BOHONG jika Luna bilang, dia tak apa-apa dengan jawaban Edwin. Bohong jika Luna bilang, dia tak sedih menerima jawaban Edwin. Bohong jika Luna bilang, dia bisa melupakan perasaannya untuk Edwin begitu saja dan berteman seperti biasa. Tentu saja, dia merasa sakit. Tentu saja, dia menginginkan Edwin. Namun, faktanya, mengatur hati Edwin bukanlah tugasnya.
Dia tak bisa membuat Edwin membalas perasaannya semudah membalikkan telapak tangan. Selain itu, sepertinya, Edwin pun tidak tertarik untuk memikirkan percintaan saat ini. Meskipun Luna tak mungkin mengetahui apa saja kesibukan Edwin, tapi lelaki itu menikmati kehidupannya dengan caranya sendiri dan masih ada banyak hal yang perlu dia lakukan, terutama mengenai musik. Luna tak ingin mengacaukan itu hanya demi menuruti perasaannya.
Selain itu, bukan hal yang mudah bagi Luna untuk menahan tangisannya setelah mendengar jawaban Edwin waktu itu. Dia sudah tak bisa mengikuti arah obrolan dengan teman-temannya di kafe tersebut. Pikiran dan hatinya kacau, tapi dia tak boleh menangis di tempat umum dan mempermalukan dirinya sendiri.
Edwin memang menyebalkan.
Namun, bagaimana caranya agar Luna bisa segera melupakan perasaannya untuk Edwin?
"Lo mau nangis lagi malem ini?" tanya Dira, membuyarkan lamunan Luna yang sedang menatap fokus ke ponselnya, meskipun hanya keluar masuk aplikasi tanpa alasan yang jelas. "Saking jomblonya, keluar masuk aplikasi doang."
Luna menatap sengit. Dira yang melihat perubahan ekspresi Luna, hanya bisa terkekeh.
Luna tak menjawab apapun. Perempuan itu meletakkan ponselnya di atas meja, lalu mengubah posisinya menjadi duduk di depan meja kecil yang terletak di hadapan televisi, ruang tengah. Luna pun menyalakan laptopnya, lalu meraih earphonenya dan menghubungkan benda itu dengan laptopnya. Luna membuka aplikasi pemutar musik, lalu menggerakkan kursornya, mencoba melihat-lihat, lagu apa yang akan dia pilih untuk menemani malam minggunya yang sepi.
Luna menaikkan sebelah alisnya ketika dia melihat nama Edwin yang dia susun secara abstrak berada di sudut kanan layar laptopnya. Luna baru ingat, dia pernah saling bertukar username aplikasi pemutar musik ini dengan Edwin. Oleh karena itu, Luna bisa melihat lagu apa yang sedang Edwin dengarkan. Ternyata, lelaki itupun sedang mendengarkan musik lewat aplikasi ini.
Luna tersenyum ringan. Seperti biasa, lagu itu adalah lagu asal Jepang. Lagu itu dinyanyikan oleh L'Arc-en-Ciel atau kata Edwin, band itu biasanya disebut sebagai Laruku. Lagu yang sedang Edwin dengarkan itu memakai bahasa Jepang, bahkan hurufnya juga.
瞳の住人。
Luna mencoba untuk mencari arti dari judul yang memakai bahasa Jepang itu di internet. Luna mengernyitkan dahinya ketika dia membaca judul itu dengan huruf biasa. Hitomi No Jyuunin, yang diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai Sang Penghuni Mata. Apakah penyanyinya jatuh cinta kepada seseorang yang bermata indah? Luna tak mengerti.
Luna mengklik lagu tersebut. Melodi dari lagu itu mulai mengalun tenang di telinganya. Luna memejamkan matanya, seperti yang pernah Edwin katakan waktu itu. Luna mendengarkan lagu itu dengan fokus. Waktu itu, ketika dia mendengarkan lagu Flower oleh Laruku, dia merasa sedang berada di sebuah padang rumput yang luas. Namun, kali ini, ketika dia mendengarkan lagu Hitoomi No Jyuunin, dia merasa sedang dikelilingi oleh bunga matahari yang segar.
Luna membuka matanya setelah lagu itu selesai diputar. Jika Edwin ada di sebelahnya, mungkin lelaki itu sudah menjelaskan makna dari lagu tersebut kepada Luna. Sekali lagi, Luna mengklik lagu tersebut untuk mendengarkannya kembali. Luna berpindah dari aplikasi tersebut, beralih ke internet lagi, kali ini hendak mencari arti dari lirik dari lagu yang berjudul Hitomi No Jyuunin tersebut.
Seakan aku berpacu dengan esok yang akan berlalu
Meski kucoba berlari menghindar
Sungguh aneh kurasakan
Hatiku tetap melukiskan dirimuLuna tersenyum ringan. Benar. Apakah jatuh cinta memang serumit itu? Padahal, Luna tak pernah ingin menjatuhkan hatinya untuk Edwin. Bahkan, lelaki itu sangat jauh dari kriteria lelaki impiannya. Luna sudah mencoba menghindar, berpikir lagi bahwa mereka sebaiknya memang lebih cocok jika sekedar berteman. Namun, hatinya tetap dipenuhi oleh Edwin.
Meskipun keseluruhan terjemahan dari lirik itu tak menggambarkan kondisi hati Luna yang sesungguhnya, tapi entah kenapa, dia merasa sedih kembali. Dia menenggelamkan kepalanya di atas meja, berusaha untuk tidak memikirkan lelaki odong yang bahkan tidak melihat Luna dengan cara yang sama itu, tapi tak mudah. Luna sendiri pun tak menyangka, ternyata dia benar-benar menyukai Edwin seperti ini.
Sebenarnya, Luna pun bukan tipe orang yang menyukai musik. Dia bahkan tak tau, musik apa yang sedang ramai dibicarakan saat ini. Namun, sejak dia dekat dengan Edwin, Luna merasa bahwa musik adalah hal yang seharusnya dia sukai sejak lama. Musik itu memporak-porandakan hatinya, membuatnya ikut merasakan emosi yang tertuang dalam lirik dan melodi yang diciptakan. Sesungguhnya, dia pun ingin tau mengenai cara Edwin melihat musik. Apa yang lelaki itu rasakan? Apa yang lelaki itu lihat? Luna ingin tau.
Luna melebarkan matanya, baru mengingat sesuatu. Band Dainisekai, band milik ayah Edwin. Apakah Luna bisa melihat band itu di internet?
Jemari Luna mencoba mengetik nama band yang Edwin katakan, lalu perempuan itu menekan tombol enter. Sepersekian detik, layar laptop itu memperlihatkan seorang pria dengan tampilan rocker, berdiri di atas panggung dan memegang mic dengan wajah yang sangar. Prabu Pramatya. Pria itu memiliki nama belakang yang sama dengan milik Edwin. Tak salah lagi, pria ini adalah ayah dari Edwin. Wajahnya, senyumannya, bahkan auranya ketika berada di atas panggung pun mirip dengan Edwin. Ternyata, band itu cukup terkenal pada masanya.
Dainisekai, artinya dunia kedua. Sepanjang Luna men-scroll mousenya, dia bisa melihat betapa cintanya pria bernama Prabu itu kepada musik, melihat dari kebanyakan lagu yang ditulis oleh dirinya sendiri, tanpa bantuan banyak orang. Luna terpaku, cukup lama. Apa yang terjadi jika orang yang memiliki ambisi besar untuk musik sebagai mimpinya, dipaksa untuk berhenti dan menggapai tujuan lain? Itulah yang Edwin rasakan, selama ini. Tiap kali Luna melihat foto dari ayah Edwin di layar laptopnya, dia justru melihat Edwin. Selain wajah mereka yang mirip, semangat dan aura mereka ketika berada di atas panggung pun benar-benar serupa.
Hanya saja… andaikan Edwin memiliki kesempatan untuk memilih tujuannya sendiri, mengepakkan sayap kemanapun dia ingin, bermain musik di atas panggung sampai jemarinya mati rasa. Andai saja Edwin bisa melakukan semua itu. Luna benar-benar ingin melihat Edwin melakukan semua itu.
Lalu, dunia kedua. Begitulah cara ayah Edwin melihat musik. Musik adalah dunia kedua baginya, sebuah pintu yang mengantarkannya ke dunia ilusi yang menyenangkan. Luna yakin, Edwin pun merasakan hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taoreru
RomanceEdwin, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi menjadi musisi. Luna, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi sesuai prodi yang dia ambil, yaitu dokter gigi. Mereka adalah dua orang yang selalu meledek satu sama lain. Namun, hubungan Luna...