[ Epilog ] Into the Freedom

574 34 0
                                    

Perempuan pirang itu diam seperti biasa. Teh yang dihidangkan di hadapannya pun sudah tidak lagi mengepulkan asap. Berbeda dengan si [h/c] yang secara tiba-tiba menyambar teh di hadapan si pirang.

"Oh, maaf, aku lupa jika hantu tidak bisa minum teh." Ujarnya sarkas dan menenggak teh yang tadi tersaji di hadapan si pirang yang disebutnya sebagai Hantu.

"[Y/n]!"

Si perempuan yang disebut namanya ini hampir saja menyemburkan teh yang tengah ditenggaknya akibat lengkingan suara tadi. Berikut dengan suara pintu reyot rumahnya yang dibanting keras.

"Hei! Aku baru saja memperbaikinya! jangan menendangnya, sialan!" Yang bersurai [h/c] menatap nyalang. Persetan dengan titel si pendobrak yang kini menjabat sebagai Ratu di permukaan sana.

Menghiraukan raut kesal sepupunya itu, Historia langsung masuk dan menghambur. Ia memeluk perempuan itu sambil berkali-kali mengucapkan syukur karena orang itu masih bernafas dengan anggota tubuh yang lengkap.

Pelukan itu ia lepas, "Aku mendengar para parlemen sudah mengetahui tempat ini. Sebaiknya kau segera pergi—"

"Aku tahu, mereka sudah datang menyapaku tadi." [Y/n] berucap santai.

Sang Ratu kebingungan. "Apa maksudmu? Dimana mereka sekarang?" Tanya itu dijawab dengan gestur sederhana dari [Y/n] yang menunjuk ke arah pintu yang tertutup di sisi kanan ruangan.

Historia mengerut, "Di.... toilet?"

"Ya... Seharusnya badannya masih di toilet...."

"Apa maksudmu dengan 'badannya'?"

Keduanya saling bertatapan, hingga akhirnya [Y/n] kembali mengarahkan telunjuknya. Kali ini diarahkan ke lantai.

"Badannya di toilet, tapi kepalanya ada di sana. Syukurlah kau tidak menendangnya tadi."

Benar saja, Historia langsung berteriak histeris ketika mendapati sebuah kepala tergeletak di dekat kakinya. "Kau berisik." [Y/n] bersungut lalu memungut kepala tersebut tanpa ada rasa jijik sedikitpun.

"Apa yang kau lakukan?!" Historia masih berwajah pucat, berucap setengah berteriak ke arah sepupunya itu.

Yang bersurai [h/c] tertawa pelan. "Meneliti otak pejabat, memangnya apa lagi?" Jawabnya singkat dan meletakkan kepala itu di samping dua cangkir teh di atas meja tamu.

Membiarkan Historia berdiri membeku, [Y/n] dengan santai melemparkan tubuh mungilnya ke atas sofa yang sudah tidak begitu empuk. Terbukti dari ringisan pelan yang sepintas keluar dari bibirnya.

"Kau membunuh mereka? Dimana sisanya?"

"Kabur...? Entahlah, jika mereka besok datang mengadu padamu berarti mereka memang kabur." [Y/n] berujar santai.

Historia menelan ludahnya, "Jika tidak?"

"Berarti mereka tersesat."

Sang ratu bertanya-tanya, apa yang dimaksud [Y/n] dengan "tersesat". Tapi sekali lagi, ia memilih untuk tidak peduli dan membujuk sepupunya itu agar segera pindah dari rumah kumuh ini.

Yang disuruh pindah merengut, "Kemana lagi aku harus pindah?" Gerutunya. Bukan tanpa alasan, dari pemukiman kumuh di kawasan terluar Siganshina hingga kini di kegelapan ibu kota bawah tanah. Hampir semua tempat sudah ia datangi demi pelariannya ini.

"Sepertinya kau yang bermasalah, Historia. Jika saja kau bisa menjaga mulutmu, seharusnya tidak akan ada yang bisa menemukanku di sini!" Si surai [h/c] mengusap wajahnya kasar. Tentu saja ia kesal, belum genap sebulan ia tinggal di tempat ini. Dan sekarang, Si Ratu pirang ini malah menyuruhnya pindah lagi.

Triangle Love? No, This Is Square! [Levi x Reader x Eren x Erwin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang