Chapter 40: Ulang Tahun Luna

445 65 0
                                    

"LUNA cantik banget," puji Dira, menatap bayangan Luna di cermin dengan mata berbinar. "Gue sampe mau nangis, nih. Akhirnya, lo bakalan lepas status jomblo."

"Bangke. Bisa-bisanya lo ngomong gitu," ujar Luna, tersenyum kecut. "Lagian, belum tentu Asta punya niatan kaya gitu, kali."

"Bawel banget. Intinya, kalau lo beneran jadian sama dia malem ini, gue bakalan mandi kembang, sih."

"Hah? Gue geplak lo, ya. Seakan-akan gue sebusuk itu sampe ngejomblo lama makanya lo bisa segitunya, anjir."

Dira tertawa. "Edwin gimana? Hari ini belom ada ngirimin pesan?"

Luna menggeleng.

Kalau dipikir-pikir, sampai hari ini, ternyata Luna sudah menyukai Edwin selama lebih dari setahun. Waktu itu, Edwin pun menghilang tanpa kabar seharian, tapi pada jam tujuh malam, dia tiba-tiba menelepon Luna dan memberikan hadiah yang paling berharga untuk Luna. Hari itu juga adalah hari dimana Luna menyatakan perasaannya kepada Edwin, tapi lelaki itu justru tak sadar dan salah paham, saking odongnya. Namun, hari ini, Edwin sama sekali tidak muncul. Bahkan, Dito bilang, ketika Dito mengajak Edwin memberikan surprise untuk Luna pada pagi hari, Edwin justru menolak dengan alasan dia sedang tak enak badan.

Luna merasa kesal. Padahal, pada ulang tahun Edwin, Luna membelikan Edwin salah satu album One Ok Rock yang lelaki itu belum punya. Luna juga ikut memeriahkan surprise ulang tahun Edwin bersama Dira dan Dito. Luna sengaja membawa banyak makanan untuk merayakan ulang tahun Edwin, waktu itu. Namun, sekarang, Luna tak tau apa yang salah. Apakah dia mengatakan sesuatu yang menyinggung Edwin? Sepertinya, mereka bertemu seperti biasa di kampus tadi. Edwin pun tak tampak seperti orang yang sedang sakit, seperti laporan Dito.

"Mungkin, dia sibuk," ujar Dira, mencoba menenangkan Luna. "Kan lo yang minta dia untuk jangan nyerah sama mimpinya. Mungkin, dia ada kesibukan sama bandnya."

"Asta aja bisa pergi ngajak gue pergi malem ini, masa Edwin gak bisa sekedar ngucapin lewat pesan?" kata Luna. "Padahal, hubungan gue sama Edwin jauh lebih deket dibanding hubungan gue sama Asta, tapi tuh orang tetep aja ogeb kaya biasanya. Gak peduli sama sekali."

Luna merasa sedih. Inilah alasannya memilih untuk menyerah mendapatkan Edwin. Edwin tak pernah melihatnya dengan cara yang sama. Edwin tak pernah tampak peduli kepada Luna, seperti Luna yang selalu memedulikan Edwin. Barangkali, isi kepala lelaki itu hanya dipenuhi oleh musik, atau lelaki itu yang memang odong, atau lelaki itu yang memang tidak peduli, sampai dirinya bahkan tak mengingat hari ulang tahun Luna.

Ting tong.

"Asta udah dateng, ya," ujar Dira tersenyum, bangun dari duduknya.

Luna pun bangun dari duduknya. Setelah memeluk Dira, perempuan itu pun berpamitan. "Gue pergi dulu, ya."

Luna menghela napasnya panjang. Baiklah, ini bukan saatnya untuk memikirkan si Edwin odong. Saat ini, dia harus fokus kepada orang yang menginginkannya. Dia tak ingin terus-terusan terjebak di dalam perasaannya kepada Edwin yang bernotabene sebagai teman dekatnya. Itu menyakitkan. Lagipula, Edwin tak pernah memandangnya istimewa.

Luna membuka pintu depan. Sepersekian detik, Luna melebarkan matanya ketika dia melihat lelaki yang berdiri di depan ambang pintu. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal, tampak canggung. Lelaki itu hanya mengenakan baju lengan panjang berwarna putih dan celana pendek berwarna hitam, benar-benar pakaian santai yang bisa dikatakan niat tak niat untuk berkunjung ke rumah orang.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Luna, mengernyitkan dahinya. "Udah gitu, apa-apaan gaya gembel lo itu?"

"Hah? Gaya gembel, lo bilang?" balas Edwin, menatap sebal. "Lo mau pergi sama Asta?"

Luna mengangguk. Sejujurnya, dia masih kesal dengan Edwin yang tak mengingat hari ulang tahunnya seharian.

"Jangan."

Luna terdiam, cukup lama. Lelaki yang ada di hadapannya ini tampak salah tingkah. Luna sampai bingung, apa yang sedang terjadi. Sepersekian menit, Edwin meraih tangan Luna, lalu menarik perempuan itu untuk berjalan mengikuti langkahnya. Setelah melewati lift dan berhasil keluar dari apartemen ini, Edwin pun menggiring sepedanya. "Naik."

"Hah? Naik sepeda?" Luna menatap bingung. "Lo baru aja kena penipuan yang biasanya lewat telepon itu, ya? Kenapa hari ini serba gembel, anjir."

"Lo bener-bener, ya…" ujar Edwin, tersenyum kecut. "Mobil gue mogok, mau gimana lagi."

"Mobil semahal itu bisa mogok?"

"Bawel banget," Edwin menghela napasnya, berusaha untuk tetap sabar. Lelaki itu menepuk-nepuk kursi boncengan sepedanya. "Ayo, naik."

Meskipun bingung, Luna menuruti permintaan Edwin untuk menaiki kursi boncengan tersebut. Edwin mulai mengayuh sepedanya. Luna memeluk tubuhnya sendiri. Meskipun dia tak mengenakan pakaian yang minim, tapi angin malam ini benar-benar menusuk kulit dengan suhunya yang dingin. Selain itu, Luna hanya bisa tersenyum paksa ketika dia menyadari bahwa beberapa orang yang ada di sekitar jalan, hanya bisa memandang Luna dan Edwin sebagai sebuah keanehan. Baiklah, jangankan orang-orang itu, Luna sendiri pun tak tau kenapa dia bisa ada di sini.

"Eh, lo bisa cepetan dikit, gak?" tanya Luna, sebal. "Gue malu diliatin orang, anjir. Lagian, ini mau kemana, sih?"

"Berisik, ah. Gue juga kesel mobil gue tiba-tiba bertingkah hari ini," jawab Edwin.

"Ya udah tau mobil lo bertingkah, kenapa niat banget pake sepeda, bangke?" tanya Luna, malas.

"Ya, soalnya, gue gak mau lo pergi sama Asta."

Luna melebarkan kedua matanya. Tubuhnya yang tadi merasa kedinginan, seketika menjadi gerah. Jantungnya berdegup kencang. Luna bahkan merasa takut dia oleng dari duduknya dan jatuh, saking gugupnya. Kalimat macam apa itu? Dia merasa kesal seharian karena Edwin, tapi dia justru memutarbalikkan hati Luna dan membuat Luna merasa kebingungan.

"Apaan, sih," gumam Luna, sedikit kesal karena merasa dipermainkan. "Seenggaknya, kasih alasan yang jelas."

"Gak mau."

Luna mendengus sebal. "Kasih tau gue alasannya."

"Gak."

"Kenapa, sih?"

"Ya, gue gak mau."

"Tapi, gue berhak untuk tau."

Edwin berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Lelaki itupun turun dari sepedanya, lalu menyentuh wajah Luna dengan tangan kanannya. Sepersekian detik, lelaki itu mendekatkan wajahnya dengan wajah Luna, yang masih duduk di boncengan sepeda tersebut. Tak ada jarak di antara mereka. Sepersekian detik, Edwin pun mengangkat wajahnya kembali.

"Sekarang, lo udah tau alasannya?"

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang