Chapter 32: Roti

377 62 0
                                    

"CEPETAN, dong. Ini udah jam berapa."

Luna geram sendiri melihat Edwin yang memasang jaketnya dengan mata tertutup. Bahkan, cuci muka dan menyikat gigi pun tak mempan membuat rasa kantuk lelaki itu hilang. Selain itu, jika Luna tidak membangunkannya tadi, mungkin Edwin akan molor sampai siang. Kelar.

"Kalian yakin pulang berdua aja?" tanya Bunda, menatap khawatir. "Edwin kayanya masih ngantuk banget."

"Nih orang bener-bener," Luna mendengus sebal. "Gue kan udah bilang, lo harus tidur lebih cepet semalem."

"Richard, kamu beneran bisa nyetir?" tanya Ayah. "Kalau terjadi apa-apa, kamu bakalan Om jadiin jus tomat."

Edwin merinding melihat tatapan tajam dari ayah Luna. Edwin menepuk kedua pipinya keras, berusaha untuk mengusir rasa kantuknya dengan paksa. Lelaki itu meraih kunci mobil yang ada di saku celananya, lalu membuka lock mobil tersebut. Setelah berpamitan, mereka pun meninggalkan kota Bogor karena pagi ini, mereka harus ke kampus.

"Lo jangan tidur, ye," ujar Edwin. "Kalau lo tidur, gue juga tidur."

"Ah? Kenapa gitu?" tanya Luna, kecewa. "Padahal, gue sengaja bawa lo biar gue bisa tidur di perjalanan."

"Kampret," Edwin tersenyum sebal. "Gue emang salah karena berharap banyak sama orang yang akhlaknya jelek kaya lo. Dasar Piglet."

"Apー lo tau darimana nama panggilan itu?" tanya Luna, melotot galak.

Edwin menaikkan bahunya. "Habisnya, lo nyebelin."

"Lagian, kalau gue pesen mobil online, gue gak bisa tidur. Parno mulu."

"Hah? Parno kenapa?"

"Ya, kalau diculik gimana?"

"Tuh orang juga ogah nyulik gorila kaya lo," ledek Edwin. Luna spontan memukul jidat Edwin, membuahkan ringisan dari lelaki tersebut. "Sakit, anjir!"

Lagipula, jika Edwin yang menyetir, memangnya Luna bisa menjamin keselamatannya?

"Dah, gue tidur," Luna menghadap kiri, membelakangi Edwin. "Selamat malam."

"Ini jam lima subuh," ujar Edwin. "Lo tega biarin gue nyetir sendirian? Apa kek, ajak gue ngobrol, kek."

"Gak mau."

Edwin memutar kedua bola matanya, sebal. "Padahal, katanya, lo suka sama gue."

Luna melebarkan matanya, menatap Edwin dengan tatapan kaget sekaligus tak percaya. Sepersekian detik, perempuan itu merona.

Edwin yang melihat reaksi Luna, hampir kelepasan untuk tertawa. "Oh? Itu wajah lo merah karena marah atau merona?"

Luna mengepalkan tangannya sebal. Jika bukan karena memikirkan keselamatannya sampai kampus, dia mungkin sudah mencekik laki-laki menyebalkan di sebelahnya ini sedaritadi. Selain itu, Luna merasa Edwin akan menggunakan kelemahan Luna yang satu itu sebagai senjatanya mulai dari sekarang.

"Jangan geer. Gue udah gak suka lagi sama lo," ujar Luna, menatap ke arah jendela, membelakangi Edwin.

Edwin hanya mangut-mangut, pura-pura percaya dengan apa yang baru saja Luna katakan. Entahlah, haruskah dia percaya? Apakah yang Luna katakan benar? Namun, kalaupun Luna masih menyukainya, bagi Edwin, itu tetap takkan mengubah apapun. Bahkan, meskipun mereka hanya berdua di dalam mobil ini, Edwin tak merasakan apapun, gugup atau semacamnya seperti yang kebanyakan lelaki rasakan jika berhadapan dengan perempuan yang mereka sukai. Selain itu, mereka adalah teman dekat. Jadi, setelah penolakan waktu itupun, mereka masih bisa bersikap seolah-olah tak terjadi apapun.

Entahlah. Apakah hanya Edwin yang merasa seolah-olah tak terjadi apapun? Bagaimana dengan Luna?

"Lo mendadak diem kenapa? Lagi sakit gigi?" tanya Luna, membuyarkan lamunan Edwin. Lelaki itu hanya bisa nyengir. Sakit gigi, Luna bilang?

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang