Chapter 45: LDR

436 63 0
                                    

SUDAH berbulan-bulan sejak hari itu. Libur semester pun dimulai. Berkat kerasnya didikan dan ajaran Luna kepada Edwin demi menyelamatkannya dari ujian semester, Edwin berhasil mendapatkan nilai yang pas-pasan sehingga dia tak harus mengikuti remedial, apalagi semester pendek. Mungkin, itu adalah IP terbaik Edwin dibanding semester lainnya.

Namun, Luna, Dira, dan Dito pun sedih karena Edwin harus menjalani camp sebulan penuh dengan Asta, Endro, dan Kemal, serta beberapa lainnya yang terlibat dalam kontrak Trapnest. Selain itu, tanggal debut single mereka pun sudah ditentukan. Meskipun Edwin harus sibuk selama sebulan dan membatalkan rencana liburan semester dengannya, tapi Luna tetap merasa senang karena setidaknya, akhirnya Edwin bisa mencapai mimpinya.

Meskipun terkadang, hal itu membuat Luna khawatir. Berjauhan dari Edwin, dengan berbagai kesibukan yang lelaki itu miliki, dan tak bisa selalu mengabari Luna, terkadang membuat Luna khawatir. Dia mengkhawatirkan kesehatan Edwin, entah fisik ataupun mental, latihan terlalu keras yang bisa membuatnya kelelahan, dan semacamnya.

Terkadang, belum sampai sepuluh menit Luna berbicara dengan Edwin di telepon, Edwin sudah harus mematikan teleponnya karena sibuk. Terkadang, hal itu membuat Luna merasa sedih dan khawatir. Meskipun Luna, Dira, dan Dito tetap jalan-jalan sesuai rencana awal mereka, tapi Luna tak bisa menikmati liburan sama sekali.

"Gak kerasa, bulan depan kita udah semester delapan," ujar Dito, tersenyum ringan. Saat ini, mereka sedang duduk melingkar, bermain kartu. "Terus, tahun depan, kita udah koas."

"Jujur, aku gak percaya bisa bertahan sampe semester delapan," balas Dira ke arah Dito, antusias. "Yah, meskipun ngadepin ujian yang dua minggu sekali, praktikum, tutorial, tugas individu yang tulis tangan sampe bikin jari keriting, seenggaknya kita keren banget udah bisa sampe sini."

"Ya, meskipun kita bakalan nemuin kesulitan baru kalau udah jadi mahasiswa klinik, sih," Dito menyengir kuda. "Terus, semester depan, kita bakalan KKN."

"Sayang banget, kalau berdasarkan NIM, aku gak sekelompok sama kamu," kata Dira, merengut sebal.

"Udah, udah, romantis-romantis tai kucing. Lo berdua gak kasian sama gue di sini daritadi cuma bisa jadi obat nyamuk?" ucap Luna, menengahi, mengeluarkan kartunya. "Gue aja kasian sama diri gue sendiri."

Dito dan Dira hanya bisa menahan tawa.

"Tapi, semester depan pas KKN, lo bakalan satu kelompok sama Edwin, dong," ujar Dira, semangat. "Seneng, gak?"

Luna menggeleng. "Sengsara."

Dito dan Dira hanya bisa menyengir kuda.

"Lo bayangin, gue harus satu posko sama cowok lemot, lelet, kebo kaya Edwin. Males banget."

"Kalau deket berantem, kalau jauh kangen," cibir Dito.

Luna tak membalas apapun lagi. Faktanya, Edwin belum mengabarinya sama sekali untuk hari ini. Luna berusaha untuk tak merasa kesal mengenai hal itu. Luna berusaha untuk tidak egois dan mengerti kondisi Edwin, tapi rasanya sulit. Dia pun tak ingin merasa kesal kepada Edwin, mengingat bahwa Luna pun ikut bahagia atas pencapaian Edwin sampai saat ini. Namun, hal itu tak mudah karena pada faktanya, dia merindukan Edwin.

Drrt. Drrt.

Luna merogoh sakunya, lalu meraih ponselnya. Setelah membaca nama yang tertera di layar ponselnya, Luna pun segera beranjak dari posisinya dan berjalan ke balkon. Setelah duduk di kursi balkon tersebut, Luna menekan tombol hijau tersebut untuk menerima panggilan masuk dari Edwin.

"Halo."

"Lama banget ngangkatnya."

"Iya."

"Lo kenapa? Lesu banget," ujar Edwin. "Lo udah makan?"

"Udah."

"Terus?" tanya Edwin. "Oh, gue tau. Lo habis boker, ya? Kadang, gue juga gitu, sih. Habis boker tuh rasanya jadi lemes bangー"

"Gak ada yang boker, ogeb," potong Luna, memutar kedua bola matanya sebal. "Lo sibuk banget ya hari ini?"

"Iya, gue baru aja selesai latihan. Gue baru mandi dan abis ini mau langsung tidur," kata Edwin. "Lo seharian ngapain aja?"

Luna terdiam, cukup lama.

"Halo?" kata Edwin. "Lo denger gak, sih?"

"Iya. Bawel banget."

"Gue nanya, lo seharian ngapain aja?" Edwin mengulang pertanyaannya.

"Nungguin telepon lo," jawab Luna, apa adanya.

Edwin pun terdiam sejenak. "Oh, ya?"

Luna berdehem. "Yaudah, deh. Lo habis ini mau langsung tidur, kan? Gue tau, lo pasti capek banget."

"Tadinya sih iya," kata Edwin. "Tapi, ntaran aja. Gue masih mau denger suara lo."

Luna tersenyum ringan. "Jadi, gimana hari ini?"

"Latihan kaya biasa, tapi ada banyak koreksi juga dari pihak rekaman supaya penampilan kita jadi lebih stabil," jawab Edwin. "Oh ya, kita bakalan tampil pertama kali di konser Sanba. Stardust kerja sama bareng banyak acara musik dan itu bisa menguntungkan band baru kaya kita."

Luna tersenyum senang. "Gue ikut seneng dengernya."

"Terus, besok tiketnya udah bisa dibeli," kata Edwin, tersenyum. "Gue bakalan liat di barisan depan dan liat lo beneran di sana atau enggak, sesuai janji lo waktu itu."

"Oh? Lo ngeraguin gue?" tantang Luna. "Gue bakalan berdiri di barisan paling depan. Dira dan Dito juga. Oh ya, anak-anak di angkatan kita juga bilang kalau mereka pasti nonton performance pertama Trapnest."

Edwin terkekeh. "Termasuk Mery?"

"Dih, malah ngomongin mantan," kata Luna. "Gue ntar liatin Asta aja, deh."

"Yee, enak aja," ucap Edwin. "Gak bisa. Gue pasti ngawasin lo dan liat mata lo ke arah mana."

Luna tertawa.

"Sebenernya, gue pengen nyokap gue pun ada di sana," kata Edwin, rendah. "Tapi, rasanya gak mungkin banget."

Luna terdiam sejenak, cukup lama. "Kenapa gak mungkin?"

"Ya, lo tau sendiri," ujar Edwin, terkekeh mentah. "Kadang, gue takut, dia gak bakalan maafin gue."

"Kadang, gue pun takut, Win," ujar Luna. "Gue takut lo ninggalin semua usaha lo di kedokteran gigi karena lo udah dapetin apa yang lo mau di musik. Gue tau, itu hak lo, tapi… gue takut aja."

Hening sejenak.

"Gak," balas Edwin, akhirnya. "Musik tuh emang mimpi gue, tapi kedokteran gigi tuh tanggung jawab gue ke nyokap."

Luna tertegun. Hening kembali, cukup lama. Seharusnya, dia tau itu. Alasan Edwin masih melakukan yang terbaik meskipun harus mengikuti perbaikan nilai berkali-kali adalah ibunya. Dia bisa bertahan sampai semester tujuh, bahkan sampai seterusnya dan mereka sama-sama meraih gelar drg di depan nama mereka adalah karena Edwin sangat menyayangi ibunya. Meskipun kedokteran gigi adalah pilihan ibunya dan bukan mimpinya, tapi Edwin tetap melakukan yang terbaik untuk sesuatu yang awalnya tak dia suka. Bukannya mudah untuk menjalani sesuatu yang seseorang tak sukai, tapi Edwin bisa melakukan itu karena rasa sayangnya yang besar untuk ibunya.

"Gue tau, orang tua seharusnya biarin anaknya milih apa karena itu hak mereka," ujar Edwin, memberi jeda. "Terserah tiap anak mau gimana dalam menyikapi itu, tapi bagi gue, nyokap gue udah berharap banyak ke gue dan itu tanggung jawab gue untuk wujudin keinginannya."

Luna tersenyum. "Gue ngerti."

"Jadi, lo gak perlu takut," ujar Edwin.

"Win, lo belom tidur?"

Luna bisa mendengar suara dari salah satu staff pihak rekaman yang baru saja menegur Edwin. Tak lama kemudian, Edwin pun mengatakan bahwa dia akan menelepon Luna besok, lalu mematikan sambungan teleponnya.

"Lun, lo ngapain di situ?" tanya Dito, membuat Luna menoleh. "Gak dingin di luar?"

"To, lo tau rumah ibunya Edwin, kan?"

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang