SIALNYA, Dito tak mengetahui lokasi rumah dari ibunya Edwin. Namun, lelaki itu memberitahu lokasi klinik utama dari ibunya Edwin yang berprofesi sebagai dokter gigi sehingga Luna tak memiliki cara lain selain mendaftarkan diri sebagai pasien dari klinik tersebut.
Luna merasa gugup. Dia takut, kesan pertama ibu Edwin kepadanya menjadi buruk karena perempuan itu salah paham mengenai kedatangan Luna. Mau bagaimanapun, dia akan berbicara bukan dengan sembarang orang, melainkan orang tua dari pacarnya sendiri.
Setelah nomor antrian Luna dipanggil, Luna pun berjalan memasuki ruang praktik. Demi mendapatkan kesediaan Dokter Sari, ibu Edwin tersebut, dia harus memilih waktu yang lumayan larut untuk periksa gigi karena wanita itu hanya ada pada pukul tujuh sampai sembilan malam. Namun, dia harus menguatkan niatnya. Dia ingin pada konser perdana Trapnest nanti, Edwin bisa melihat ibunya juga berada di barisan depan penonton.
"Malam," sapa wanita itu, tersenyum manis. Luna tertegun. Wanita itu sangat cantik. Secara fisik, Edwin mewarisi hidung dan bibirnya. Namun, selain dua hal itu, selebihnya Edwin benar-benar mirip dengan ayahnya, seperti yang Luna lihat waktu itu. "Namanya siapa?"
"Luna, Dok," jawab Luna, tersenyum canggung.
"Usia?"
"22 tahun."
Dokter Sari pun melakukan anamnesis, sampai tiba dimana wanita itu bertanya mengenai keluhan pasien. Luna terdiam cukup lama ketika pertanyaan itu dilayangkan.
"Dok, begini," ujar Luna, terbata. "Sebenernya, saya dateng ke sini bukan untuk periksa gigi."
Dokter Sari mengernyitkan dahinya. "Gimana maksudnya?"
Luna merogoh tasnya, lalu mengeluarkan satu tiket konser. Perempuan itupun menyodorkan tiket itu ke Dokter Sari, membuat wanita itu menatap bingung sekaligus kaget.
"Saya rasa, Dokter pasti udah tau ini band apa," ujar Luna. "Bukan karena Edwin yang ngasih tau, tapi Dokter yang nyari tau sendiri."
"Kalau kamu ke sini bukan untuk periksa gigi atau semacemnya, mending saya lanjut ke pasien selanjutnya," ujar Dokter Sari. "Saya masih punya pasien yang menunggu."
"Minggu depan adalah konser perdana Trapnest," ujar Luna, tak peduli dengan ucapan Dokter Sari barusan. "Edwin bakalan tampil di depan ribuan penonton."
"Bukan urusan saya," kata Dokter Sari. "Kenapa kamu ikut campur?"
"Dokter tau perjuangannya selama ini demi mimpinya?" tanya Luna. "Dia ditolak dan dipermainkan perusahaan rekaman berkali-kali, disuruh untuk jadi orang lain demi target pendengar, beberapa perusahaan rekaman cuma tertarik sama mereka sekedar karena visual dan mementingkan penggemar. Edwin jalanin semua itu dengan kakinya sendiri, meskipun orang tuanya justru mencekal mimpinya."
"Saya gak mau marah sama pasien dan melanggar kode etik kedokteran atau semacemnya," ujar Dokter Sari. "Jadi, lebih baik, sekarangー"
"Saya tau," potong Luna. "Saya mahasiswa kedokteran gigi. Saya tau kode etik kedokteran gimana dan bukan maksud saya untuk bikin Dokter kehilangan kendali sampai bersikap gak profesional sebagai dokter gigi, tapi tolong, dengerin saya. Sebentar aja."
Dokter Sari hanya diam, tak membalas apapun lagi.
"Mungkin, dia adalah orang yang keras kepala, semaunya aja, dan bikin Dokter kecewa," ujar Luna. "Tapi, Dokter harus tau, dia sayang banget sama ibunya."
Dokter Sari tak membalas apapun. Wanita itu menunduk. "Dia bahkan gak dengerin saya sama sekali."
"Dia udah semester tujuh," kata Luna. "Dan dia gak berniat untuk berhenti sama sekali karena dia nganggep kedokteran gigi adalah tanggung jawabnya kepada Dokter."
Dokter Sari melebarkan kedua matanya, tampak kaget mendengar ucapan Luna barusan.
"Mimpinya adalah menjadi musisi. Sedikit dari setidaknya, saya bisa ngeliat musik dengan cara yang beda berkat Edwin. Musik adalah obat dan segalanya bagi Edwin. Entah Edwin bakalan gimana tanpa musik," Luna menggantungkan ucapannya. "Tapi, dia tetep jalanin kemauan Dokter. Dia tetep jalanin sesuatu yang gak dia pengen dan bukannya mudah untuk bertahan di posisi itu. Semua itu dia lakuin sebagai bentuk kasih sayangnya kepada Dokter."
Meskipun Dokter Sari menyembunyikan wajahnya dari pandangan Luna, tapi Luna bisa tau bahwa wanita itu sedang menangis dari hidungnya yang mulai berisik.
"Di konser resmi pertama Edwin, Dokter harus dateng," kata Luna. "Dokter harus liat betapa bersinarnya Edwin di atas panggung."
"Saya tau," gumam Dokter Sari. "Saya tau betapa bersinarnya dia di atas panggung, lebih dari siapapun."
Luna terdiam.
"Saya punya kebencian kepada musik karena kepergian suami saya. Bahkan, sampe sekarang, saya belum berdamai sama hal itu," ujar Dokter Sari, tampak menahan sesuatu di dadanya. Luna tak bisa membayangkan sesakit apa yang dia rasakan ketika orang yang tampaknya benar-benar dia cintai itu pergi. "Itulah kenapa."
"Dokter gak bisa bikin orang lain terlibat cuma karena Dokter lagi berperang dengan diri Dokter sendiri," ujar Luna. "Edwin gak harus bertanggung jawab dengan rasa sakit yang Dokter rasain. Itu mimpinya. Gak ada hubungannya dengan ayahnya ataupun musik melalui sudut pandang Dokter."
Ini adalah pintu kedua yang Luna dobrak. Pertama, dia mendobrak sesuatu di dalam diri Edwin agar lelaki itu tidak menyerah. Lalu, kali ini, dia mendobrak sesuatu di dalam diri Dokter Sari agar wanita ini mau membuka matanya dan menerima kenyataan bahwa Edwin memang anaknya, tapi bukan berarti dia memiliki hak atas segala aspek dalam kehidupan Edwin, terutama mimpinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Taoreru
RomanceEdwin, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi menjadi musisi. Luna, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi sesuai prodi yang dia ambil, yaitu dokter gigi. Mereka adalah dua orang yang selalu meledek satu sama lain. Namun, hubungan Luna...