Chapter 29: Telepon

355 67 0
                                    

"BUKANNYA lo gak ngerokok?" tanya Asta, mengernyitkan dahinya.

"Oh ya, besok gue pulang duluan," Edwin menyalakan korek api tersebut. "Gue ngampus, soalnya."

Edwin, Asta, Endro, dan Kemal pun memutuskan untuk menginap di Bandung, malam ini. Selain tubuh yang merasa lelah, merasa merasa pikiran mereka pun sedang tak baik-baik saja. Mereka pun tak membicarakan apapun di perjalanan menuju hotel. Mereka hanya diam dan membiarkan keheningan mendominasi mereka akibat perkelahian yang Edwin alami tadi.

Asta tak merespon apapun untuk ucapan Edwin. Sepersekian detik, Edwin membuka pintu geser kaca yang menghubungkannya ke balkon kamar ini. Edwin memandang lurus ke depan dengan angin malam yang mengayunkan rambutnya. Edwin berusaha menenangkan pikirannya. Meskipun dia tau, dia dan Endro tak mungkin berkelahi besar sampai tak saling sapa berhari-hari karena dia cukup mengenal Endro, tapi bagaimana dengan Kemal? Apakah keputusan lelaki itu sudah matang?

Drrt. Drrt.

Edwin mengernyitkan dahinya. Lelaki itupun membaca nama yang tertera di layar ponsel iu. Sepersekian detik, Edwin pun menekan tombol hijau di layar tersebut dan menempelkan ponsel itu di telinganya.

"Halo."

"Oh, lo belom tidur?" tanya Luna, dari seberang sana. "Padahal gue berniat gangguin lo tidur."

Edwin tersenyum ringan. Jika ini adalah dia yang biasanya, mungkin dia sudah membalas ledekan Luna barusan dengan kalimat yang membuat perempuan itu ikut kesal dan mengomel. Namun, rasanya untuk saat ini, Edwin sudah tak memiliki tenaga untuk melakukan hal itu.

"Lo ngerokok, ya?" tanya Luna, membuat Edwin yang semula memegang rokoknya di sela jari tengah dan telunjuknya, tanpa sengaja melepaskan sebatang rokok tersebut, lalu terlempar jauh ke bawah sana.

"Yah, sekarang udah enggak."

"Sejak kapan lo ngerokok? Udah rocker banget?"

"Apa? Rocker? Apa hubungannya, bangke?"

"Gue nelepon lo cuma mau ngasih tau kalau kita punya tugas individu yang dikumpulin besok siang. Dito bilang, dia udah kirimin ke lo via email, tapi lo gak respon. Jadi, dia khawatir lo ketinggalan info," ujar Luna. "Itu aja, sih."

Edwin tersenyum tipis. "Nanti gue cek. Makasih, ya."

"Iyuh, denger lo bilang makasih ternyata jauh lebih menggelikan dari yang gue bayangin," ujar Luna, memudarkan senyuman Edwin. Lelaki itu mengganti ekspresinya menjadi sebal.

"Hah? Menggelikan? Bisa-bisanya lo…" Edwin menggantungkan ucapannya, lalu menghela napasnya. "Yaudahlah. Lo gak tidur?"

"Iya. Gue tutup teleponnya, ya," ujar Luna.

"Bentar," kata Edwin, sigap. "Boleh gak kalau kita ngobrol dulu?"

Edwin menepuk jidatnya setelah dia mengatakan kalimat tersebut. Bukankah itu terdengar manis dan romantis? Ah, Luna mungkin akan meledeknya lagi. Namun, hening beberapa detik. Luna belum membalas apapun.

"Boleh," jawab Luna, akhirnya. "Jadi… hari ini hari yang berat, ya?"

Edwin terdiam sejenak. "Kenapa lo nanya kaya gitu?"

"Ya, habisnya, lo dengeran gak kaya biasanya," Luna memberi jeda. "Gimana kontraknya?"

Edwin terdiam lagi. Kali ini, lelaki itu mengepalkan tangannya, berusaha meredam kekecewaannya ketika dia kembali mengingat masalah kontrak. "Batal."

"Batal?" tanya Luna, bingung. "Kenapa bisa batal?"

"Sejujurnya, ini adalah perusahaan rekaman kelima yang udah bikin kita kaya gini," Edwin terkekeh ringan, seakan menutupi kesedihannya. "Mereka semua gak tertarik sama genre yang kita bawain. Bahasa dari lirik lagunya juga. Mungkin, gak cukup kuat untuk menjamin berhasil atau enggaknya laku di pasaran."

"Gue gak ngerti," Luna memberi jeda. "Kenapa mereka bisa memperkirakan genre yang kalian bawain gak laku?"

"Lo tau, usia gue 21 tahun. Temen-temen gue juga," kata Edwin. "Genre dan usia penyanyi bisa berpengaruh dalam nentuin target pendengar, menyesuaikan selera musik juga. Kalau dari awal target pendengar kita adalah perempuan remaja, itu artinya kecil kemungkinan untuk genre rock yang kita bawain bakalan laku."

"Gue ngerti," ujar Luna. "Terus, kali ini, apa yang salah?"

Edwin terdiam, cukup lama.

"Kalau lo gak mau cerita, gapapー"

"Singkatnya, hari ini, gue gak sengaja denger obrolan mereka. Mereka mau ngubah band kita jadi yang mereka mau untuk narik perhatian penggemar," jawab Edwin. "Dari awal, mereka tertarik sama band kita cuma karena visual dan usia. Target pendengarnya adalah perempuan remaja, itulah kenapa visual dan usia jadi kriteria yang penting."

Luna terdiam, cukup lama. Edwin menghela napasnya berat. Sejujurnya, dia pun tak ingin menceritakan hal ini kepada orang lain. Dia merasa malu. Dia merasa kecewa. Dia bukanlah model yang ingin dicintai karena visual. Dia ingin menjadi musisi, seseorang yang bebas di atas panggung dan dicintai karena musik ciptaannya.

"Mereka gak pantes dapetin lo," ujar Luna. "Selagi mereka gak bisa nerima apa adanya kalian, entah itu usia, genre musik, atau apapun, mereka gak pantes dapetin kalian."

"Jari gue sakit karena selalu main gitar dan ciptain musik dari situ," Edwin menggantungkan ucapannya. "Tapi, hati gue jauh lebih sakit liat orang yang gak gue kenal, bahkan gak tau sebesar apa perjuangan gue untuk jadi musisi, tapi seenaknya berniat ngancurin mimpi gue."

"Gue ngerti perasaan lo."

"Kita emang masih muda. Kita bener-bener merangkak untuk capai mimpi kita. Gue gak suka cara mereka liat kita sebagai bocah yang nganggep musik sebagai mainan," Suara Edwin bergetar, menahan kekesalan yang berusaha dia redam sedaritadi. "Padahal, musik adalah hal terpenting dalam hidup gue. Sebanyak apapun uang yang gue punya, sesempurna apapun hidup gue, gue bukan apa-apa tanpa musik."

Luna terdiam, kali ini sangat lama. Dia ikut merasa sedih ketika mendengar suara Edwin yang bergetar menahan amarah. Dia juga merasa ikut marah kepada pihak yang sudah tega membuat Edwin menjadi seperti itu. Takkan ada yang bisa mengerti betapa Edwin mencintai musik, bahkan Luna pun takkan mengerti. Namun, menurut Luna, ketidakpahaman mereka, terutama pihak rekaman tersebut, tak seharusnya membuat mereka memiliki hak untuk berlaku seenaknya kepada Edwin.

"Rasanya berat banget," tambah Edwin, lirih. Suara lelaki itu benar-benar berat, lirih, terdengar seperti menahan sesuatu yang berat di dalam dadanya. "Gak ada satupun yang bisa ngerti seberapa besar ambisi gue untuk musik. Bahkan, nyokap gue pun gak bisa ngerti soal itu.  Gue berusaha merangkak dengan kaki gue sendiri, tapi gue selalu jatuh."

"Lo bakalan berhasil dapetin semua yang lo mau," kata Luna akhirnya, setelah lama tak bergeming. "Gue tau itu. Gue percaya sama lo."

"Apa gue nyerah aja?"

Luna terdiam, cukup lama. Edwin merasakan tangannya bergetar. Emosinya yang bercampur aduk menjadi satu membuat pikirannya tak bisa berjalan dengan baik. Dia merasa benar-benar buruk. Luna bisa mendengar deru napas Edwin yang terdengar tak biasa, menandakan bahwa lelaki itu memang sedang tidak baik-baik saja. Lelaki itu merasa sedih dan kecewa. Kalimat terakhir yang Edwin katakan pun sebenarnya cukup membuat Luna kaget, mengingat sebesar apa ambisi Edwin.

"Lo udah gagal berapa kali?" tanya Luna.

"Gak kehitung."

"Tangan lo masih bisa metik senar gitar?"

"Ya."

"Lo masih mau tampil di atas panggung?"

"Ya."

"Jadi, lo gak boleh nyerah," ujar Luna, tegas. "Kalau lo nyerah, gue bakalan marah banget sama lo."

Edwin terdiam, cukup lama. Tubuhnya terasa panas, menahan sesuatu di dalam dadanya. Dia ingin sekali berteriak kepada dunia bahwa dia akan berhasil mencapai mimpinya, suatu saat nanti. Dia ingin menyelamatkan dan mengobati tiap orang dengan musiknya. Dia ingin membuat orang lain melihat musik seperti caranya melihat musik.

"Gue bakalan jadi orang yang berdiri paling depan di konser perdana lo nanti," kata Luna. Edwin mematung ketika dia mendengar ucapan Luna barusan. "Jadi, jangan kecewain gue. Oke?"

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang