Dubai, United Arab Emirates 19th November 2022
Tidak ada hal yang lebih indah daripada seseorang mengingat hal-hal kecil yang gue suka. Keindahan lampu kota pada malam hari selalu menjadi hal yang paling gue suka sejak gue masih kecil. Gue inget banget gue harus merengek tiap malem minggu ke bokap untuk melihat city lights tapi bokap sering banget gak bisa karena dia sibuk banget sama kerjaannya.
Tapi city lights adalah hal yang paling gue sukain hingga saat ini. Menurut gue, kedipan cahaya lampu dari gedung pencakar langit itu sangat menenangkan; mengetahui bahwa masih ada cahaya yang menerangi gelapnya malam hari, mengingatkan gue bahwa meskipun sesuatu terlihat gelap, belum tentu tidak ada cara untuk membuatnya menjadi terang. City lights adalah salah satu contohnya.
Maksud gue, gue melihat cara hidup tuh kayak malem hari. Meskipun lo tau dunia lo gelap banget, tapi kalau lo gak ada effort untuk nyalain lampu ya tetep aja dunia lo gelap.
Duh gitu deh. Ngerti gak sih gue ngomong apaan?
"Thank you for taking me here," kata gue pada Niall ketika kita sedang diterjang angin dan sedikit percikan air karena sedang berada di bagian depan kapal pesiar, menikmati pemandangan di sekitar Dubai Marina.
Niall berdiri di sebelah gue, dia yang lebih tinggi sedikit daripada gue menatap ke arah gue sembari gue menatapnya kembali. Kedua sudut bibirnya terangkat sembari ia menegak wine yang berada di tangan kirinya. Kali ini, tangan kanannya merangkul bahu gue, membuat jarak kami sedikit lebih dekat. "I know how much you love city lights," katanya.
Gue tersenyum. Aduh gue pengen meleleh saat ini juga, tapi Niall adalah temen gue. Gak tau deh, hubungan kita udah gak jelas banget kocak. "That's cute."
"I know you're freaking out inside because your idol remembers your favorite thing," katanya lagi dengan pede, membuat suasana yang tadinya romantis berubah jadi suasana yang ngeselin.
Gue memutarkan bola mata gue dan memasang ekspresi wajah cemberut, tangan gue udah siap-siap buat nabok lengan Niall tapi dia malah menepisnya dan memegang tangan gue. "I hate you, you bitch."
Niall ketawa kencang sambi memegang tangan gue dengan lembut, menghalangi gue untuk tidak memukulnya. "I won't let you abuse me, you cow."
"Ew cow," komentar gue sambil menyerngitkan dahi. "cow's face is so ugly, I hate it."
Niall tertawa dan menaikkan alisnya. "But you love to eat its meat, don't you?"
"I mean, yes, but I hate its face but the meat tastes so good."
"How do you tell an animal's face is either ugly or beautiful? I don't get it."
"Just – look at this face," kata gue kemudian mencari muka sapi di Safari dan menunjukkannya ke arah Niall.
Gue bergidik ngeri ketika melihat sapi yang ada di layar gue, masih terbayang-bayang dengan jelas ketika gue masih berumur lima tahun apa yang terjadi pada saat lebaran idul adha membuat gue bergidik ngeri ketika mengingat pembunuhan brutal terhadap sapi itu.
Ketika Niall melihat wajah sapi yang gue tunjukkan melalui Safari di hape gue, Niall malah ketawa. "She looks so pretty."
"You know what, there's a story behind why do I hate the cow's face so bad," kata gue.
"Tell me."
Niall melepaskan tangan gue yang tadi ia pegang agar gue tidak memukulnya, sementara itu gue mengambil gelas winedari tangan Niall dan meminumnya satu teguk. "Well, long story short Indonesia's majority religion is Islam."
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] how did we end up here ;; nh
FanficIn which Avril and Niall have no luck, they end up falling so hard to each other. Not to forget, they tend to spend a lot of time since Louis seems a little bit busy before and after breaking up with Ele. This is how they ended up here; how Avril b...