London, United Kingdom, 24th July 2022
Gue terbangun dengan megap-megap, nafas gue tidak beraturan, jantung gue berdebar tidak karuan, kepala gue terasa sangat berat sembari suara-suara yang ada di telinga gue memekik teriak bahwa gue tidak pantas untuk menjalani hubungan yang baru. Gimana kalau nanti gue disakitin lagi? Gimana kalau nanti gue diselingkuhin lagi? Gimana kalau nanti gue bakal jadi beban bagi seseorang? Gimana kalau nanti gue malu-maluin sampe pada akhirnya pacar gue gak mau ngenalin gue ke temen-temennya karena fisik gue yang jelek? Gimana kalau nantinya gue gak akan dibanggain sama dia? Gimana kalau nantinya gue seakan-akan menjadi aib dia yang harus dia tutup-tutupi?
Seluruh kilasan balik dalam hitam putih kemudian diproyeksikan di dalam otak gue, seolah-olah gue masih bisa merasakan dengan jelas bagaimana rasanya berada di dalam skenario itu. Gue masih mengingat dengan jelas bagaimana gue merasa gue gak punya harga diri lagi, harga diri gue bergantung dengan bagaimana cara cowok yang saat itu adalah pacar gue memperlakukan gue.
Gue masih ingat betul bagaimana cowok itu mencium cewek lain tepat di hadapan gue. Gue masih ingat betul bagaimana cowok itu kerap kali mengirimkan pesan-pesan gatel kepada cewek lain melalui Instagram-nya – atau bahkan gue masih mengingat bagaimana ia masih bermain dating app ketika pacaran sama gue.
Seharusnya gue mendengarkan dia. Seharusnya gue gak nerima dia karena dia adalah cowok brengsek yang gak pantes jadi pacar pertama gue.
Sekarang luka yang gue kira sudah tertutup itu kembali menganga, seakan-akan luka yang masih terkoyak itu ditaburi oleh garam secara sengaja untuk mengetahui apakah masih sakit atau tidak; jelas, rasanya sangat perih sampai rasanya gue mau mati aja. Gue bahkan gak tau apakah ada pain killer yang bisa mematikan rasa sakit ini.
"Avril, Avril! Are you okay?" panggil seseorang sambil memeluk gue dengan erat, gue menangis dengan histeris; perasaan itu lagi-lagi kembali ketika gue berusaha sayang sama orang lain. Kenapa perasaan ini gak pernah hilang?
Gue marah, marah banget sama diri gue sendiri yang masih belum bisa memaafkan keadaan yang telah terjadi pada diri gue bertahun-tahun silam. Hubungan itu udah selesai dari 2016 dan ini 2022, sudah enam tahun berjalan dan kenapa gue gak bisa lupa?
Kali ini air mata semakin deras membasahi pipi gue, gue mengerang mengingat betapa sakitnya perasaan itu. Ya Tuhan, gue cuma pengen perasaan ini hilang. Tolong, tolong! Gue pengen perasaan ini hilang, gue takut. Gue takut terhadap apa yang akan terjadi pada gue nantinya.
Gue sadar betul bahwa sekarang seseorang tengah memeluk gue, tapi gue tidak bisa berkata apa-apa selain menangis histeris, telinga gue berdengung. Gue masih sadar bahwa orang itu adalah Niall. Gue mencengkram lengan Niall sembari gue menangis terisak-isak. Gue benci perasaan ini, why can't this just go away?
"Avril, listen to me," panggil Niall sambil menepuk pipi gue berkali-kali. "Avril, you're alright, you're alright," ucapnya lagi sambil berkali-kali mengecup kening gue.
Gue berusaha untuk kembali sadar dan keluar dari seluruh pikiran-pikiran gue yang sudah berterbangan jauh entah kemana, benar-benar sudah pergi kemana-mana dan gue bahkan gak bisa lagi menyentuh tanah. Gue terlalu jauh untuk menyentuh tanah, gue terbang terlalu jauh; pikiran-pikiran mengganggu itu masih ada di sana, masih membawa gue terbang dan berusaha membunuh gue perlahan.
Gimana kalau sebenernya dia bener? Gimana kalau sebenernya gue emang lonte karena temenan sama banyak cowok?
Gimana kalau sebenernya gue emang gak sepinter itu?
Gimana kalau sebenernya gue emang gak sebaik itu?
Gimana kalau sebenernya gue emang cuma dianggep one night stand sama Niall?
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] how did we end up here ;; nh
FanfictionIn which Avril and Niall have no luck, they end up falling so hard to each other. Not to forget, they tend to spend a lot of time since Louis seems a little bit busy before and after breaking up with Ele. This is how they ended up here; how Avril b...