Chapter 42: Kebun Binatang Saat Hujan

454 72 1
                                    

"GUE masih gak ngerti apa serunya ke kebun binatang," ujar Edwin, menghela napasnya pasrah. "Gue liat congor zebra aja kayanya udah bau banget."

"Lagian, lo yang nyuruh gue nentuin kita mau kemana. Yaudah, gue jawab kebun binatang," kata Luna. "Lagian, apa susahnya ikut seneng, sih?"

"Ya, gue yang nyuruh lo nentuin, tapi gue gak nyangka lo justru milih kebun binatang," kata Edwin, tersenyum sebal. "Eh, zebra tuh giginya digosok gak, sih?"

"Masih ada banyak perbadutan kehidupan yang harus lo pikirin daripada zebra yang gosok gigi atau enggak," kata Luna. "Kenapa lo gak mulai mikirin skripsi?"

Edwin hanya bisa tersenyum kecut mendengar ucapan Luna yang justru memancing topik yang paling dia hindari. Edwin tak membalas apapun lagi dan mulai fokus ke depan dengan kedua tangannya yang berada di stir.

Saat ini, mereka sedang berada di perjalanan menuju salah satu kebun binatang yang menjadi pilihan Luna sebagai pengisi akhir minggu. Sejujurnya, Edwin merasa bahwa pilihan Luna adalah sesuatu yang tidak ada istimewanya. Maksudnya, mungkin semua orang pun sudah pernah ke kebun binatang dan jenis hewan yang akan mereka temui pun itu-itu saja. Luna bilang, ini juga bukan pertama kalinya ke kebun binatang. Namun, kenapa dia tampaknya senang sekali? Perempuan itu bahkan sudah menyiapkan alas piknik dan beberapa makanan.

Edwin tersenyum ringan. Setidaknya, meskipun rencana hari ini sedikit membosankan baginya, dia bisa melihat bahwa Luna benar-benar senang.

"Tapi, ini kayanya mau hujan, tau," kata Edwin. "Kalau beneran hujan, gue sujud syukur, sih."

"Sujud syukur?" Luna menatap sinis. "Segitunya banget gak pengen ke kebun binatang?"

"Gak, maksudnya, ya bersyukur ada hujan," ujar Edwin, terkekeh garing. "Hujan kan anugerah. Kalau perlu, gue solat istiqa ntar."

"Solat istiqa tuh solat minta hujan, ogeb," ujar Luna, memutar kedua bola matanya sebal. "Bukan solat bersyukur karena turun hujan."

"Kenapa sih lo harus koreksi gue."

"Ya, lagian emang salah."

"Ah, kalau seminggu yang lalu lo beneran jalan bareng Asta, mungkin yang duduk di sebelah lo sekarang bukan gue," ucap Edwin.

"Asta Asta mulu," ujar Luna. "Gak udah-udah mikirin Asta. Itu kan udah lewat juga."

"Udah lewat karena gue dateng malem itu," balas Edwin, mencibir. "Kalau gak, lo Sarimin berdua udah jadian."

"Sarimin, lo bilang?" Luna menatap kesal. "Lagian, apaan, sih. Yang udah lewat ya biarin aja. Yang penting, gue sekarang sama lo."

Edwin terdiam, cukup lama. Tak lama berselang, dugaan mereka benar. Kaca depan mobil Edwin mulai basah dan kabur akibat air hujan yang turun tanpa aba-aba. Hujan itu tak terlalu deras, tapi juga bukan gerimis. Edwin dan Luna saling pandang. Luna pun menampakkan kekecewaannya terhadap rintik hujan yang mulai menimbulkan suara berisik akibat hujaman ke badan mobil Edwin.

"Kenapa sedih banget, sih?" tanya Edwin. "Jelek banget muka lo kaya gitu."

"Habisnya, gue udah bikin banyak makanan untuk piknik di sana," jawab Luna, menoleh ke kotak bekal besar di kursi belakang. "Gue juga pengen foto sama zebra."

Edwin hanya bisa menyengir kuda mendengar kalimat Luna yang terakhir. Luna ikut berfoto dengan zebra? Edwin justru takut kepada zebra.

"Yaudah sih, lagian zebra juga gak gosok gigi, anjir."

"Apaan, sih. Itu gak ada hubungannya sama foto doang."

"Terus, kalau lo foto sama zebra, yang motoin siapa? Gue?" tanya Edwin.

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang