Chapter 11: Gantungan Gitar

494 71 1
                                    

"LO berat banget, gue jadi kehabisan napas, lo tau?" ujar Edwin ngos-ngosan, sepersekian detik meringis kesakitan ketika perempuan yang di sebelahnya menginjak kakinya dengan kesal, tak terima dibilang berat.

Saat ini, mereka sudah berada di sebuah toko kue mungil yang lucu, terletak di puncak dan untuk ke sini, Edwin harus menyewa sepeda untuk sampai ke atas karena jalannya kecil. Toko kue ini lucu dan manis sekali. Dari luar, hanya tampak seperti toko kue biasa. Setelah Edwin dan Luna memasuki toko kue itu, Edwin dan Luna dapat mencium aroma manis yang entah kenapa, mampu memanjakan dan menenangkan mereka berdua. Selain itu, sekeliling toko ini tampak berkabut karena udara yang dingin.

"Lo udah sering ke sini?" tanya Luna, melihat sekitar. "Kayanya gak banyak orang yang tau, ya? Atau emang lagi sepi?"

"Ini pertama kali gue ke sini," jawab Edwin, bangkit dari posisinya. "Gue tau dari nyokap. Iya, bener, belum banyak orang yang tau soal toko kue ini. Selain itu, mereka juga baru buka."

Edwin berjalan menuju etalase yang menampakkan beraneka kue yang cantik dan warna-warni. Lelaki itu tampak berbincang dengan si penjaga etalase, membicarakan kue-kue yang ada di etalase tersebut, seperti kue apa yang terlaris, kue apa yang tidak terlalu manis, ataupun kue apa yang mengandung banyak kalori. Setelah berbincang cukup lama, Edwin pun kembali ke meja mereka dengan nampan berisi beraneka kue, membuat Luna tersenyum dan berbinar.

"Ini rekomendasi dari mbaknya, katanya yang terenak menurut pelanggan sejauh ini," ujar Edwin, meletakkan nampan tersebut di meja mereka. "Lo suka yang mana?"

"Gak ada yang rasa cokelat?"

"Ada," Edwin meraih kue pai mini dengan cokelat di atasnya, lalu menyodorkannya ke arah Luna. "Cobain."

Luna menggigit kue tersebut, lalu tersenyum senang. "Enak banget."

Edwin tersenyum, lalu mencomot kue lainnya. "Lo suka banget sama cokelat?"

"Suka banget. Gue juga suka banget sama kue pai. Jadi, ini tuh kombinasi yang terbaik," kata Luna, tersenyum. "Emangnya ada orang yang gak suka cokelat?"

"Yah, kalau gue sih, lebih suka cokelat putih daripada cokelat biasanya."

"Aneh."

"Suka-suka gue. Wlek."

"Lo makan apa?"

"Ini?" Edwin mengangkat kue yang sedang dipegangnya. "Carrot cake."

"Ih, gak enak."

Edwin memicingkan matanya. "Apa? Bisa-bisanya lo menghina carrot cake gue yang berharga."

"Masa wortel jadi kue?"

"Ini kue yang dari dulu gue suka banget. Lo gak suka emangnya?" tanya Edwin, dibalas gelengan oleh Luna. "Dih, aneh."

"Kalau kue lokal yang lo suka apa?" tanya Luna. "Ada, gak?"

Edwin terdiam sejenak, berpikir. "Kue lumpur."

"Kue lumpur?"

Edwin menaikkan sebelah alisnya. "Jangan bilang lo gak tau."

Luna menggeleng. "Bentuknya kaya lumpur?"

"Kaga, ogeb. Bentuknya sih normal, terbuat dari kentang gitu. Nyokap gue jago banget bikin begituan. Kapan-kapan kalau doi lagi bikin, gue simpen buat lo, deh," ucap Edwin. "Kalau lo? Kue lokal yang lo suka?"

"Sebenernya, ada makanan asal Riau, gak tau ini termasuk kue atau bukan. Kayanya sih bukan. Namanya roti jala. Yaudahlah ya, sama-sama dessert. Jadi, dipakein kuah durian gitu."

"Durian?" Edwin tampak berbinar. "Terus?"

"Ya, gitu, tapi roti jala gak terkenal, sih. Jadi, gak banyak yang tau," kata Luna.

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang