Dua Wajah Pias

2K 272 114
                                    


Lama, ya? Habis kena sakit bergantian mulai suami, Rara dan saya sendiri. Macam kena omicron beberapa waktu lalu, tapi durasi sakit lebih singkat. Saya membaca semua komen dan DM yang masuk, gak sempat balas dan terima kasih sudah setia menunggu. Soal ada yang komen lama update, doakan saya dan keluarga sehat selalu saja. Agak lupa sama alur ceritanya, maaf kalau lanjutannya agak kurang nyambung. Hahaha.

Chapter ini menonjolkan sisi Kakashi yang agak menyebalkan dan pengecut. Boleh deh dihujat, tapi sebenarnya aku tuh kasihan sama dia melihat dari rencana ending kisah ini. (yang ngarang siapa, hihihi) Boleh ditebak-tebak ending kisah yang kurang dikit lagi, ya!

Nyaris empat ribu kata, semoga mengobati rindu. Setelah ini, saya bisa muncul lebih lama lagi soalnya ada banyak jadwal September ini. Untuk urusan typo, tandai saja. Besok saya revisi kalau sempat, xixixi. Jaa!

***

"Kau baik, Sakura?" tanya Tenzou yang menjadi salah satu tim pengetatan perbatasan pagi itu.

Sakura tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja, Taichou."

Tenzou menatap Sakura agak salah tingkah. "Jangan panggil kapten lagi. Kau sudah setara denganku sekarang, Sakura."

Sakura tertawa kecil. "Baiklah, Tenzou-san."

Tenzou menatap beberapa orang yang tergabung dalam misi itu, lalu menghembuskan napas panjang. "Oke, semua sudah berkumpul sekarang. Kita langsung berangkat."

Sang kapten sudah mengantongi izin Tsunade, maka mereka segera meninggalkan desa begitu cepat. Tujuh bayangan melesat seperti kilat, lenyap menuju ke hutan perbatasan desa di sebelah utara.

Tidak lama kemudian, gadis berambut pirang panjang berlari dengan napas tersengal tiba di depan pintu gerbang yang sudah tertutup. Ia menatap sekeliling dengan wajah pias, lalu bertanya pada penjaga pos, "Apakah tim Sakura sudah pergi?"

Si penjaga menautkan alis, lalu mengangguk mantap. "Mereka sudah pergi lima belas menit yang lalu."

Ino agak terperangah sebab ia menyadari tidak bisa keluar dari desa tanpa izin, tanpa tugas dari godaime. Matanya menatap pintu gerbang dengan lesu, lalu ia bingung mau pergi ke mana. Bagaimana bila Sakura memang tahu soal kehamilan itu, atau bagaimana bila ia salah sangka. Mungkinkah dua garis merah itu bukan milik Sakura? Apakah Sakura menjadi terlalu sembrono membawa segaris rahasia milik pasien dari laboratorium ke kantor pribadi, tapi untuk apa? Ino memegang pelipis, merasakan denyutan yang semakin ia sakit kepala.

Awalnya, ia memang bertujuan pergi ke tempat godaime dan melaporkan apa yang terjadi. Kemudian ia cemas bila melangkah terlalu jauh, maka ia memutuskan mengejar Sakura di gerbang Konoha saja. Sayang sekali, tim itu sudah berangkat lebih cepat.

"Haruskah aku menyimpan rahasia ini, atau aku melaporkannya pada Tsunade. Bagaimana bila terjadi sesuatu pada Sakura selama menjalani misi pengetatan perbatasan? Apa yang harus aku lakukan?" Ino meratap sedih dengan tangan yang masih memegang benda tipis itu.

***

Ino berjalan kembali ke pusat desa dengan wajah lebih lesu dari biasanya. Rasanya ia ingin menemui Tsunade dan mengatakan segalanya, meminta tim baru untuk menyusul Sakura dan memaksa si gadis merah jambu kembali ke desa. Berada di perbatasan saat hamil bukan pilihan yang tepat sebab segala sesuatu bisa terjadi begitu saja.

Bukan, ia jelas tidak mengharapkan sesuatu terjadi pada Sakura. Namun, segalanya sangat mungkin ditengah ancaman dan teror dari Akatsuki. Bagaimana bila Sakura tidak bisa mengontrol chakra dengan baik? Ia jelas tidak punya kemampuan sebaik sebelumnya, Ino sangat yakin itu. Ia bukan ninja medis secerdas Sakura, tapi ia tahu bahwa kunoichi yang akhirnya menikah dan hamil acap pensiun dini. Chakra mereka telah berubah seiring perubahan hormon dalam tubuh sehingga tidak mampu berada di medan pertempuran untuk sementara waktu.

BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang