19 » Retrograde

62 3 1
                                    

New York City, New York, United States of America, 12th September 2022

Tidak ada yang lebih awkward daripada duduk bersebelahan di sebuah sofa berwarna putih yang cukup besar, mata yang saling memandang lurus ke depan – ke arah tv –, bahu yang saling bersentuhan – menggambarkan sedekat apa kita –, tetapi tidak ada satu patah kata pun yang terucap, bahkan mulut yang terbuka pun tidak ada. Mungkin, kepala kami masih saling disibukkan oleh pikiran masing-masing yang entah arahnya kemana.

Apa yang akan terjadi setelah ini?

Gue pun tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena gue sejujurnya juga gak mau pacaran sama orang yang ada di sebelah gue. Lagian, apa yang gue harapkan? Dipermainkan sama seperti dia mempermainkan cewek-cewek yang pernah ada di hidupnya? Atau menjadi bagian dari liriknya yang berbunyi: "I'll kiss all the women, get punched in the head" atau "Now I'm looking at the eyes of a stranger, but why do I think of you?".

Pinggang gue bergeser, sedikit menjauh sehingga bahu kita sekarang tidak lagi bersentuhan, badan gue membungkuk dan jemari-jemari gue saling menggenggam satu sama lain berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang jelek. Jujur, gue gak tau apa yang membuat kita berdua diem kayak gini. Aneh banget, biasanya Niall bakalan ngejailin gue atau sesimpel dia cengin gue karena suara gue jelek banget dan gue dikatain buta nada sama dia. Kurang ajar banget emag. But that's how our frienship works.

Tapi sekarang rasanya beda banget. Baik gue dan dia sama-sama terdiam karena sebuah permasalahan yang gue mulai. Gue menarik bahu gue ke belakang, membiarkan leher gue beristirahat di bagian atas sofa yang cukup empuk.

"You look pale," komentar Niall tanpa menolehkan wajahnya ke arah gue, gue dapat merasakannya bahwa dia masih melihat ke arah tv dengan tatapan kosong. Kalimat tadi adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya setelah duduk di sofa ini selama kurang lebih sepuluh menit. Jarum pada jam berwarna coklat kayu yang berada di atas tv gue awalnya menunjukkan pukul 9.25 dan sekarang ia berputar dan menunjukkan pukul 9.37.

Gue menoleh dan gerakkan leher gue kali ini diikuti oleh Niall, ia ikut menoleh dan membuat mata gue bertemu dengan iris matanya yang berwarna biru samudera di siang hari itu. Mungkin kalo gue nyelam di sana pas lagi summer asik kali ya? Gak deh. Oke. Gak lucu. "I'm good," jawab gue seadanya. Jujur, energi gue udah abis banget untuk berinteraksi. Mungkin lebih tepatnya gue masih sakit hati. Foto tadi pagi terus terngiang-ngiang di dalam otak gue.

"You sure?" tanya Niall dengan cemas sambil melihat muka gue. "You don't look good."

"I do," jawab gue. Ya jelas banget gue gak baik-baik aja, gue belum makan dari kemarin, bahkan menyentuh sereal yang biasa gue makan untuk sarapan aja enggak. Bukannya makan, gue malah nangis seharian. Ditambah lagi pagi ini gue mendapatkan foto yang cukup membuat hati gue ketar-ketir.

"Ave," panggil Niall dengan lirih, gue gak tau ini perasaan gue doang atau suaranya bener-bener parau ketika memanggil nama gue dengan nickname yang ia berikan itu.

Gila, kalau gue gak ngobrol lagi sama Niall mungkin gue akan membenci nama Ave itu. "Yeah?"

"I apologize for all the words that I have thrown at you yesterday," kata Niall. "I'm a bad communicator in a relationship – any kind of relationship."

Gue mengangguk. "I'm sorry for ruining our morning as well."

"You don't, you deserve to know what is my intention towards you so that all of the stuff we do won't confuse you anymore."

Gue gak sanggup tentang kemana pembicaraan ini akan berakhir. "I'm in no rush about that, though. I sounded desperate to be your girlfriend yesterday," kata gue sambil terkekeh pelan.

[3] how did we end up here ;; nhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang