"OH, temennya Luna," ujar Asta, tersenyum. Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Gue Asta. Gue ajakin temen lo jalan gapapa, kan?"
Dira membalas uluran tangan Asta dengan antusias. "Gapapa. Gapapa banget, malahan. Gue seneng lo bisa jadi gebetanー maksud gue, jadi temen baru Luna."
Luna hanya bisa menyengir kuda melihat ekspresi Dira yang sepertinya lebih bahagia daripada dirinya mengenai agenda malam minggu ini. Setelah berbincang singkat, Dira pun pergi dengan mobil pesanannya, pergi meninggalkan Luna dan Asta. Jujur saja, hal itu seketika membuat Luna merasa canggung. Apalagi, ini pertama kalinya dia jalan dengan Asta. Bahkan, mereka tidak berada di satu fakultas. Mereka juga tidak bertemu di kampus.
"Lo suka makan apa?" tanya Asta sembari memasang seatbeltnya. "Gue belum makan malem. Lo juga?"
"Makan... mie ayam?" jawab Luna, polos. "Gue juga belom makan malem."
"Makan mie ayam?" tanya Asta, menoleh sekilas ke arah Luna, dengan kedua tangan yang berada di stir dan mulai mengendarai mobil ini.
"Iya. Eh, aneh ya, kalau malem-malem makan mie ayam?" ujar Luna terkekeh mentah, sedikit khawatir bahwa sarannya itu justru membuat Asta merasa bingung dan menganggap hal itu adalah sebuah keanehan.
"Gak. Gak aneh," jawab Asta, menggeleng. "Gue justru seneng lo tau lo mau makan apa. Soalnya, biasanya, cewek bergantung sama kata terserah."
"Wadaw, kayanya lo udah berpengalaman banget, ya," ujar Luna, tertawa. "Bisa diceritain?"
"Hahahaha, kena gue," ujar Asta, terkekeh renyah. "Gak gitu."
Luna tersenyum ringan. Bahkan, ketika Asta tertawa pun, suaranya terdengar renyah di telinga. Ketika lelaki itu berbicara, mungkin orang-orang bisa langsung mengetahui bahwa lelaki itu memiliki suara yang bagus.
"Luna…" gumam Asta. "Apa artinya?"
"Bulan," jawab Luna, tersenyum tipis. "Jarang ada yang nanyain itu ke gue."
"Oh, ya?" Asta menaikkan sebelah alisnya. "Tapi, nama lo bagus."
"Yah... tapi, dulu Edwin sering banget ledekin gue Mas Fatah karena nama gue Luna," kata Luna. Ugh, membayangkan Edwin yang menyebalkan saja sudah membuatnya sebal. "Sekarang, dia malah manggil gue gorila."
"Kejam banget," kekeh Asta. "Jangan dipikirin. Dia emang kaya gitu orangnya. Gue udah temenan sama dia sejak SMA dan dia emang kaya gitu, tapi bukan berarti dia jahat, kok."
Luna tau itu. Meskipun Edwin sering meledeknya dan membuatnya kesal, Luna tau kalau Edwin adalah orang yang baik. Itulah kenapa, setelah Edwin menolaknya pun, Luna masih ingin pertemanannya dan Edwin baik-baik saja. Namun, entah kenapa, terkadang ketika dia berhadapan dengan Edwin dan harus berpura-pura tidak terjadi apapun di antara mereka adalah hal yang sulit sekaligus menyesakkan, mengetahui fakta bahwa lelaki itu tidak memiliki perasaan yang sama dengannya.
"Yaudahlah, kenapa jadi bahas Edwin," ujar Luna. "Kalau lo? Arti Asta tuh apa?"
"Gue gak terlalu paham, sih, tapi kalau dari cerita nyokap, nama Asta tuh diambil dari bahasa Jawa yang artinya tangan," Asta menoleh sekilas ke arah Luna, tersenyum. "Filosofinya supaya gue jadi orang yang ringan tangan. Gitu katanya."
Luns tertegun. Lelaki itu sudah beberapa kali melemparkan senyuman ke arahnya ketika dia berbicara, tanda kecil bahwa dia benar-benar menghargai lawan bicaranya. Selain itu, senyuman Asta benar-benar tampak tulus dan manis, bagi Luna.
"Tapi, kalau dalam bahasa Jepang, Ashita, artinya besok," sambung Asta. "Meskipun gue gak tau filosofinya apa, tapi menurut gue tetep keren. Hahaha."
"Lo suka Jepang?" tanya Luna. "Maksud gue, musik atau apapun, kaya Edwin."
"Gue suka semua yang berhubungan sama musik. Gue juga suka band Jepang. One Ok Rock adalah band yang menginspirasi gue untuk bikin lagu dan nyanyi di atas panggung," jawab Asta. "Lo tau One Ok Rock, kan? Pemilik dari lagu yang kita bawain pas malam festival kampus, tahun lalu."
Luna mengangguk. Untuk beberapa detik, Luna tertegun. Benar juga. Ternyata, sudah setahun sejak kejadian dimana Edwin dan Luna berpikir mereka keceplosan di depan Dokter Eddie waktu itu. Ternyata, Luna sudah menyukai Edwin cukup lama. Jika dihitung, dia sudah menyukai Edwin selama lebih dari setengah tahun, tapi sampai sekarang, tak ada tanda bahwa Edwin akan menyukai Luna balik. Meskipun Luna sudah bilang bahwa mereka lebih baik berteman seperti biasa, tapi itu sama sekali tak mudah, mengingat bahwa mereka bertemu dan berbicara setiap hari, bahkan berada di dalam kelompok yang sama, itu membuat Luna merasa berat hati untuk menyerah mengenai perasaannya untuk Edwin.
Asta pun memarkirkan mobilnya di tepi jalan. Lelaki itu memilih satu kedai yang tampak seperti kedai ramen dengan tirai yang berwarna merah transparan. Luna pun beranjak dari mobil Asta, lalu berjalan beriringan dengan lelaki itu menuju kedai tersebut.
"Jalan rada jauh gapapa, kan? Habisnya, gak ada parkiran lain," ujar Asta, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Tapi, malem ini dingin."
"Gapapa, santai aja."
Baru saja Asta dan Luna menyeberang, lalu berniat untuk berjalan ke kiri, tepat dimana kedai mie ayam itu berada, Luna tertegun ketika kedua matanya menangkap seseorang. Lelaki itu berjalan berhadapan dengannya, memegang tangan anak kecil di sebelahnya. Lelaki yang awalnya berbicara dengan anak kecil tersebut, lantas menatap datar ketika beradu pandang dengan Asta dan Luna.
"Loh? Ada lo," sapa Asta, berjalan mendekat ke arah Edwin. "Sama siapa? Gue gak inget lo punya adek lagi."
"Lo berdua lagi jalan?" tanya Edwin, tak mengindahkan pertanyaan Asta barusan.
Asta mengangguk. "Lo mau ikut? Kita mau makan."
Edwin menatap Luna dan Asta secara bergantian. Luna sendiri pun tak tau harus mengatakan apa. Jelas saja, yang dia lakukan saat ini bukanlah sebuah kesalahan. Luna tak dimiliki oleh siapapun. Dia pernah menyatakan perasaannya kepada Edwin, tapi lelaki itu menolaknya. Lalu, sekarang, Luna pergi bersama Asta. Itu tak salah. Hanya saja, Luna tak bisa menemukan makna dari tatapan Edwin.
"Gak, kita baru aja makan," jawab Edwin, tersenyum lebar ke arah Asta, lalu menepuk bahu lelaki tersebut. "Gue duluan, ya, mau nganterin pulang nih bocah."
"Yah, sayang banget," ujar Asta, tampak kecewa.
"Hati-hati dimakan sama nih gorila," kata Edwin, menjentik jidat Luna ketika dia berjalan ke arah yang berlawanan dengan Asta dan Luna.
"Sakit, bangke."
Luna sontak terdiam ketika dia menoleh ke belakang, berniat untuk mengomeli Edwin yang sudah menjentik jidatnya. Lelaki itu tersenyum ringan ke arahnya. Namun, lagi-lagi, senyuman itu adalah sesuatu yang tak bisa Luna tebak maknanya. Entah kenapa, senyuman itu tampak dingin, bahkan lebih dingin dari angin malam ini yang menusuk kulit Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taoreru
RomantikEdwin, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi menjadi musisi. Luna, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi sesuai prodi yang dia ambil, yaitu dokter gigi. Mereka adalah dua orang yang selalu meledek satu sama lain. Namun, hubungan Luna...