Chapter 48-end: Jatuh

1.4K 106 12
                                        

DETIK demi detik berlalu, seiring bergeraknya arloji bundar yang melingkar di tangan kiri Luna ke arah kanan. Luna memandang ke bawah sana, ke arah jalan raya dan gedung-gedung yang jadi tampak kecil dari posisinya saat ini. Cahaya jingga mulai bergeser, menyapa sesaat sebelum menghilang. Warna gelap mulai menyapa dengan lampu-lampu kota yang mulai menyala. Titik-titik cahaya kuning mulai bertebaran di bawah sana. Satu persatu muncul dan mulai menggantikan cahaya senja. Kota ini mulai menutup hari dan Luna menikmati waktu dimana langit berubah menjadi ungu.

Luna menjatuhkan pandangannya ke bawah. Wajahnya yang semula datar, lantas mengukir senyumannya ketika dia melihat seseorang di bawah sana yang sedang berada di depan sebuah kios donat. Lelaki dengan baju lengan panjang berwarna hitam serta tas ransel yang dibawanya.

Setelah selesai membeli donat di kios merah tersebut, lelaki itupun berbalik badan, lalu sengaja menoleh ke atas. Dari balkon itu, dia bisa melihat seorang gadis dengan pakaian merah muda yang melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum senang. Edwin melemparkan senyumannya, membalas lambaian tangan tersebut.

Tak lama berselang, suara bel apartemen Luna pun terdengar. Luna tersenyum, lalu berlari menuju pintu tersebut. Ketika dia baru membuka pintu itu, dia mendapati seorang lelaki dengan dua kotak donat di tangannya sambil tersenyum lebar. Mereka memang berniat untuk mengadakan pesta donat sore ini, meskipun hanya berdua karena Dira sedang berkunjung ke rumah orang tua Dito. Luna tau, hubungan mereka benar-benar sudah serius sampai sudah mengenal orang tua satu sama lain.

"Enak?" tanya Edwin, mengunyah donatnya.

Luna mengangguk. "Lo gak mau cobain yang cokelat?"

Edwin menggeleng. "Gue lebih demen cokelat putih."

"Gak enak," ujar Luna, memeletkan lidahnya.

"Itu muka lo udah cemong banget. Mana gigi item semua," kekeh Edwin, meledek. "Udah ompong ya, Bu? Giginya udah ompong?"

Luna spontan menggeplak kepala Edwin menggunakan bantal sofa yang ada di dekatnya, membuahkan ringisan dari lelaki tersebut.

"Besok kita skill lab, ya," kata Edwin, menghela napas panjang. "Males banget."

"Bawel banget. Tinggal jalanin," balas Luna. "Udah gitu, lo jangan tidur pas kuliah, bangke. Apalagi, di kuliahnya Dokter Eddie. Lo tau gak, lo udah masuk medsosnya berapa kali perkara ketiduran doang?"

"Gue tidur juga gak jelek, anjir," ujar Edwin. "Lagian, Dokter Eddie mulu."

"Eh, bukan masalah lo jelek atau enggak di foto itu. Pikirin nilai lo, kek," kata Luna, memutar kedua bola matanya sebal. "Lo niat lulus gak, sih."

"Dulunya enggak," ucap Edwin, menaikkan bahunya. "Kalau sekarang, iya."

Luna menaikkan alisnya. "Beneran?"

Edwin mengangguk. "Kalau gue gak masuk di fakultas ini, gue gak bakalan ketemu sama lo, soalnya."

"Basi banget."

"Lo ya, bener-bener spesialis menjatuhkan mental orang," ujar Edwin, menatap sebal. "Gue ngomong beneran."

"Padahal, lo awalnya nolak gue."

"Eh, denger. Siapa yang jatuh cinta duluan tuh gak penting," ujar Edwin. "Yang penting tuh siapa yang jatuh cinta lebih dalam, pada akhirnya."

"Terus? Apa bedanya?" tanya Luna. "Tetep gue, kan? Yang lebih dalam?"

Edwin menggeleng. "Gue."

"Bukan gue?"

"Bukan," tegas Edwin. "Bahkan kalau ditanya, siapa yang paling beruntung di antara kita berdua, gue yang paling beruntung karena bisa ketemu lo."

Luna tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Edwin. Edwin mengangkat tangannya, mengelus rambut Luna. Baginya, berada di dekat Luna adalah tempat teraman dan ternyaman. Meskipun pada awalnya, Luna adalah perempuan yang menyebalkan. Dia tak menyukai Luna, lambat laun berteman, lalu Luna menyatakan perasaannya, dan Edwin sempat menolak perasaan perempuan itu. Namun, bagi Edwin, di antara mereka berdua pada saat ini, Luna takkan bisa menandingi dalamnya cinta Edwin kepada Luna. Mungkin, Luna memang mencintai Edwin lebih dulu, tapi Edwin-lah yang mencintai Luna lebih dalam.

Bagi Edwin, awalnya, bertemu dengan Luna ibaratkan jatuh ke dalam sebuah lubang. Namun, setelah dia mengerti Luna dan benar-benar 'jatuh' untuk perempuan itu, dia lebih memilih untuk tinggal di lubang itu karena merasa bahwa dia aman bersamanya.

Bagi Edwin, mencintai Luna ibaratkan two attacks dalam permainan voli. Sesuatu yang tak pernah dia duga akan terjadi.

"Lo tau, Pak Bondan bilang, ada peluang kita dilirik oleh media Jepang," ucap Edwin.

"Oh, ya?"

"Kalau kita harus pergi ke Jepang dan jadi musisi di sana, apa yang bakalan lo lakuin?"

Luna terdiam sejenak. "Dukung lo."

"Terus?"

"Itu doang."

"Habis ini, lo bakalan selalu hidup di lagu-lagu yang gue ciptain," ujar Edwin, tersenyum ringan. "Itu derita dicintai oleh penulis. Rasain."

Luna menahan tawanya. "Masa, sih?"

Edwin mengangguk. "Bahkan, vokalis dari Laruku, Hyde, yang tertutup banget soal kehidupan pribadinya pernah nulis lagu untuk istrinya. Judulnya Anemone."

Luna berdecak kagum. "Keren."

"Mungkin, ada masanya nanti, satu album Trapnest berisi tentang lo doang," kata Edwin. "Tentang lo yang keliatan jelek karena nangis pas kita sumpah dokter, lo yang ngeluh soal keseharian lo sama pasien ke gue."

"Lo gak bisa banget ngasih gambaran yang bagusan dikit," komentar Luna, mendengus sebal.

"Gue bakalan nulis tentang lo. Seketika, semua lagu cinta yang gue ciptain ada karena kehadiran lo. Bahkan, mungkin lagu berisi lamaran pun bakalan gue tulis," kata Edwin.

Seperti lagu yang ayahnya pernah tulis, yaitu Hapsari, Marry Me.

Luna tersenyum. Kedua matanya mengembun. Sepersekian detik, perempuan itu mulai mengusap matanya, seketika membuat Edwin tau bahwa perempuan cengeng yang di sebelahnya ini sudah menangis.

"Ah, cengeng banget nih manusia," komentar Edwin, mengusap air mata Luna dengan tangannya. "Kasih respon apa kek, yang romantis."

"Ya, habisnya lo kaya sengaja bikin gue nangis."

"Hah? Sengaja apaan?" Lelaki itupun menopang dagunya di atas meja yang tepat di depan mereka, menatap Luna yang menangis. "Muka lo jelek banget. Mirip Sarimin."

"Hah? Lo ya, masih sempet-sempetnya ngeledek kaya gitu," ucap Luna, menatap kesal.

"Udah, makanya jangan nangis."

Edwin menahan tawanya, lagi-lagi mengusap air mata Luna. Sepersekian detik, lelaki itu menarik wajah Luna untuk mendekat ke wajahnya sampai tak ada jarak yang tersisa.

Setelah ini, ambisinya menuju dunia musik akan semakin besar. Musik akan selalu menjadi mimpi, hidup, dan matinya. Mungkin, ambisinya itu akan mengharuskannya untuk fokus terus maju ke depan, bahkan suatu saat, berjauhan dengan Luna untuk sementara. Luna pun pastinya sibuk dengan mimpinya pula, menjadi dokter gigi yang hebat seperti harapannya. Mereka sama-sama memiliki mimpi. Mereka akan sama-sama maju ke depan, meskipun dengan jalan yang berbeda dan nanti, mereka akan bertemu di garis finish. Selama perjalanan itu, bahkan setelahnya, Edwin ingin terus bersama Luna, perempuan yang menjadi jembatan dari mimpinya. Begitu pula dengan Luna.

Edwin ingin terus berada di sini, di samping Luna. Bahkan, dalam pemikiran yang tak masuk akal, andaikata dia diberikan kesempatan untuk memutar waktu, mungkin dia akan menemukan Luna lebih awal. Dia akan menyatakan perasaannya lebih dulu kepada Luna, bahkan sebelum perempuan itu menyadari bahwa dia menyukai Edwin. Baginya, Luna adalah segalanya. Seseorang yang sangat berharga dan Edwin berharap untuk bisa terus bersamanya, selamanya.

-------------------------------------------

Taoreru,
29 Agustus 2022,
end.

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang