"BARU juga mau nyantai, udah mau ngomongin praktikum," gumam Edwin, mendengus kesal sambil memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas. Kelas sudah dibubarkan beberapa menit yang lalu dan semua mahasiswa yang mengisi ruangan ini pun bersiap keluar dari sini.
Hal itu sudah tak asing lagi. Sebenarnya, mereka sudah cukup terbiasa dengan praktikum, tutorial, pleno, bahkan ujian yang dijadwalkan sekali dua minggu karena prodi mereka menganut sistem blok. Meskipun Edwin merasa nilai ujian praktikumnya jauh lebih baik pada dibandingkan ujian teori, tapi tetap saja, kata 'ujian' adalah kata keramat yang normalnya mampu membuat mahasiswa merasa gelisah.
"Mayang, Mayang, kenapa dah lu mau masuk kedokteran gigi waktu itu," racau Edwin, masih sibuk merapikan barang-barangnya. "Gue aja udah mau muntah belajar di sini."
"Eh."
Baru saja Edwin menyandang tas ranselnya di lengan kanan dan hendak melangkahkan kaki pergi dari sini, lelaki itupun spontan berhenti dan menoleh ke belakang. Dari posisinya, dia bisa melihat Luna yang juga bersiap pergi dari ruangan ini, menggaruk kepalanya dengan canggung.
"Gue?" tanya Edwin, menunjuk dirinya sendiri.
"Ya siapa lagi, ogeb," balas Luna. Edwin berdecak kagum. Bahkan, ketika mereka tak saling sapa dan didominasi oleh rasa canggung karena kejadian waktu itu, Luna masih bisa memperlihatkan sisi menyebalkannya tanpa segan.
"Ogeb?" Edwin berkecak pinggang, tak terima. "Apa? Lo mau apa?"
"Kenapa jadi lo yang songong? Inget kejadian sebulan lalu?" tanya Luna, melipat kedua tangannya di depan dada.
Edwin terdiam, cukup lama. Benar juga. Seharusnya, Luna yang pantas untuk marah.
"Gue minta maー"
"Ayo, ke Dokter Eddie," potong Luna. "Kita minta maaf ke Dokter Eddie, soal waktu itu."
Edwin mengernyitkan dahinya. Bukankah jika mereka menghadap langsung ke Dokter Eddie dan meminta maaf, itu artinya Luna pun harus jujur mengenai perasaannya ke Dokter Eddie secara tak langsung?
"Lo yakin?" tanya Edwin, memastikan.
Luna mengangguk. "Gue gak mau ngerasa gak nyaman terus. Udah gitu, kayanya lo gak ada niatan buat perbaikin masalah ini. Padahal, lo penyebabnya."
Luna memutar kedua bola matanya sebal. Edwin hanya bisa tersenyum paksa. Luna tak tau, seberapa besar rasa bersalah yang Edwin rasakan selama sebulan ini. Lalu, betapa Edwin memikirkan caranya untuk meminta maaf kepada Luna. Edwin bukanlah orang yang sulit untuk meminta maaf ketika dia memang salah, tapi entah kenapa, dia tak bisa melakukan itu kepada Luna. Rasanya, mereka yang selama ini selalu saling ledek dan berdebat, akan terasa lucu dan menggelikan jika berbicara serius, apalagi dalam hal permintamaafan.
Edwin dan Luna pun berjalan menuju ruang Dokter Eddie. Seperti yang kita tau, Dokter Eddie bukanlah orang yang sembarangan. Beliau adalah wakil dekan di kampus ini dan begitu disegani oleh mahasiswa dan dosen lainnya. Itulah kenapa, masalah yang ditimbulkan oleh Edwin dan Luna sebulan yang lalu itu harus dibereskan. Selain itu, sejujurnya, mereka pun tak ingin dicap sebagai mahasiswa yang tidak sopan.
"Gimana?" tanya Edwin, ketika mereka berdua sudah berdiri di depan pintu ruangan Dokter Eddie. "Kayanya beliau ada di ruangannya, deh."
"Yaudah, lo masuk duluan," ujar Luna.
"Hah? Kenapa jadi gue?"
"Ya, kan lo penyebabnya, bangke," balas Luna, galak.
"Nyalahin gue mulu. Lo jugaー"
"Kalian ada perlu apa?"
Edwin dan Luna terlonjak kaget ketika suara Dokter Eddie tiba-tiba menengahi perdebatan kecil mereka. Yah, sepertinya karena sibuk berdebat, mereka bahkan tak sadar bahwa Dokter Eddie sudah membuka pintu dan mendengarkan setengah dari perdebatan mereka.
"Maaf mengganggu, Dok," ucap Edwin, sedikit canggung. "Boleh kami berdua berbicara sama Dokter?"
Luna menyengir kuda. Saking canggungnya, lelaki ini sampai berbicara dengan sangat formal.
Dokter Eddie mundur sedikit, lalu mengangguk. "Kita ngobrol di dalam."
Edwin dan Luna pun berjalan memasuki ruangan Dokter Eddie, lalu mengambil posisi di kursi yang berhadapan dengan meja Dokter Eddie. Dokter Eddie pun mengambil posisi di kursinya, lalu melemparkan senyuman ke arah Edwin dan Luna secara bergantian. "Jadi, ada perlu apa?"
"Saya mau minta maaf soal kejadian sebulan yang lalu, Dok," ujar Edwin, akhirnya. "Ketika kita sama-sama mengantri makanan pada malam festival kampus. Saya sempat mengatakan sesuatu yang gak sopan."
"Oh, soal itu," Dokter Eddie mangut-mangut. "Soal kamu yang bilang saya suka siomay? Menurut saya, itu gak harus dikategorikan sebagai kalimat yang gak sopan."
Edwin dan Luna terdiam, cukup lama. Dua orang itupun saling pandang dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Saya satu-satunya dosen yang mau ngantri di stan makanan pada malam festival kampus. Mungkin, kelihatan aneh, makanya waktu itu, kamu bilang saya pecinta siomay," tambah Dokter Eddie, tertawa kecil.
Edwin tersenyum lebar, rasanya ingin merobohkan kampus ini sekarang juga.
Baiklah, mari kita reka ulang adegan pada malam itu.
"Ya, bisa-bisanya gue jadi repot perkara siomay busuk."
"Berani-beraninya lo ngehina jajanan favorit gue."
"Ya, lagian kok bisa ada orang demen siomay. Lembek-lembek, idih. Dokter Eddie gak bakalan mau sama cewek pecinta siomay."
Edwin menyengir kuda. Dokter Eddie itu sempurna. Dia tampan, baik, dan mengenai kepintaran sudah tak perlu diragukan. Bahkan, namanya tercatat dalam wikipedia dan menerima beberapa penghargaan karena berhasil menciptakan artikel berkualitas pada masanya. Hanya saja, ternyata, Dokter Eddie itu…
Bolot.
"Oh, ya, jadi Dokter gak masalah sama kejadian waktu itu ya, Dok," kekeh Luna dengan canggung, lalu menyikut Edwin.
"Ahaha, iya. Kalau gitu, kita permisi dulu, Dok," ucap Edwin, ikut tertawa renyah, menarik tangan Luna untuk segera berdiri. "Maaf banget udah ganggu waktunya, Dokter."
Dokter Eddie hanya bisa tersenyum ramah dan mengangguk, meskipun tampak sedikit bingung. Edwin segera menyeret Luna untuk pergi dari ruangan itu, sampai mereka berhenti di bagian depan kampus, menghadap parkiran.
"Heh, lo anggep apa harga diri gue?" tanya Edwin, berkecak pinggang. "Bikin malu tau, gak?"
"Mana gue tau kalau ternyata Dokter Eddie salah denger soal kejadian waktu itu," balas Luna, tak terima dimarahi.
"Bukannya salah denger. Emang udah bolot," ucap Edwin, tak tanggung-tanggung. "Buat apa gue ngerasa bersalah dari kemarin, padahal ternyata tuh orang salah denger."
Luna hanya bisa menghela napas panjang, menatap lurus ke depan. "Hujan."
Edwin ikut menatap parkiran yang sudah basah oleh air hujan. Bukan hujan yang deras, tapi bukan pula gerimis. Hujan yang tenang, tapi tetap menjanjikan suhu yang menusuk tulang.
"Lo bawa payung?" tanya Edwin. Luna menggeleng. Edwin menurunkan tasnya sedikit, lalu membuka ritsleting tasnya dan meraih payung berwarna biru muda, lalu mengembangkan benda tersebut. "Ikut, gak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Taoreru
RomanceEdwin, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi menjadi musisi. Luna, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi sesuai prodi yang dia ambil, yaitu dokter gigi. Mereka adalah dua orang yang selalu meledek satu sama lain. Namun, hubungan Luna...