Chapter 33: Lost On You

414 57 0
                                    

SETELAH menyelesaikan ujian akhir blok sebelumnya, angkatan 2019 pun masuk ke blok baru. Namun, mereka baru saja mengetahui bahwa dosen penaggung jawab blok terakhir adalah Dokter Boni. Berdasarkan cerita dari kakak tingkat, Dokter Boni adalah tipe dosen yang lemah lembut, ramah, dan terkesan sedikit kemayu. Namun, sisi buruknya adalah pria tersebut tipe orang yang mudah ngambek sehingga mau tak mau, Luna mengikuti baksos seperti yang Dokter Boni katakan. Dia tak ingin mengambil risiko untuk mendapat nilai yang buruk. Sesuai ucapan Dito waktu itu, kelompok memang dibagikan berdasarkan nomor induk mahasiswa dan pada akhirnya, Luna benar-benar sekelompok dengan Edwin.

"Dari luar, poskonya keliatan bau," ujar Edwin dengan polos ketika mereka baru saja tiba di posko kelompok mereka.

Luna hanya bisa tersenyum paksa, kemudian menginjak kaki Edwin dan membuahkan ringisan kecil dari lelaki tersebut.

"Sakit, bangke. Apaan, sih?"

"Lo jangan ngomong yang aneh-aneh. Itu ada ibunya," bisik Luna.

"Ibunya juga kurang seksi. Gue pikir bakalan kaya di film yang biasa gue tonton."

"Hah? Film apa yang lo maksud? Denger, ye. Kita di sini untuk bantuin bakti sosial dari PJ blok terakhir sebelum kita libur semester," kata Luna. "Jangan aneh-aneh. Gue juga gak mau kalau besok lo molor sampe siang dan bikin kita telat."

"Bawel banget," Edwin mendengus sebal. "Iya, iya."

Luna dan Edwin pun memasuki posko yang disediakan untuk kelompok mereka. Sebenarnya, posko itu tak seburuk yang dikatakan Edwin. Posko itu memang tampak sederhana, tapi masih bisa dikatakan bersih dan rapi. Setidaknya, posko ini tak seburuk yang Luna bayangkan, meskipun terletak di perdesaan.

Baru saja Luna ingin memasukkan tasnya ke dalam kamar, perhatian Luna tersita oleh Edwin dan Mery yang sedang berbincang di ambang pintu. Edwin tampak sedang membantu Mery membawa barang-barang bawaan perempuan itu. Mereka tampak akrab dan saling melontarkan candaan. Andai saja Edwin tak memberitahu bahwa Mery adalah mantan pacarnya pada waktu itu, mungkin Luna takkan pernah tau. Pasalnya, hubungan mereka tampak baik-baik saja, tidak seperti beberapa mantan pasangan yang bisa canggung bahkan saling benci setelah putus.

Arloji menunjukkan pukul sembilan malam. Sebenarnya, seharusnya mereka tiba sore tadi, tapi kelompok mereka memutuskan untuk berbincang dan makan malam bersama di sebuah warung nasi padang yang tak jauh dari sini. Jadi, mereka baru tiba sekitar pukul tujuh malam, lalu mengurus barang-barang bawaan dan sebagainya. Setelah mencuci muka dan menyikat gigi, Luna pun menarik selimutnya. Sebenarnya, malam ini, dia akan tidur bersama beberapa mahasiswi lainnya, tapi mereka memutuskan untuk ke minimarket terdekat untuk membeli peralatan mandi.

Sejujurnya, dengan kamar yang cukup luas dan tampak tua begini membuatnya sedikit merasa takut. Apalagi, dia sedang berada di lingkungan baru, serta cerita-cerita horror mengenai lingkungan baru dan semacamnya. Namun, besok pagi mereka sudah harus pergi ke SD dan mengadakan bakti sosial, jadi Luna pikir, dia harus tidur lebih awal malam ini.

Drrt. Drrt.

Luna terlonjak kaget ketika ponselnya berdering. Pasalnya, dia sedang merasa paranoid, tapi ponsel ini justru berdering keras tepat di depan telinganya, hampir membuat telinganya pengang sebelah. Luna meraih ponsel tersebut, lalu mengernyitkan dahinya ketika dia melihat nomor tak dikenal terpampang di layar ponselnya. Sepersekian detik, Luna pun menekan tombol hijau untuk menerima telepon tersebut, meskipun sedikit ragu.

"Halo."

"Halo, Luna. Ini gue, Asta."

Luna menautkan alisnya, semakin bingung. Asta? Asta temannya Edwin? Si vokalis itu?

"Oh ya, halo, Asta. Lo dapet nomer gue darimana?"

"Gampang, temen gue kan juga banyak di kedokteran gigi," ujar Asta, terkekeh ramah. "Lo ikut baksos, ya?"

"Iya."

"Sayang banget. Tadinya, gue mau ngajakin jalan keluar," kata Asta. "Gimana tempatnya? Nyaman?"

"Yah, gue baru sampe sih, jadi belom tau nyaman atau enggak," ujar Luna. "Lo ada apa malem-malem?"

"Gue kemaleman ya teleponnya? Jangan-jangan, lo udah tidur?"

"Belum," jawab Luna. "Gue mau tidur, tapi parno mulu daritadi."

"Parno kenapa?"

"Iya, lo tau lah di lingkungan baru, biasanya ada aja pengalaman horror yang katanya mahasiswa alamin," kekeh Luna.

"Ah elah, gak ada yang begituan," Asta ikut tertawa. "Mungkin, lo bisa usir rasa takut itu pake musik."

"Musik?"

Asta berdehem. "Lo suka lagu apa?"

Luna terdiam sejenak. "Gue gak terlalu ngikutin perkembangan musik. Gue gak terlalu sering dengerin musik juga."

"Oh, ya?" tanya Asta. "Gimana kalau gue nyanyiin? Biar paranoid lo ilang."

Luna tersenyum ringan. "Boleh."

Asta terdiam sejenak, memikirkan lagu apa yang akan dia bawakan. Tak lama berselang, lelaki itu mulai bernyanyi. Suaranya sudah cukup akrab di telinga Luna karena perempuan itu sudah melihat penampilan band mereka sebanyak dua kali. Suara Asta memang khas dan cenderung tinggi. Suaranya pun cocok membawakan lagu rock ketika di atas panggung. Lelaki itu memiliki tato di sekujur lengannya, tapi pada malam festival kampus itu, Luna melihat Asta tersenyum dan bersikap ramah kepada penonton. Dia bukanlah seorang penyanyi yang memiliki karakter sangar seperti penampilannya.

Lagu berjudul Lost On You milik Lewis Capaldi itu terdengar halus di telinga Luna. Asta menyanyikannya dengan sangat baik dengan iringan gitar. Luna mengukir senyuman selama lagu itu dinyanyikan. Bahkan, ketika lagu itu selesai, Luna bertepuk tangan tanpa dia sadari, membuat Asta terkekeh kecil.

"Gue pikir, lo bakalan nyanyiin lagu rock," ujar Luna.

"Gue tau, cewek kaya lo pasti lebih demen lagu yang mellow," kekeh Asta. "Sekarang, masih parno?"

Dia pengertian.

"Gak, tapi gue jadi ngantuk," ujar Luna. "Eh, tapi jangan anggep itu sebagai hal yang negatif. Itu tandanya, lo berhasil bikin gue nyaman, makanya gue jadi ngantuk."

"Hahahaha, alasan lo boleh juga," kata Asta. "Yaudah, gue tutup teleponnya karena lo harus tidur, kan?"

"Iya," Luna memberi jeda. "Makasih, Ta."

"Sama-sama. Bye."

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang