55 » Glimpse of Light

23 0 0
                                        

Avril

Los Angeles, United States of America, 19 May 2024

Kalau boleh jujur, gue enggak tau apa yang harus gue rasakan sekarang.

Haruskah gue sedih karena Niall, tunangan gue yang juga merupakan celebrity crush gue sejak SMA, membohongi gue atas apa yang udah terjadi sama dia dan mantannya di pagi itu di Dublin tepat sebelum mengajak gue pergi ke Mulinggar dan melamar gue di sana? Astaga. Kenapa bisa? Padahal dia tinggal jujur sama gue. Dia pun pernah jujur ketika dia belum bisa sepenuhnya pergi dari Anne dan gue menjawab gue akan menunggunya. Gue pun membuktikan hal tersebut dengan menerima lamarannya saat itu.

Atau gue harus sedih karena kehilangan sahabat gue sejak SMA, yang pada masanya sangat teramat it girl, yang menemani gue di kala gue masih belum menjadi siapa-siapa, tapi ternyata dia pernah tidur sama tunangan gue dan ikut ngebohongin gue juga bahwa di antara mereka enggak pernah terjadi apa-apa? Dan ketika gue mengetahui fakta tersebut, dia langsung memutarkan semuanya menjadi salah gue; karena gue terlalu memikirkan diri gue sendiri.

Sejujurnya, itu yang membuat gue terluka sangat dalam. Gue enggak pernah mengerti kenapa dua orang itu harus bohong di dalam alur cerita ini. Pun gue sama sekali enggak menyangka bahwa mereka berprasangka bahwa gue akan melakukan hal yang sebenernya enggak akan gue lakukan. Entah. Tapi gue rasa, kalau aja seandainya mereka jujur tentang apa yang udah terjadi, mungkin gue akan dengan lapang dada menerimanya.

Udah dua minggu.

Dua minggu gue nangisin pernikahan gue dan Niall yang akan batal ini seperti orang gila.

Dua minggu gue berusaha untuk enggak melihat ke sosial media yang ramai dengan gosip antara gue dan Niall.

Dua minggu gue pindah ke apartemen sementara dan berharap tidak ada satu pun orang yang bisa menemukan gue di sini. Setidaknya Niall dan teman-temannya tidak mengetahui keberadaan gue. Well, setidaknya uang gue dari hasil model sudah cukup untuk membayar apartemen yang lumayan oke di LA.

Dua minggu gue matiin hape utama gue dan beli hape baru untuk urusan pekerjaan aja.

Dua minggu gue kembali meminum obat-obatan dari psikiater.

Dua minggu gue enggak ngobrol sama temen-temen Niall, termasuk Louis. Biar gimana pun, dia tetep temennya Niall dan gue bener-bener muak banget sama semua kebohongan yang udah dia kasih di depan muka gue. Banyak banget kebohongannya. Dia tau banget gue benci dan sensitif sama orang yang namanya Anne Smith, kenapa dia enggak bener-bener kelarin hubungannya sebelum dia berani ngelamar gue?

Ribuan pertanyaan terus menghujani kepala gue setiap detik. Mereka bergema, saling menyaut satu sama lain. Membuat kepala gue sakit. Telinga gue pengang.

Terkadang di setiap pagi setelah gue membuka mata, gue masih sering ngecek apakah ada seorang cowok berambut brunette yang tidur di sebelah gue, yang memeluk gue dengan dengkuran kecilnya itu. Enggak mau munafik, tapi gue kangen tidur di pelukannya. Gue kangen merasakan kulitnya yang tidak terbungkus sehelai kainpun, menjalarkan rasa panas ke tubuh gue ketika kami bersentuhan setiap malam dan terlelap bersama. Dan ketika pagi tiba, hal pertama yang gue lihat adalah mata birunya itu, yang warnanya masih bisa gue liat samar-samar di bawah matahari pagi yang masuk melalui celah-celah gorden kamar yang masih tertutup.

Sialan.

Gue bener-bener dihantui oleh bayang-bayangnya dan gue sangat membenci hal itu.

Gue sangat membenci kebohongan.

Terkadang, di setiap pagi atau jam-jam tengah malam setelah gue tidak beraktivitas lagi, ada perasaan gue untuk membuka hape gue, penasaran terhadap apa yang Louis atau Harry atau bahkan... Liam kirimkan terhadap gue. Apakah mereka nelfon gue? Apakah mereka ngirimin banyak chat ke gue karena Niall meminta mereka? Atau justru mereka ngerasa masa bodo?

[3] how did we end up here ;; nhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang