👙Part 3👙

5.5K 64 5
                                    

Sambil nunggu aku ngetik obsessed, baca ini aja dulu ya. Semoga suka dan jangan lupa tinggalkan jejak dluuuuu🥰

Happy Reading👙

Gabby tersenyum cerah dengan tangan yang memeluk lengan lelaki di sampingnya.

"Seru?" tanyanya.

Gadis itu mengangguk masih dengan senyumannya. "Yup! Hari ini gue seneng banget. Thanks ya udah luangin waktu buat ngajak jalan gue."

"Sure. Lo cewek gue sekarang. Jadi udah kewajiban gue buat bikin lo bahagia," ucapnya seraya mengecup singkat bibir Gabby.

Mereka melangkah keluar dari gedung mall. Fenly --kekasih Gabby-- melirik arlojinya, jarum jam sudah hampir menunjukkan pukul 7 malam.

"Mau langsung pulang? Atau makan dulu? Laper nggak?"

Wajah Gabby terlihat berpikir. "Laper sih, tapi gue harus balik sekarang sebelum Bunda gue khawatir."

Fenly mengangguk. "Ya udah kalo gitu. Gue anter, ya?"

"Nggak usah. Gue bisa pulang sendiri kok. Nanti gue naik taksi aja."

"Sel ... mana mungkin gue biarin lo balik sendiri? Lo cewek gue loh."

Gabby menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Kapan-kapan aja, ya? See u." Setelah mengecup bibir kekasihnya, Gabby langsung berlari kecil menuju pangkalan taksi yang berada di halaman mall.

Melihat penolakan Gabby, Fenly hanya bisa mengembuskan napasnya kasar. Ini adalah minggu pertama mereka berpacaran. Tapi Gabby selalu saja menolak tawarannya.

Di lain tempat; setelah menyebutkan alamat rumahnya, Gabby langsung menyamankan posisi duduknya. Jujur saja, sejak jalan bersama Fenly tadi ponselnya tak berhenti bergetar. Sengaja ia aktifkan mode getar, takut jika sound on akan mengganggu kencannya.

Bahkan ketika ia sudah di dalam taksi, ponselnya menyala dan menampilkan nama Zavier sebagai sang penelepon. Tapi ketika Gabby akan menggeser ikon hijau, telepon itu terputus. Gabby mencoba menghubungi kembali, namun tak ada jawaban. Setelah itu ia mengendikkan bahunya tak acuh. Zavier memang sering merecokinya.

"Sudah sampai, Mbak," ucap sang sopir taksi begitu mobil berwarna biru muda itu sudah berhenti di depan pagar mewah bercat hitam.

"Oh iya, Pak. Ini uangnya. Terima kasih ya." Setelah memberikan 2 lembar uang berwarna merah itu, Gabby langsung turun dari taksi.

Gabby memanggil satpam rumahnya untuk membukakan gerbang. Bertepatan dengan dirinya yang baru masuk, di arah yang berlawanan ada sosok yang berdiri menatapnya.

"Gab?" panggil orang itu seraya menghampiri Gabby dengan cepat.

Senyum Gabby terukir. "Mami? Ada apa, Mam? Tumben ke rumah jam segini."

"Mami ada perlu sama kamu."

"Perlu apa, Mam?"

"Zavier ada hubungi kamu nggak? Dari sore dia nggak hubungi Mami. Mami telepon juga nggak dijawab," ucapnya dengan nada khawatir.

Memang Zavier itu tidak pernah tak menjawab telepon Herma --Maminya--. Kalau pun tak menjawab, biasanya lelaki itu sakit atau terjadi sesuatu padanya.

"Tadi Zav telepon aku, Mam. Tapi pas aku telepon balik enggak diangkat."

"Tuh kan. Boleh Mami minta tolong buat kamu pergi ke appart nya? Tadinya Mami mau ke sana, tapi Zira nggak bisa ditinggal. Ini juga Mami nyamperin kamu mumpung Zira tidur." Zira yang Herma sebutkan itu adalah putri bungsunya yang baru berusia 1 tahun.

Gabby mengangguk. "Ya udah aku cek Zavier di appart nya, ya?"

"Makasih banyak ya, Gab."

"Iya, Mam. Minta tolong bilangin ke Bunda ya kalo aku mau ke appart Zavier dulu."

Deapest Fall [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang