun ketika dosen yang menjadi penanggung jawab blok melakukan penilaian.

Luna memasang jas labnya dan memasuki laboratorium. Anggota kelompoknya, kelompok dua, melambaikan tangan ke arahnya dari sudut ruangan. Namun, dari ekspresi mereka, Luna bisa melihat bahwa ada sesuatu yang menjadi masalah dan membuat mereka gelisah.

"Lun, lo tau Edwin kemana, gak?" tanya Mery. Perempuan itu masih menempelkan ponselnya di telinga, menunggu Edwin mengangkat teleponnya dari seberang sana. "Udah jam segini, dia belom dateng."

"Hah? Udah coba kabarin?" Pertanyaan aneh. Tentu saja, mereka sudah mencoba menelepon Edwin, apalagi Mery yang saat ini masih mencoba menyambungkan teleponnya ke nomor Edwin. Luna melirik jam tangannya. "Udah jam setengah sembilan, dia belom dateng?"

Luna merogoh ponselnya yang ada di dalam saku jas labnya. Sepersekian detik, perempuan itu mencoba menelepon kontak Edwin. Nomor ponselnya, sosmednya, dan sebagainya. Namun, nihil. Nomor ponsel Edwin bahkan tak bisa dihubungi. Sepertinya, lelaki itu mematikan ponselnya, entah dengan sengaja maupun tidak sengaja.

"To," panggil Luna membuat Dito yang sedang mengurus absen, lantas menoleh ke arah Luna. Dito yang awalnya tampak tenang pun seketika ikut bingung melihat Luna yang tampak panik. "Edwin kemana?"

Dito mengernyitkan dahinya. "Edwin? Dia belom dateng?"

"Gue tau, dia sering telat dateng, tapi ini udah jam setengah sembilan," ujar Luna. "Dia gak ngasih tau lo kalau dia gak bakalan dateng?"

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang