Chapter 41: Lovely Luna

455 68 1
                                    

"SEKARANG, lo udah tau alasannya?" tanya Edwin. Edwin yakin, mungkin saat ini, wajahnya pun sudah sedikit merona. Lelaki itupun berjalan menuju pagarnya untuk membuka kunci pagar. Namun, ketika dia berbalik hendak menggiring sepedanya untuk masuk ke perkarangan rumah, Edwin bergidik ketika dia melihat wajah Luna yang benar-benar datar, merona, dan kebingungan yang berpadu menjadi satu, justru tampak konyol di mata Edwin.

"Muka lo jelek banget. Lo gak bisa ngasih ekspresi yang lebih bagus dari itu?" tanya Edwin, menggiring sepedanya masuk ke perkarangan rumah.

"Apー jelek lo bilang?" kata Luna, tak terima.

"Ekspresi terjelek yang gue liat hari ini."

"Hah? Lo ya, bener-bener halal untuk dicekek."

Hening sejenak. Seketika, suasana mereka kembali canggung. Edwin tak tau harus melakukan apa. Dia merasa tubuhnya panas dingin, menahan rasa malu yang muncul akibat apa yang baru saja dia lakukan beberapa menit yang lalu. Lelaki itu pun berjalan menaiki anak tangga menuju pintu depan rumahnya, lalu membuka kunci pintu tersebut. "Masuk."

Setelah Edwin dan Luna masuk, keduanya lagi-lagi hanya diam. Edwin benar-benar tak tau harus bagaimana.

"Lo mau minum apa?"

Edwin menepuk jidatnya dengan keras. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Bukankah selama ini, dia tak pernah menawarkan minum kepada Luna tiap kali perempuan itu berkunjung?

Namun, di luar dugaan, Luna hanya menggeleng untuk merespon pertanyaan Edwin barusan. Jika itu adalah Luna yang biasanya, mungkin perempuan itu akan meledek atau menertawakan sikap canggung tak masuk akal yang Edwin keluarkan. Namun, masalahnya, perempuan itu pun sedang berada dalam kecanggungan. Edwin bisa melihat itu dari betapa Luna menghindari kontak mata dengan Edwin. Perempuan itu terus mengalihkan pandangannya, tampak takut untuk beradu pandang dengan Edwin.

Edwin menghela napasnya. Sepersekian menit, lelaki itu berjalan menuju ruang tengah, lalu meraih gitarnya dan duduk di karpet bulu yang terletak tepat di depan sofa tersebut.

"Luna," panggil Edwin, membuat perempuan yang sedang duduk di ruang tamu itu menoleh. Edwin melambaikan tangannya, meminta Luna untuk datang ke dekatnya. "Sini."

Luna pun bangkit dari posisinya, lalu berjalan menuju ruang tengah. Edwin yang duduk di atas karpet, lantas menepuk-nepuk sofa cokelat yang ada di hadapannya, meminta Luna duduk di sana. Setelah mengambil posisi di sofa seperti yang Edwin minta, perempuan itu menjatuhkan pandangannya ke arah jemari Edwin yang mulai memetik senar gitar. Edwin pun berhenti sejenak, lalu meraih ponselnya. Setelah membuka sesuatu yang Luna tak tau apa itu, Edwin pun menyodorkan ponselnya ke Luna.

"Ini lirik lagu yang mau gue nyanyiin sekarang. Lo baca sambil dengerin baik-baik. Oke?"

Luna mengangguk.

Edwin kembali memetik senar gitarnya. Melodi yang diberikan gitar itu mulai mengalun memenuhi atmosfir ruang tengah ini. Edwin mulai menyanyikan lagu yang menggunakan lirik bahasa Inggris itu. Luna pun menatap layar ponsel Edwin dan membaca tiap bait yang ada di sana. Di atas lirik lagu itu, ada judul yang tertera. Lovely Luna, oleh Circus Guy.

Lagu itu adalah lagu yang romantis. Meskipun lagu itu bukanlah ciptaan Edwin, tapi saat ini, lelaki itu memetik senar gitar sekaligus bernyanyi hanya untuk dirinya. Lagu yang Edwin nyanyikan khusus untuknya, bahkan judul lagu itu memuat namanya. Sesuatu yang sangat berharga bagi Edwin, yaitu musik, saat ini sedang Edwin gunakan untuk menunjukkan perasaannya kepada Luna dan itu benar-benar berharga, bagi Luna.

Semuanya ada karena musik. Musik adalah sesuatu yang Edwin bicarakan ketika mereka sedang berjalan di bawah payung menuju kafe di dekat kampus waktu itu. Musik adalah sesuatu yang menjadi awal dimana Luna bisa melihat betapa Edwin tampak seperti sekelebat cahaya di matanya. Musik adalah sesuatu yang menjadi awal kedekatan Edwin dan Luna. Musik adalah sesuatu yang menjadi penghubung antara Edwin dan Luna. Luna benar-benar memandang musik dengan cara yang berbeda, sejak dia bertemu Edwin.

Tanpa Luna sadari, pahanya mulai basah oleh rintik-rintik air matanya. Lirik lagu terjemahan yang dia baca saat ini benar-benar indah. Lagu untuknya yang dinyanyikan oleh Edwin. Lagu romantis yang berhasil menyentuh hati Luna. Lalu, saat ini, Edwin menyanyikan lagu itu di hadapan Luna. Meskipun dia tak mau disebut GR, tapi bolehkah dia berharap bahwa Edwin menyanyikan lagu ini untuk Luna karena lagu itu menjelaskan isi hati Edwin saat ini?

"Hah? Kenapa lo nangis?" Edwin spontan berhenti memetik senar gitarnya ketika dia menyadari Luna sedang menangis. Edwin mengernyitkan dahinya, mencoba menerka-nerka apa yang salah. "Gue ngelakuin sesuatu yang salah?"

"Suara lo jelek."

Edwin tersenyum sebal ketika mengetahui jawaban itu yang justru datang dari Luna. Edwin hanya bisa menghela napasnya panjang, mengulurkan tangannya untuk mengusap air mata Luna menggunakan tangannya yang mengenakan pakaian lengan panjang. "Ya, suara gue emang gak sebagus Asta, sih."

Luna hanya diam. Dia tak bisa menatap Edwin. Situasi ini terlalu canggung untuknya sampai dia merasa jantungnya hampir copot. Namun, dia penasaran dengan apa yang Edwin rasakan. Apa yang lelaki itu rasakan? Apa yang lelaki itu pikirkan? Apakah dia juga sama seperti Luna?

"Gue mau mastiin sekali lagi," ujar Edwin. "Lo beneran udah nyerah sama gue?"

Luna terdiam sejenak. Tak lama kemudian, Luna mengangguk ringan.

"Kalau gitu, jangan."

Luna menoleh ke arah Edwin. Lelaki itu sudah menatap Luna terlebih dahulu dengan intens. Rasanya aneh karena mereka selalu bercanda dan berdebat tiap saat, tapi kali ini justru berbicara dengan serius. Luna tau, mungkin suatu saat, mereka akan menertawakan malam ini. Namun, yang lebih penting, apa yang harus Luna lakukan sekarang?

"Gue gak ngerti," kata Luna. "Lo mau gue kaya gimana?"

"Jangan nyerah sama gue," ucap Edwin.

Luna mencibir. "Labil banget, nyet."

Edwin menelan salivanya, menelan kekesalan yang dia rasakan setelah mendengar ucapan tajam dari perempuan di hadapannya. Jika bukan karena dia mencintai Luna, mungkin dia sudah mencekik perempuan ini sedaritadi.

"Padahal, waktu itu, gue lagi nemenin Roby. Bisa-bisanya lo pergi sama Asta," kata Edwin, menopang dagunya, malas. "Terus, waktu sehari sebelom baksos, lo juga teleponan sama dia, kan?"

"Lo tau?"

"Ya, orang lo teleponan, udah tau temboknya tipis, bangke," ujar Edwin. "Lo juga muji-muji dia gak jelas. Dia yang selalu nanya hal-hal kecil tentang lo, sedangkan gue gak pernah. Padahal, sebenernya, meskipun gue gak pernah nanya lo soal itu, gue tau semua tentang lo dari keseharian lo."

"Oh, ya?" Luna menaikkan sebelah alisnya. "Apa warna kesukaan gue?"

"Pink," jawab Edwin. "Soalnya, isi kotak pensil lo serba pink."

"Makanan favorit gue?"

"Di malam festival kampus waktu itu, lo bilang makanan favorit lo tuh siomay. Makanya, kita sampe kena masalah sama Dokter Eddie perkara keceplosan," jawab Edwin.

Luna tersenyum ringan. Dia tak pernah tau kalau Edwin mengetahui hal-hal kecil tentang dirinya. Dia pikir, selama ini Edwin tak peduli kepadanya, apalagi untuk memerhatikan hal kecil seperti itu.

"Mau nanya apa lagi? Vokalis favorit?" Edwin meletakkan gitarnya di atas karpet. "Asta, kayanya."

Luna tersenyum ringan. Sepersekian detik, perempuan itu beranjak dari posisinya, lalu memeluk lelaki yang duduk di atas karpet bulu tersebut. Edwin pun melingkarkan tangannya di pinggang Luna, membalas pelukan perempuan tersebut.

Edwin selalu memberikannya hadiah ulang tahun terbaik.

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang