Chapter 47: Hari Terbaik

437 62 2
                                    

EDWIN, Asta, Endro, dan Kemal pun memasuki panggung ini. Edwin dapat merasakan tubuhnya panas dingin. Dia merasa gugup, senang, dan khawatir di waktu yang bersamaan. Namun, dia bisa merasakan bahwa perasaan senang mendominasi isi hatinya.

Lampu sorot itu pun menyala ketika Edwin mulai memetik senar gitarnya. Ketika suara drum yang Endro mainkan mulai terdengar, lampu sorot berwarna biru neon pun menyorot mereka. Suara Asta pun berhasil membuat semua penonton di sini berteriak. Lagu ini adalah lagu yang ditulis oleh Edwin. Liriknya pun ditulis oleh Edwin sendiri. Lagu yang menjelaskan isi hatinya. Lagu ini terinspirasi dari seorang perempuan yang mengklaim dirinya sendiri sebagai penggemar berat Edwin, yaitu Luna.

Anata No. Itulah judul dari lagu yang mereka nyanyikan. Artinya Milikmu. Lagu itu menjelaskan betapa Edwin merasa beruntung bertemu dengan Luna, memiliki Luna, dan dipedulikan oleh Luna. Bagi Edwin, mengabadikan seseorang di dalam lagu bukanlah hal yang kecil dan dia ingin Luna tau itu. Dia ingin Luna tau betapa Edwin mencintainya sampai dia terbangun sepanjang malam dengan recorder dan gitarnya, menahan kantuk demi menulis lirik lagu itu.

Kamu adalah samudra
Aku tenggelam
Aku bersikeras untuk keluar
Namun, seketika aku menyadari
Paru-paruku dipenuhi oleh namamu

Dia bisa melihat semuanya dari sini. Dia bisa melihat anak-anak angkatannya di barisan tengah. Dia bisa melihat Roby dan beberapa anak panti asuhan lainnya yang sempat berteman dengan Edwin, serta Edwin ajarkan bermain musik. Dia yakin, penampilannya di sini pun akan ditonton oleh Pak Berto dan Winx Records dari sana.

Lelaki itu merasa jantungnya hampir berhenti berdetak ketika pandangannya jatuh di barisan penonton terdepan, tepat di hadapannya. Dia melihat semuanya. Luna, Dira, Dito, dan… ibunya.

Edwin mungkin akan dimarahi oleh Kemal setelah ini karena dia miss beberapa bagian. Namun, saat ini, dia tak bisa mengontrol emosinya. Kedua matanya terasa panas. Dia ingin sekali menangis. Dia ingin segera berlari dan memeluk dua perempuan kesayangannya yang berdiri menatapnya di bawah sana. Dia bisa melihat senyuman terukir di wajah ibunya dengan air mata yang mengalir di pipinya. Lelaki itu berusaha keras untuk tenang, tapi konsentrasinya sudah buyar. Namun, hatinya senang sekali.

Jika ayahnya ada di sini, apa yang akan pria itu katakan? Bagaimanakah reaksinya? Bagaimanakah perasaannya? Edwin penasaran dengan semua itu. Namun, Edwin yakin, suatu saat, dia akan menjadi musisi yang jauh lebih baik dari ayahnya.

Setelah lagu itu selesai dimainkan, Edwin mendengar teriakan ribuan penonton yang ada di sekeliling mereka. Edwin tak pernah merasa sehidup ini sebelumnya. Teriakan penonton itu bagaikan pelukan yang menyatu dengannya, melengkapkan dirinya. Edwin juga bisa melihat Luna yang tersenyum ke arahnya di bawah sana, bertepuk tangan. Begitu pula dengan ibunya. Wanita itu bertepuk tangan, tak berhenti tersenyum.

Ini masih awal dari segalanya.

Edwin, Asta, Endro, dan Kemal pun pergi ke belakang panggung. Ketika Edwin sedang duduk sambil meneguk air mineralnya, dari kejauhan, dia melihat seorang perempuan berlari ke arahnya. Edwin tersenyum. Lelaki itupun bangun dari posisinya, lalu merentangkan tangannya. Luna menghambur ke pelukannya, memeluk Edwin dengan sangat erat. Edwin melingkarkan tangannya di pinggang Luna, membalas pelukan dari wanita itu.

"Lo keren banget," gumam Luna. "Pokoknya, lo orang terkeren di dunia ini."

Edwin terkekeh, mengusap punggung Luna. "Lagu itu gue tulis buat lo."

Luna tertegun. Perempuan itupun melepaskan pelukannya, menatap Edwin penuh selidik. "Beneran?"

Edwin mengangguk, tersenyum.

"Ah, gue gak tau arti liriknya, lagi," ujar Luna, frustasi. "Arti judulnya dulu aja deh. Arti Anata No tuh apa?"

"Milikmu," kata Edwin. "Gue beruntung bisa dimiliki sama lo."

"Norak."

"Norak, lo bilang?" Edwin memicingkan matanya. "Udah dibuatin lagu bukannya tersanjung, seneng, atau apa. Malah ngeledek."

Luna menahan tawanya. "Masa tadi penonton di sebelah gue muji-muji lo."

"Oh, ya? Terus, lo cemburu?"

"Gak. Dalem pikiran gue, mereka gak tau aja akhlak jelek lo, gitu," kekeh Luna.

Edwin memutar kedua bola matanya sebal.

"Gue gak cemburu," ujar Luna, tersenyum. "Gue bangga sama lo. Banget. Banget."

Edwin ikut tersenyum, lalu meraih kedua tangan Luna.

"Oh ya, nyokap lo bilang kalau dia nungguin di samping panggung," kata Luna, menarik tangan Edwin. "Ayo."

"Bentar," ucap Edwin, menahan tangan Luna. "Lo yang bikin Ibu bisa ke sini?"

Luna mengangguk, tersenyum.

Edwin menarik Luna ke pelukannya sekali lagi. "Gue beruntung punya lo. Banget. Banget. Gue gak butuh apapun lagi."

Edwin dan Luna pun berjalan ke tempat dimana Dokter Sari menunggu kehadiran Edwin. Wanita yang mengenakan pakaian berwarna kuning itu bangun dari duduknya ketika dia melihat Edwin. Tanpa aba-aba, Dokter Sari pun berlari kecil, lalu memeluk Edwin. Edwin memeluk ibunya itu dengan erat. Edwin bahkan bisa merasakan bahunya mulai basah akibat air mata dari ibunya.

"Ibu bangga banget."

Kalimat itu berhasil membuat pertahanan Edwin pecah. Kedua mata Edwin pun mengembun. Dia tak bisa menahan air matanya. Dia benar-benar bahagia. Dia pun menoleh ke arah perempuan yang tersenyum ke arahnya dari kejauhan. Perempuan yang menjadi alasan ibunya berada di sini. Perempuan yang sudah menjadikan hari ini sebagai hari terbaik dalam hidupnya. Perempuan miliknya. Dia benar-benar beruntung bisa bertemu dengan Luna.

"Ibu seakan-akan liat Ayah di atas panggung ketika Ibu liat kamu," ujar Dokter Sari.

"Makasih ya, Ibu udah dateng."

"Lain kali, kamu harus nyanyiin Hapsari, Marry Me! di panggung," ujar Dokter Sari, tersenyum. "Ibu akan menantikan hari itu."

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang