"I could barely understand you, I could barely understand your fucking intention."
Itu adalah kalimat pertama yang terlontar dari mulut gue tepat ketika Niall menampakan batang hidungnya di muka pintu tenda, dengan kondisi wajah yang masih dipolesi oleh make up.
Si pemilik tubuh hanya terdiam, melihat gue dengan tatapan yang enggak akan pernah gue deskripsikan. Selama delapan tahun ini, gue tumbuh bersama dia; gue mengenalnya sejak gue remaja hingga dewasa, sejak gue berpikir gue mengenalnya hingga pada akhirnya gue benar-benar mengenalnya.
Tapi rasanya, gue gak akan pernah kenal sama Niall.
Gue enggak pernah tau apa mau dia.
Dulu gue berpikir, that would be nice if I could just date him. Gue enggak menyangka bahwa menyukai Niall akan membuat semuanya rumit; gue enggak pernah menyangka bahwa gue akan menyukainya dalam hal romantis.
"Remember when we kissed?" kaki Niall mulai menapak ke depan, perlahan mendekati gue yang sedang duduk di pinggiran kasur. "Remember that night after my birthday party?" dia kemudian duduk di sebelah gue, nadanya begitu rendah, seperti ada sesuatu yang mengganjal yang ingin ia ungkapkan ke gue.
Gue tertegun. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut gue. Sementara Niall duduk di samping gue, tubuhnya miring sedikit agar ia dapat menatap gue, tapi saat ini gue sedang menatap lurus ke arah pintu yang masih terbuka, menampakkan pepohonan rindang yang terbalut hitamnya gelap malam.
"What do you want?" tanya Niall, membalikkan pernyataan tersebut menjadi sebuah pertanyaan ke gue yang sebenarnya dia pun udah tau jawabannya apa. Nada suaranya sekarang sedikit lebih meninggi, entah apa yang ia maksud dengan intonasi tersebut.
Gue sama sekali tidak berkutik, mulut gue terkatup keras, enggan untuk berbicara apapun.
Tapi sekarang tangannya sudah berani memegang bahu gue, dengan tenaganya yang jauh lebih besar itu, dia berhasil memaksa gue untuk melihat ke arahnya. "Talk to me, Avril, talk to me."
"Do not touch me," pada akhirnya gue membuka mulut. "You told me, Niall, what do you want?"
Dia tergelak. "Isn't it pretty clear the one who wants us to be best friends was you? Remember when you were drunk you said that we are super duper mega best friend once I asked you what are we?"
Kali ini gue yang tergelak. "Isn't it pretty clear that you're still in love with Anne?" tanya gue kembali. "You could barely say a word about you moving on and what do you expect from me? Me being okay with you not moving on from her and proceed to be in a fucking relationship with the man who can't be moved? What a pity."
Niall menghembuskan nafasnya gusar sebelum akhirnya ia mengacak-acak rambutnya. "We have never seriously talked about this!"
"And? Is it giving you privilege to give me a mixed signal? Or is it just you being that 'I'll-kiss-all-the-women-got-punched-in-the-head'? Fuck you. Fuck Anne. Go fuck everyone but not me, Mr. Horan."
"Fuck," umpatnya. "can you just keep it chill while we talk about this?"
"Chill?" ulang gue sambil tertawa dan kali ini, biar lebih dramatis, gue berdiri dan menjauh dari tubuh Niall. Menandakan bahwa gue bener-bener udah muak. "Niall, you fucking kiss me, you fucking cuddle me, we fucking sleep together. Does that ever even mean anything to you? Was I ever enough? Was I only enough to you because it was convenient for you?"
"Ave," lirih Niall, nada bicaranya kali ini menurun. Niall membawa tubuhnya untuk berdiri, memegang tangan gue dengan perlahan. "I could barely understand myself too."

KAMU SEDANG MEMBACA
[3] how did we end up here ;; nh
FanfictionIn which Avril and Niall have no luck, they end up falling so hard to each other. Not to forget, they tend to spend a lot of time since Louis seems a little bit busy before and after breaking up with Ele. This is how they ended up here; how Avril b...