Chapter 22: Tak Peka

386 67 2
                                    

WAKTU berlalu. Semester baru pun dimulai sejak dua bulan yang lalu. Meskipun Luna merasa senang bisa kembali ke perkuliahan. Hari ini tampak mendung, cukup dingin di luar. Namun, hari ini adalah hari yang cerah bagi Luna karena semester selanjutnya baru saja dimulai.

"Waktu rasanya cepet banget," ujar Dito, memandang ke arah luar jendela. "Baru juga kemarin masuk ke kampus ini, eh tahun depan udah daper gelar s.kg."

"Tapi, tahun depannya lagi, kita udah mulai petualangan baru," Luna tersenyum pasrah. "Koas."

Edwin menyengir kuda. "Yah, bagi mahasiswa pinter dan teladan kaya lo berdua, mungkin rasanya cepet, tapi bagi gue, rasanya udah lama banget, tau."

"Gue juga gitu, sih," kekeh Dira. "Gue gak terlalu bisa relate sama Dito dan Luna."

Edwin mengangguk. "Apa kita pacaran aja, Dir?"

Dito spontan menggeplak kepala Edwin, membuahkan ringisan kecil dari lelaki tersebut.

"Tapi, lo pernah pacaran gak sih, Win?" tanya Dira melirik ke arah Luna yang tersenyum kecil. Luna tau, pertanyaan ini sengaja Dira lontarkan untuk menjawab rasa penasaran Luna.

"Pernah, lah. Emangnya Luna," jawab Edwin, santai.

"Hah? Kenapa gue? Gue pernah pacaran, ya," kata Luna, tak terima.

"Ya, habisnya, kriteria cowok idaman lo kayanya ribet banget. Standarnya ketinggian. Kevin lah, Dokter Edー"

Luna spontan menutup mulut Edwin, menggantung ucapan lelaki itu dan menyisakan tatapan penuh tanya dari Dira dan Dito. Pasalnya, Dira dan Dito tak tau soal Luna yang sempat menyukai Dokter Eddie. Tidak, tidak, dia bahkan tidak menyukai Dokter Eddie. Dia hanya mengagumi pria itu, tapi Edwin yang ogeb malah menganggap itu sebagai rasa suka yang serius antara lelaki dan perempuan.

"Yah, seenggaknya, cowok terakhir yang Luna suka tuh gak wow banget, sih," ujar Dito, cengengesan. "Ya kan, yang?"

Dira mengangguk. "Lo nurunin standar lo apa gimana, Lun?"

Luna mengatupkan bibirnya, sedikit bingung harus menjawab apa. Benar juga. Jika dibandingkan dengan laki-laki yang pernah dia sukai, bahkan yang pernah berpacaran dengannya, rasanya tak ada yang seperti Edwin. Luna menyukai lelaki yang sefrekuensi dengannya dalam urusan pendidikan dan pemikiran, serta hobi dan hal-hal yang disukai. Namun, jika dia pikirkan lagi, Edwin benar-benar berbeda dengan kriteria itu. Luna tak terlalu menyukai musik dan tak terlalu mengerti selera musik Edwin. Luna adalah anak yang ambisius dalam urusan pendidikan, sedangkan Edwin kebalikannya. Luna selalu berpacaran dengan lelaki yang kalem dan berwibawa, sedangkan Edwin adalah lelaki yang petakilan dan tukang tidur di kampus.

"Emangnya tuh cowok cakep banget apa, sampe lo nurunin standar gitu?" tanya Edwin, penasaran. "Siapa sih, anjir? Gak adil banget. Masa Dito sama Dira dikasih tau, tapi gue enggak?"

"Ya, siapa suruh lo ogeb," balas Luna, melipat kedua tangannya di depan dada.

Dia masih tak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa menyukai laki-laki yang selemot Edwin?

"Hah? Kenapa jadi keogeban gue yang salah?" Edwin mendengus kesal. "Lo bilang, dia anak voli. Kalau bukan Kevin, berarti… Josef?"

"Apa? Siapa Josef?"

"Setter dari angkatan 2021. Siapa tau loー"

"Ah udah, deh. Gak penting juga," potong Luna, memutar kedua bola matanya sebal. "Selain itu, lo gak punya cewek yang lo suka, gitu?"

Edwin terdiam sejenak. "Yah… gue pernah pacaran sama Mery waktu semester satu, sih, tapi abis itu, gue gak pernah deket sama cewek manapun lagi."

Luna dan Dira melotot kaget. Edwin? Berpacaran dengan Mery? Tunggu, yang benar saja. Mereka memang berada dalam UKM yang sama, yaitu UKM voli. Namun, kenapa berita mengenai hubungan mereka sama sekali tak tercium oleh anak-anak angkatan 2019? Yah, sepertinya Edwin dan Mery pun bukan tipe orang yang mau memublikasikan hubungan, tapi… masa Luna baru tau?

Apakah itu alasannya Edwin sempat menyinggung nama Mery ketika movie night waktu itu?

"Kamu tau?" tanya Dira, menoleh ke arah Dito. "Kok kita baru tau?"

"Ya, lagian cuma sebulan," jawab Dito, menaikkan kedua bahunya. "Gak tau deh, itu pacaran atau paket data."

Luna dan Dira menutup mulutnya menahan tawa, membuahkan tatapan sinis dari Edwin.

"Lagian, Mery yang nembak," ujar Edwin.

"Tapi, lo waktu itu beneran suka?" tanya Luna.

"Kalau gue gak suka, gak mungkin gue terima," jawab Edwin, canggung. "Gue gak pernah nembak kalau pacaran. Jadi, selama ini, selalu ceweknya yang nembak."

Luna, Dira, dan Dito hanya bisa saling pandang, tersenyum pasrah. Tak heran jika lelaki ini benar-benar tak peka dalam urusan seperti itu. Faktanya, dia memang tidak terlalu akrab dengan hubungan asmara. Selain itu, jika seluruh mantan pacarnya yang menyatakan perasaan duluan, itu artinya apakah Luna harus melakukan hal yang sama? Terlebih lagi, sepertinya, lelaki itu sama sekali tak peka.

"Lo gak kepikiran untuk pacaran lagi gitu, Win?" tanya Dito. "Sama… Luna, misalnya?"

Luna melebarkan matanya, kaget dengan ucapan Dito barusan. Luna hanya bisa memberikan tatapan mematikan kepada Dito, sedangkan lelaki itu hanya bisa bersiul santai, seperti tak ada masalah.

Edwin menatap Luna, cukup lama. Luna pun mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela dengan canggung.

"HAHAHAHA, mana mungkin gue sama gorila yang ini. Lo jangan bikin ngakak, To," ujar Edwin, tertawa keras sambil memegang perutnya.

Dira dan Dito hanya bisa menyengir kuda, pasrah dengan kelemotan Edwin. Lelaki ini benar-benar lebih odong dari yang mereka pikirkan. Meskipun, mereka tau, Edwin sudah sering memanggil Luna dengan sebutan gorila dan sebutan itu diberikan bukan dalam konteks fisik, melainkan karena Luna adalah perempuan yang galak dan mereka sering berdebat, tapi sepertinya, Luna akan memerlukan usaha yang banyak untuk mendapatkan hati Edwin.

"Oh, ya, mana mungkin lo suka sama gue, ya kan?" Luna memberi jeda. "Habisnya, gue cuma gorila."

Edwin, Dira, dan Dito menatap kaget ketika mereka melihat kedua mata Luna yang mulai mengembun. Dira yang menyadari bahwa ucapan Edwin barusan adalah alasan dari kesedihan Luna, lantas menarik kerah baju lelaki itu dengan galak. "Heh, lo apain Luna?!"

"Hah? Gue gak ngapa-ngapain," Edwin menelan salivanya, sedikit bingung dengan situasi saat ini. "Bukannya ledekan semacem itu udah biasa? Gue juga udah sering manggil gorilー"

Edwin mengatupkan bibirnya ketika dia menyadari, sepertinya jika dia melanjutkan ucapannya, khodam Dira akan segera keluar. Tak bisa dipungkiri, meskipun Luna itu galak, tapi Dira jauh lebih galak. Namun, bukankah ini membingungkan? Kenapa ledekan seperti itu bisa membuat Luna tersinggung?

Tuhan, selamatin gue, batin Edwin.

"Minta maaf, gak?" kata Dito. Edwin menatap kesal ke arah lelaki tersebut, rasanya ingin memukul jidat Dito dengan keras. Padahal, Dito yang membuatnya berada di situasi ini dengan pertanyaan anehnya.

"Lun, lo dipanggil Kak Syifa!" teriak salah satu teman satu angkatan mereka, dari ambang pintu. "Mau ngomongin soal UKM."

Luna pun segera bangkit dari posisinya, lalu berjalan menuju ambang pintu. Dari posisi Edwin, lelaki itu bisa melihat Luna berbincang singkat dengan perempuan yang memanggilnya tadi, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kelas ini.

"Lo ya, beneran goblok," ujar Dira. "Lo masih aja belom sadar, siapa orang yang Luna suka?"

Edwin menggeleng.

Dira dan Dito hanya bisa menghela napasnya pasrah. Ah… kenapa Luna bisa menyukai orang seperti Edwin?

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang