52 » Heartbreak Weather

17 0 0
                                        

Alvaro.

Calum.

Niall.

Tai.

Semua cowok sama aja.

Rasanya hati gue serasa diremas, tubuh gue langsung kaku. Layar iPhone gue masih menyala di genggaman, menampilkan judul berita yang seakan menampar gue dengan keras; ternyata Niall gak beda dari Calum atau Alvaro.

Kenapa sih harus bohongin gue?

Kenapa sih dia harus cium dan peluk cewek itu di hari ketika dia ngajak gue ke Mulinggar?

Kenapa sih dia harus melakukan itu di sehari sebelum dia ngelamar gue?

Kenapa?

Goodbye kiss, kah?

Hati gue remuk. Suara notifikasi sekarang berdentingan dari iPhone gue, tapi gue udah enggak pengen ngeliat. Sementara itu, Diana cuma bisa peluk gue yang lagi nangis, ngeraung-raung, bertanya-tanya kenapa sih semua ini harus terjadi di gue?

Sebentar lagi gue nikah. 6 bulan lagi gue nikah.

Semua mimpi tentang gaun putih, undangan cantik, venue yang baru aja gue DP, honeymoon untuk berburu aurora di Rusia... mendadak hancur berantakkan.

6 bulan lagi harusnya gue berdiri di altar, tersenyum di depan semua orang, yakin sama pilihan hati gue untuk mendapatkan nama belakang 'Horan'. Tapi sekarang? Gue bahkan gak yakin sama apapun. Rasanya semua janji-janji dia cuma suara kosong yang diputar ulang di otak gue, cuma bikin gue makin muak.

Diana masih di samping gue, mengusap punggung gue. Tapi luka yang ditorehkan oleh Niall begitu dalam, gue nangis sampai suara gue pecah. Terlintas di dalam benak gue gue masih berharap Niall tiba-tiba ada di sini, berlutut, meminta maaf, dan ngasih alesan yang masuk akal kenapa dia melakukan itu.

Tapi rasanya udah terlalu jelas.

Dia gak akan pernah lupa sama cinta pertamanya.

Yang ada, wajah Anne Smith terus melintas di pikiran gue. Pelukan yang harusnya cuma punya gue, dicuri di parkiran entah di mana. Ciuman yang harusnya sakral, malah dibagi sama orang yang namanya sudah harus dia buang jauh-jauh.

"Kenapa sih, Di? Kenapa? Kenapa harus begini? Gue udah DP, Di. Gue udah urusin semuanya, Di, gue mau gila," tangis gue terisak-isak. Tangan gue mencengkram celana pendek Diana yang kini udah dibasahi oleh air mata dan ingus gue. "Di... kenapa dia tega..." lirih gue sambil memukul keras kepala gue, berharap bahwa ini cuma mimpi gue doang dan gue cepet-cepet bangun.

Tapi enggak, gue enggak mimpi.

Ini tuh kenyataan pahit yang harus gue terima.

"Vril..." lirih Diana, tangannya sekarang memegang erat tangan gue, tidak membiarkan gue untuk menyakiti diri gue lagi. Berusaha untuk membuat gue berhenti mukulin kepala gue.

Tapi gue terisak lebih keras lagi. Gue teriak sekenceng mungkin. "It hurts so bad... I love him so much it hurts so bad, Di. I can't..."

Suara gue pecah, parau, tenggorokkan gue kebakar sama semua tangisan yang keluar tanpa henti. Dada gue sakit, kayak ada batu besar yang numpuk di atasnya. Gue enggak bisa nafas normal, enggak bisa mikir jernih. Yang ada cuma bayangan Niall; senyum itu, tatapan itu, dan ciuman itu. Bukan ke gue, tapi ke Anne. ANNE.

Diana enggak ngelepasin gue, malah makin memeluk gue dengan erat. "Vril, please... look at me," suaranya bergetar, matanya juga berkata-kata.

Tapi gue enggak mampu untuk melihat mata Diana. Rasanya terlalu sakit untuk mengingat dunia masih berjalan ketika sekarang dunia gue rasanya runtuh. Kiamat.

[3] how did we end up here ;; nhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang