Chapter 34: Roby

401 56 0
                                    

"HEH," Edwin menusuk-nusuk pipi Luna dengan jari telunjuknya. "Udah pagi. Lo mau tidur sampe jam berapa?"

Luna membuka matanya perlahan. Dia melihat Edwin berdiri di hadapannya, melipat kedua tangan di depan dada dan memandang Luna dengan tatapan malas. Luna menoleh ke arah arloji yang tertempel di dinding kamar ini. Sepersekian detik, perempuan itu mengubah posisinya menjadi duduk ketika dia menyadari bahwa sekarang sudah pukul setengah enam pagi.

"Liat siapa yang ternyata molor," ledek Edwin. "Siapa suruh lo ngatain gue kemarin?"

"Lo ngapain masuk kamar cewek?" tanya Luna, menunjuk Edwin.

"Cewek-cewek lain sampe ngadu ke gue karena mereka bilang, lo gak bisa dibangunin. Makanya gue ke sini. Udah, buruan antri untuk mandi," jawab Edwin, berjalan keluar dari kamar. "Makanya, semalem langsung tidur. Bukannya pacaran dulu."

Edwin berlalu. Luna mengernyitkan dahinya, sedikit kebingungan dengan kalimat terakhir yang Edwin lontarkan. Pacaran? Siapa yang dia maksud? Luna?

Setelah mandi dan sarapan, mereka pun pergi menuju lokasi penyuluhan mereka. SD itu terletak tepat di sebelah panti asuhan dan jujur saja, jalan menuju SD itu tak cukup baik sehingga membuat mereka semua terlempar sana-sini selama di jalan. Kelar.

Sejujurnya, Luna, Edwin, Dira, dan Dito sempat membicarakan ini sebelumnya. Mereka berniat untuk menjadikan KKN pada semester depan bukan sekedar kerja lapangan, tapi juga menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang di desa, terutama para adik-adik yang akan menerima ilmu dari mereka. Hal itu bukannya tanpa tujuan, tapi mereka lakukan untuk mengambil hati orang-orang yang tinggal di desa, agar mereka tidak kesulitan mencari pasien ketika koas.

Namun, sepertinya, niat itu bisa diterapkan pada baksos hari ini. Mereka berniat untuk mengambil hati anak-anak SD dan siapa tau, mereka bisa berteman. Luna dan Edwin berharap itu bisa memudahkan mereka ketika mencari pasien saat koas nanti. Selain itu, Luna dengar, ada panti asuhan yang terletak tepat di sebelah SD. Luna dan Edwin pun sudah sepakat untuk mampir ke sana nanti.

Cerita kakak tingkat koas yang mereka terima membuat mereka jadi parno dengan perkoasan dan mencari pasien. Kakak tingkat sempat bercerita bahwa menjadi mahasiswa koas kedokteran gigi itu cukup sulit karena mereka harus mencari pasien. Bahkan, terkadang, merela harus membayar orang agar mau menjadi pasiennya. Bukankah itu menyeramkan? Namun, jika Luna perhatikan, sepertinya menjadi mahasiswa koas kedokteran gigi memang semenyeramkan itu, melihat para kakak tingkat rela memeriksa gigi adik-adik tingkatnya satu persatu demi menemukan kasus gigi yang mereka cari.

"Jadi, nanti, kita bakalan bawain mereka makanan dan sikat gigi berserta odolnya," ujar Luna. "Oh ya, lo sempet bilang kalau lo mau main gitar buat ngehibur mereka. Lo jadi bawa gitar?"

Edwin mengangguk, lalu menunjuk bagasi mobil. "Udah gue bawa."

Luna dan Edwin berusaha mencari pasien bukan sekedar untuk mendapatkan nilai dan menjalani koas dengan lancar nantinya, tapi mereka juga berharap, mereka bisa memberikan perawatan gigi yang gratis untuk orang-orang yang ada di desa, terutama anak kecil. Bukankah menyenangkan ketika kita bisa menguntungkan satu sama lain?

Setelah tiba di SD dan melakukan bakti sosial serta hal-hal yang diperlukan lainnya, mereka pun berniat untuk pergi dari sini. Namun, Edwin dan Luna meminta untuk tinggal dengan alasan ingin mengunjungi panti asuhan yang berada tepat di sebelah SD tersebut. Edwin dan Luna pun memasuki panti asuhan tersebut. Ibu penjaga panti itu pun sangat ramah, mengingat bahwa Edwin dan Luna sudah memberitahu mengenai rencana kedatangan mereka hari ini dari hari sebelumnya.

"Halo," sapa Edwin, berjongkok dan melambaikan tangannya ke arah dua anak kecil yang sedang bermain robot-robotan bersama. Dua anak kecil itupun menatap bingung, tak lama kemudian, berlari ketakutan menjauhi Edwin. Edwin hanya bisa tersenyum kecut.

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang