Hancur (5)

423 51 18
                                    

____

Jangan lupa ngaji dan shalawat Nabi 🤍
Tetap jaga iman dan imun 🤍

Happy Reading!

***

Ardan yang baru saja keluar dari rumah langsung bergegas menghampiri mobil yang baru saja mengantar Naya. Raga hanya membuka jendela mobil, tidak berniat untuk turun. Ardan pun menyerukan kata terima kasih kepada Raga.

"Ardan baru aja mau jemput Kak Naya."

"Hehehe, untung aja Ardan belum jalan. Biasanya, jemput Kakak cepat ini tumben lama," kata Naya sambil menggandeng tangan Ardan memasuki rumah.

"Tadi, disuruh mama beli gas dulu, Kak."

"Oh, gitu," ujar Naya sambil manggut-manggut.

"Kok Kak Naya bisa sama Bang Raga sih? Bukannya, Kak Naya sering ngata-ngatain Bang Raga itu blasteran beruang kutub, tapi ini kok Bang Raga bisa anter Kakak?" tanya Ardan penasaran.

"Hmm, nggak tahu tuh. Aneh banget, masa dia maksa nganterin kakak, Dek."

"Bang Raga maksa nganterin Kakak pulang?" tanya Ardan dengan alis saling bertautan.

"Iya!"

"Kok Ardan nggak percaya, ya. Atau jangan-jangan Kak Naya yang maksa Bang Raga buat anterin Kakak."

"Dih, kok gitu sih? Jelas-jelas Raga yang maksa buat anterin Kakak!"

Ardan tertawa mendengar seruan kesal dari kakak kandungnya tersebut. Kemudian, Ardan merangkul bahu Naya.

"Udah, ih jangan cemberut. Iya deh, Ardan percaya kalau Bang Raga yang maksa banget nganterin kakaknya Ardan yang cantik ini," ucap Ardan sambil mencubit pipi Naya dengan gemas.

"Jangan dicubit pipinya. Sakit, Ardan!"

Ardan tertawa sembari melarikan diri menghindari amukan dari Naya. Naya menghela napas kasar ketika Ardan sudah menghilang dari pandangannya.

"Sorry, Ga gue bohong. Soalnya, gue gengsi lah kalau bilang ke Ardan yang sejujurnya," ucap Naya di dalam hati lalu melanjutkan langkahnya ke kamar untuk bersih-bersih.

***
Sehabis salat Isya, Naya memutuskan untuk ke rumah sahabatnya dikarenakan Naya akan memberikan kado spesial kepada Adhisty. Naya sudah rapi dengan hijabnya lalu ia berjalan ke ruang tengah untuk berpamitan.

"Yakin, mau pergi sendiri aja, Nay?" tanya Farah, ibu dari Naya.

"Iya, Mama. Lagian, rumah Khafa itukan deket cuma beda blok doang. Naya juga udah sering ke sana."

"Ardan anterin aja gimana?" tanya Ardan yang baru saja dari dapur.

"No! Tenang aja, Kakak berani sendiri kok, Dek."

"Yaudah, nanti kalau udah sampai kabarin, ya," ucap Ardan membuat Naya tersenyum.

"Iya, Dedek Ardan. Siap!" jawab Naya sambil hormat membuat Ardan tertawa kecil.

"Ya udah, Naya pamit, ya, Ma," ucap Naya sambil menyalami tangan ibunya.

"Hati-hati, Kak."

"Siap!"

Akhirnya, Naya melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata untuk menuju ke rumah Khafa. Tak lama, gadis itu pun sudah tiba di rumah sahabatnya yang langsung disambut dengan baik oleh satpam, penjaga rumah Khafa. Naya memasuki pekarangan rumah lalu meletakkan motornya di tempat yang aman.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Naya memasuki rumah setelah dipersilakan masuk oleh Bi Endah, ART di rumah Khafa. Naya pun mengajak ngobrol sebentar Bi Endah lalu ia pun berjalan ke ruang keluarga di mana Khafa berada.

"Woi!"

"Apaan sih lo?" tanya Khafa sambil melirik sahabatnya dengan malas.

"Dih, sensi amat lo. Keponakan gue mana, Fa?" tanya Naya sambil duduk di samping Khafa.

"Tidur."

"Lah, cepet amat."

"Iya, kecapekan nangis mungkin. Makanya, langsung tidur," ucap Khafa sambil mengganti channel TV.

"Heh! Lo apain ponakan gue sampai nangis?"

"Nggak gue apa-apain," jawab Khafa sambil merotasikan bola mata malas.

"Itu kok nangis?"

"Adhisty kangen sama papanya. Habis telpon papanya langsung anteng deh. Ya wajarlah, anak segitu pasti lagi pengen dimanja sama papanya, 'kan?"

"Oalah, kangen ternyata. Iya sih, wajar aja Adhisty sampai nangis kayak gitu."

"Oiya, Fa, gue lihat-lihat emang sih Dhisty itu mirip banget sama Rafa. Fotocopy-an Rafa banget," ucap Naya membuat Khafa cemberut.

"Iya, muka Dhisty sama sekali nggak mirip gue. Padahal, gue yang ngandung Dhisty sembilan bulan, tapi gue nggak kebagian apa-apa."

"Hahaha, tenang-tenang, Fa. Katanya sih, kalau anak cewek itu lebih dominan mirip sama papanya. Nah, kalau anak cowok lebih dominan mirip sama mamanya. Ya, lo harus segera kasih adek cowok buat Dhisty biar anak lo yang cowok ini mirip sama lo," ujar Naya dengan antusias.

Khafa yang mendengar itu langsung menjitak kepala sahabatnya tersebut.

"Kok lo jitak gue sih?"

"Gue belum siap punya anak lagi. Tunggu, Dhisty agak besaran lah baru bisa gue pikirin untuk punya anak lagi. Besarin anak itu nggak gampang, Nay. Gue mau nyiapin mental Dhisty untuk menjadi seorang kakak. Iya sih, ini semua rencana gue. Gue nggak tahu ke depannya rencana Allah gimana, tapi gue yakin rencana Allah lebih indah."

Mendengar hal tersebut membuat Naya tertegun. Memang, mengurus anak itu gampang-gampang susah. Makanya, Khafa memilih untuk menunda dulu untuk memberikan Adhisty seorang adik. Naya langsung menepuk bahu Khafa dengan bangga.

"Gue kagum sama cara pikir lo, Fa."

***
Raga yang baru saja selesai mengajar membuat lelaki itu langsung ke parkiran untuk pergi ke kafe. Raga mengendarai mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Sebenarnya, Raga sudah berniat resign menjadi asisten dosen, tetapi lelaki itu tidak enak dengan dosennya tersebut yang sangat berjasa padanya.

Ketika mengendarai mobilnya, pikiran Raga terlempar pada hari kemarin yang di mana Ameli kembali muncul di dalam hidupnya. Raga mencengkeram stir kemudian dengan keras. Ia juga merasakan dadanya sesak ketika penghianatan Amelia terlintas di dalam memorinya.

"Sial!"

Raga membanting stirnya ke kiri. Beruntung, jalanan yang ia lalui tersebut lengang. Raga menjambak rambutnya dan tanpa terasa air matanya mengalir.

"Amelia bangsat!" makinya.

"Kenapa lo harus datang lagi? Belum cukup lo mematahkan hati gue separah ini!"

Rasanya, Raga ingin mentertawakan dirinya sendiri karena ia mengingat pernah mencibir Naya yang menangis karena patah hati. Padahal, dirinya dengan Naya tidaklah jauh berbeda. Buktinya, hari ini ia meneteskan air matanya karena Amelia, perempuan yang dulunya ia cintai dan jaga segenap jiwa raganya. Namun, semua itu Amelia balas dengan pengkhianatan hingga Raga merasa gagal menjadi seorang lelaki.

"Mama, sakit, Ma," rintih Raga sambil menepuk-nepuk dadanya.

"Ma, maafin Raga, Ma. Maafin Raga yang menikah tanpa ngasih tahu mama. Mungkin, ini teguran dari Allah supaya Raga ke depannya meminta izin ke orang tua dulu."

"Ma, Raga lagi nggak baik-baik aja. Raga mau peluk mama. Raga mau nangis di pundak mama, tapi Raga gengsi, ma."

Raga berujar sendirian sambil menangkupkan wajahnya di stir kemudi. Raga butuh penguat untuk hatinya, tetapi lelaki tersebut masih belum berani untuk mengatakan yang sejujurnya dengan keluarganya bahkan kepada sang mama pun, Raga belum berani mengatakan hal apapun.

"Ma, Raga hancur, ma."

***

Rahasia Hati Braga (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang